26 C
Medan
Wednesday, October 16, 2024
spot_img

Dampak Sosial RUU Pilkada Akan Tinggi

RUU-Pilkada-ilustrasi
RUU-Pilkada-ilustrasi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kegetolan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengesahkan rancangan undang-undang pemilihan kepala daerah (RUU pilkada) dengan berbagai cara, diprediksi berdampak secara sosial. Mulai soal keamanan hingga tingginya politik uang.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencoba meyakinkan bahwa telah disiapkan sejumlah antisipasi untuk dua masalah tersebut. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Johan menjelaskan, pihaknya telah memprediksi adanya banyak dampak sosial. Misalnya keamanan dan tingkat politik uang yang tinggi di DPRD. “Prediksi itu didapat dari berbagai data Kemendagri,” katanya.

Tentu saja, ada antisipasi yang telah disiapkan. Dengan munculnya banyak penolakan masyarakat terhadap pilkada tidak langsung, tentu nanti pada 22 September bisa diprediksi, ada berbagai upaya menggagalkan pengesahan. “Namun, agar tetap aman, tentu akan berkoordinasi dengan pihak kepolisian,” jelas Johan.

Antisipasi potensi money politics di DPRD juga telah dirancang. Kunci utamanya ada pada pengawasan dan kontrol. Rencananya, dibentuk sebuah konsep yang dinamakan watchdog, dengan kerja sama antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, dan kejaksaan. “Mereka bertugas khusus kalau ada pilkada tidak langsung di suatu daerah,” ucap Johan.

Misalnya, ada pilkada tidak langsung di Jabar. Nah, semua jajaran tersebut akan mengawasi DPRD dan calon kepala daerah yang ada. Masyarakat juga bisa turut berperan untuk mengawasi. “Ini juga merupakan bentuk perbaikan untuk draf RUU pilkada tidak langsung,” terangnya.

Yang perlu diperhatikan, jelas Johan, Kemendagri tetap menyiapkan dua draf RUU pilkada. Satu draf pilkada tidak langsung dan satu draf lagi pilkada langsung. “Semua itu bergantung DPR nantinya,” terang dia.

Namun, pemerintah berharap RUU pilkada tersebut bisa diselesaikan sebelum masa kerja anggota DPR 2009″2014 selesai. Sebab, sebenarnya RUU pilkada itu memiliki keterkaitan dengan UU Desa dan UU Pemda. “UU Desa telah disahkan dan UU Pemda juga tidak ada aral melintang. Tinggal RUU pilkada ini yang mengkhawatirkan,” tuturnya.

Jika tidak disahkan sebelum 1 Oktober, Johan khawatir nanti RUU pilkada tersebut malah tidak akan selesai. Sebab, pemerintahan baru tentu bakal memiliki prioritas lain. “Apa RUU pilkada ini akan diutamakan, saya tidak yakin,” jelasnya.

Sementara itu, Kadivhumas Mabes Polri Irjen Ronny F. Sompie menyatakan, Polri merupakan alat negara yang salah satu tugasnya mengamankan kebijakan negara. Karena itu, pihaknya tentu sudah siap mengantisipasi dampak RUU pilkada di masyarakat, apa pun keputusannya. “Polri tidak ikut campur dalam keputusan politik. Tugas kami mengamankan situasi agar tetap kondusif,” ujarnya.

Sebagai contoh, Polri selama ini beberapa kali mengamankan aksi unjuk rasa yang berkaitan dengan RUU tersebut di berbagai wilayah. “Selama rencana unjuk rasa itu diberitahukan terlebih dahulu kepada kami, lalu dilakukan dengan tertib, Polri akan mengawal dan melayani,” lanjutnya.

Karena itu, pihaknya juga enggan mengomentari tarik ulur yang saat ini terjadi di parlemen maupun rencana-rencana pemerintah terkait RUU tersebut. Sebelumnya Kapolri Jenderal Sutarman juga menolak berkomentar soal sistem pilkada mana yang lebih baik antara langsung dan tidak langsung. “Semuanya sama-sama rawan dari sisi keamanan,” ucapnya pendek. (idr/byu/c9/kim)

RUU-Pilkada-ilustrasi
RUU-Pilkada-ilustrasi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kegetolan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengesahkan rancangan undang-undang pemilihan kepala daerah (RUU pilkada) dengan berbagai cara, diprediksi berdampak secara sosial. Mulai soal keamanan hingga tingginya politik uang.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencoba meyakinkan bahwa telah disiapkan sejumlah antisipasi untuk dua masalah tersebut. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Johan menjelaskan, pihaknya telah memprediksi adanya banyak dampak sosial. Misalnya keamanan dan tingkat politik uang yang tinggi di DPRD. “Prediksi itu didapat dari berbagai data Kemendagri,” katanya.

Tentu saja, ada antisipasi yang telah disiapkan. Dengan munculnya banyak penolakan masyarakat terhadap pilkada tidak langsung, tentu nanti pada 22 September bisa diprediksi, ada berbagai upaya menggagalkan pengesahan. “Namun, agar tetap aman, tentu akan berkoordinasi dengan pihak kepolisian,” jelas Johan.

Antisipasi potensi money politics di DPRD juga telah dirancang. Kunci utamanya ada pada pengawasan dan kontrol. Rencananya, dibentuk sebuah konsep yang dinamakan watchdog, dengan kerja sama antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, dan kejaksaan. “Mereka bertugas khusus kalau ada pilkada tidak langsung di suatu daerah,” ucap Johan.

Misalnya, ada pilkada tidak langsung di Jabar. Nah, semua jajaran tersebut akan mengawasi DPRD dan calon kepala daerah yang ada. Masyarakat juga bisa turut berperan untuk mengawasi. “Ini juga merupakan bentuk perbaikan untuk draf RUU pilkada tidak langsung,” terangnya.

Yang perlu diperhatikan, jelas Johan, Kemendagri tetap menyiapkan dua draf RUU pilkada. Satu draf pilkada tidak langsung dan satu draf lagi pilkada langsung. “Semua itu bergantung DPR nantinya,” terang dia.

Namun, pemerintah berharap RUU pilkada tersebut bisa diselesaikan sebelum masa kerja anggota DPR 2009″2014 selesai. Sebab, sebenarnya RUU pilkada itu memiliki keterkaitan dengan UU Desa dan UU Pemda. “UU Desa telah disahkan dan UU Pemda juga tidak ada aral melintang. Tinggal RUU pilkada ini yang mengkhawatirkan,” tuturnya.

Jika tidak disahkan sebelum 1 Oktober, Johan khawatir nanti RUU pilkada tersebut malah tidak akan selesai. Sebab, pemerintahan baru tentu bakal memiliki prioritas lain. “Apa RUU pilkada ini akan diutamakan, saya tidak yakin,” jelasnya.

Sementara itu, Kadivhumas Mabes Polri Irjen Ronny F. Sompie menyatakan, Polri merupakan alat negara yang salah satu tugasnya mengamankan kebijakan negara. Karena itu, pihaknya tentu sudah siap mengantisipasi dampak RUU pilkada di masyarakat, apa pun keputusannya. “Polri tidak ikut campur dalam keputusan politik. Tugas kami mengamankan situasi agar tetap kondusif,” ujarnya.

Sebagai contoh, Polri selama ini beberapa kali mengamankan aksi unjuk rasa yang berkaitan dengan RUU tersebut di berbagai wilayah. “Selama rencana unjuk rasa itu diberitahukan terlebih dahulu kepada kami, lalu dilakukan dengan tertib, Polri akan mengawal dan melayani,” lanjutnya.

Karena itu, pihaknya juga enggan mengomentari tarik ulur yang saat ini terjadi di parlemen maupun rencana-rencana pemerintah terkait RUU tersebut. Sebelumnya Kapolri Jenderal Sutarman juga menolak berkomentar soal sistem pilkada mana yang lebih baik antara langsung dan tidak langsung. “Semuanya sama-sama rawan dari sisi keamanan,” ucapnya pendek. (idr/byu/c9/kim)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/