31.7 C
Medan
Thursday, May 16, 2024

Dua Gugatan PPP Djan Faridz Kandas

FOTO: MIFTAHULHAYAT/JAWA POS
Ketua Umum PPP hasil munas Jakarta, Djan Faridz (tengah) didampingi pengurus partai.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Gugatan judicial review pasal 33 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) yang diajukan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kubu Djan Faridz ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Para hakim menilai, dua gugatan tersebut terganjal ketentuan legal standing yang tidak terpenuhi.

Hakim MK I Dewa Gede Palguna mengatakan, gugatan yang diajukan atas nama perseorangan tidak memiliki kepentingan hukum untuk ditindaklanjuti. Sebab, ketentuan UU Parpol secara spesifik mengatur partai. ’’Tidak mengatur perorangan,’’ ujarnya saat membacakan putusan di gedung MK, Jakarta, kemarin (25/1). Sementara itu, gugatan tersebut diajukan kader PPP atas nama perseorangan, antara lain Ibnu Utomo, Yuli Zulkarnain, dan Hoesnan.

Bahkan, lanjut dia, kalaupun diajukan oleh pengurus PPP, Mahkamah Konstitusi tetap tidak bisa menindaklanjuti gugatan tersebut. Sebab, MK berpendirian bahwa partai yang memiliki wakil di DPR telah ikut merancang, membahas, dan mengesahkan undang-undang. ’’Dengan begitu, partai politik bersangkutan tidak lagi memiliki kepentingan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke MK,’’ imbuhnya.

Pertimbangan hukum demikian, kata Palguna, dinyatakan MK dalam banyak putusan sebelumnya. Di antaranya, putusan No 51-52-59/PUU-VI/2008, putusan No 73/PUU-XII/2014, putusan No 85/PUU-XII/2014, serta putusan No 35/PUU-XII/2014. ’’Berdasar pertimbangan tersebut, mahkamah menilai, para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan,’’ katanya.

Sementara itu, pasal tersebut digugat setelah dinilai multitafsir. Pemohon memandang pasal itu tidak memberikan kejelasan terkait tindak lanjut pelaksanaan putusan kasasi. Akibatnya, putusan kasasi bisa tidak ditindaklanjuti dengan penerbitan surat keputusan bagi kepengurusan partai politik yang dinyatakan sah dalam putusannya.

Menanggapi putusan itu, kuasa hukum pemohon Humphrey Djemat mempertanyakan konsistensi MK. Pasalnya, legal standing tidak pernah dipersoalkan MK saat menerima berkas gugatan. ’’Saat diteliti, dikatakan permohonan ini sudah baik oleh hakim peneliti. Agak heran kalau dipersoalkan,’’ ujarnya.

Untuk itu, jika yang dipersoalkan adalah legal standing, Humphrey tengah mengambil ancang-ancang untuk mengajukan gugatan ulang dengan mengubah status permohonan. ’’Jangan nanti dipersoalkan lagi legal stading,’’ iujarnya.

Dia juga mempertanyakan kinerja MK. Sebab, jarak antara masa persidangan dan pembacaan putusan sangat jauh. Menurut dia, persidangan yang diselesaikan enam bulan lalu semestinya sudah diputus sejak lama guna menghindari upaya oknum tertentu untuk mempengaruhi putusan.

Sebagaimana diketahui, selain UU Parpol, PPP Djan Faridz menggugat pasal 40 ayat (3) UU 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Ketentuan pasal yang menempatkan kepengurusan di bawah Kementerian Hukum dan HAM sebagai kepengurusan yang sah mengajukan calon dinilai mengerdilkan putusan pengadilan.

Namun, gugatan tersebut mengalami nasib yang serupa. MK menilai, partai yang memiliki wakil di DPR sudah secara otomatis ikut membahas dan mengesahkan UU tersebut. (far/c4/fat/jpg)

FOTO: MIFTAHULHAYAT/JAWA POS
Ketua Umum PPP hasil munas Jakarta, Djan Faridz (tengah) didampingi pengurus partai.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Gugatan judicial review pasal 33 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) yang diajukan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kubu Djan Faridz ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Para hakim menilai, dua gugatan tersebut terganjal ketentuan legal standing yang tidak terpenuhi.

Hakim MK I Dewa Gede Palguna mengatakan, gugatan yang diajukan atas nama perseorangan tidak memiliki kepentingan hukum untuk ditindaklanjuti. Sebab, ketentuan UU Parpol secara spesifik mengatur partai. ’’Tidak mengatur perorangan,’’ ujarnya saat membacakan putusan di gedung MK, Jakarta, kemarin (25/1). Sementara itu, gugatan tersebut diajukan kader PPP atas nama perseorangan, antara lain Ibnu Utomo, Yuli Zulkarnain, dan Hoesnan.

Bahkan, lanjut dia, kalaupun diajukan oleh pengurus PPP, Mahkamah Konstitusi tetap tidak bisa menindaklanjuti gugatan tersebut. Sebab, MK berpendirian bahwa partai yang memiliki wakil di DPR telah ikut merancang, membahas, dan mengesahkan undang-undang. ’’Dengan begitu, partai politik bersangkutan tidak lagi memiliki kepentingan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke MK,’’ imbuhnya.

Pertimbangan hukum demikian, kata Palguna, dinyatakan MK dalam banyak putusan sebelumnya. Di antaranya, putusan No 51-52-59/PUU-VI/2008, putusan No 73/PUU-XII/2014, putusan No 85/PUU-XII/2014, serta putusan No 35/PUU-XII/2014. ’’Berdasar pertimbangan tersebut, mahkamah menilai, para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan,’’ katanya.

Sementara itu, pasal tersebut digugat setelah dinilai multitafsir. Pemohon memandang pasal itu tidak memberikan kejelasan terkait tindak lanjut pelaksanaan putusan kasasi. Akibatnya, putusan kasasi bisa tidak ditindaklanjuti dengan penerbitan surat keputusan bagi kepengurusan partai politik yang dinyatakan sah dalam putusannya.

Menanggapi putusan itu, kuasa hukum pemohon Humphrey Djemat mempertanyakan konsistensi MK. Pasalnya, legal standing tidak pernah dipersoalkan MK saat menerima berkas gugatan. ’’Saat diteliti, dikatakan permohonan ini sudah baik oleh hakim peneliti. Agak heran kalau dipersoalkan,’’ ujarnya.

Untuk itu, jika yang dipersoalkan adalah legal standing, Humphrey tengah mengambil ancang-ancang untuk mengajukan gugatan ulang dengan mengubah status permohonan. ’’Jangan nanti dipersoalkan lagi legal stading,’’ iujarnya.

Dia juga mempertanyakan kinerja MK. Sebab, jarak antara masa persidangan dan pembacaan putusan sangat jauh. Menurut dia, persidangan yang diselesaikan enam bulan lalu semestinya sudah diputus sejak lama guna menghindari upaya oknum tertentu untuk mempengaruhi putusan.

Sebagaimana diketahui, selain UU Parpol, PPP Djan Faridz menggugat pasal 40 ayat (3) UU 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Ketentuan pasal yang menempatkan kepengurusan di bawah Kementerian Hukum dan HAM sebagai kepengurusan yang sah mengajukan calon dinilai mengerdilkan putusan pengadilan.

Namun, gugatan tersebut mengalami nasib yang serupa. MK menilai, partai yang memiliki wakil di DPR sudah secara otomatis ikut membahas dan mengesahkan UU tersebut. (far/c4/fat/jpg)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/