25 C
Medan
Monday, June 3, 2024

Gubernur Riau Nodai Pilkada Langsung

Gubernur Riau, H Anas Maamun, ditangkap KPK
Gubernur Riau, H Anas Maamun, ditangkap KPK, Kamis (25/9/2014).

SUMUTPOS.CO – Entah sebuah sinyal atau tidak, penangkapan Annas seakan menunjukkan kekalahan kubu pendukung pilkada langsung. Pasalnya, bolak-balik dikabarkan, alasan KMP mendukung pilkada via DPRD karena banyak kepala daerah yang dipilih langsung tersangkut masalah hukum.

Tadi malam, RUU Pilkada akhirnya ditentukan oleh voting secara terbuka dalam sidang paripurna DPR di gedung DPR, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat dini hari (26/9). Hasilnya, anggota DPR yang mau pilkada langsung oleh rakyat sejumlah 135 orang. Jumlah ini akumulasi dari suara PDI Perjuangan, Partai Hanura dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan ditambah lima suara dari Demokrat dan 11 orang dari Golkar.

Sementara anggota DPR yang mau pilkada lewat DPRD terdiri dari 226 suara. Suara ini akumulasi dari anggota DPR dari Fraksi Gerindra, Golkar, PAN, PKS dan PPP. Dengan jumlah suara ini, maka RUU Pilkada sudah sah menjadi UU Pilkada.

Fraksi Demokrat memilih netral dan walk out dari sidang paripurna DPR dengan alasan karena opsi pilkada langsung dengan 10 syarat tidak diakomodir. Atas sikap Demokrat ini, PDI Perjuangan curiga ada skenario untuk memecah belah. PDI Perjuangan awalnya begitu terharu dengan sikap Ketua Umum Demokrat, SBY, yang begitu tegas menyampaikan dukungan pada pilkada langsung. PDI Perjuangan juga terharu dengan sikap Demokrat dalam forum-forum lobi.

Namun apa daya, kata anggota Fraksi PDI Perjuangan, Yosana Laili, apa yang dilakukan SBY dan Demokrat itu cuma pencitraan belaka. Sebab faktanya dalam rapat paripurna DPR, Demokrat akhirnya memilih netral.

Sikap netral ini, ungkap Yosana, tentu saja seakan-akan menjadi penyeimbang, namun sebenarnya sama saja dengan memperkuat opsi yang mau pilkada lewat DPRD.

“Kami merasa ditinggalkan, dizalimi,” ungkap Yosana Laili dalam sidang paripurna DPR di gedung DPR, Komplek Senayan, Jakarta, Jumat dini hari (26/9).

Namun rupanya tidak semua anggota Fraksi Partai Demokrat walk out. Ada enam orang yang masih berada di dalam ruang rapat paripurna di antaranya Gede Pasek Suardika dan Hayono Isman.

Tidak hanya Demokrat yang menunjukkan perbedaan. Perpecahan di internal Partai Golkar juga tampak tadi malam. ‎Dari 84 anggota Golkar yang hadir, ada 11 yang memilih Pilkada langsung. Di antaranya adalah ‘vokalis’ kaum muda Golkar yaitu Agus Gumiwang, Poempida Hidayatulloh, dan Nusron Wahid.

Suasana menjadi riuh saat 11 orang itu berdiri, tentu karena berani melawan keputusan DPP dan fraksi. PDIP bertepuk tangan.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto mengatakan, pilkada melalui DPRD justru menimbulkan potensi yang lebih besar untuk terjadi tindak pidana korupsi oleh partai politik.

“Dengan kredibilitas seperti itu, maka partai justru akan menjadi kontributor potensi korupsi yang paling signifikan dalam sistem pemilukada tidak langsung yang di parlemen bila dibanding dengan langsung,” kata Bambang, Kamis (25/9).

Bambang menilai, parlemen tidak memiliki program yang secara strategis ditujukan untuk membangun budaya antikorupsi dan antikolusi yang berbasis pada kemaslahatan publik secara sistemik dan terstruktur. Menurut Bambang, karakter partai politik, akuntabilitas partai tersebut di parlemen, serta mekanisme penyelenggaraan Pilkada memengaruhi jenis dan potensi terjadinya korupsi.

Bambang mengatakan, pertarungan antarcalon di dalam partai atau dengan partai lainnya pun memicu meningkatnya dana yang dibutuhkan sebagai ongkos politik. Hal tersebut, kata Bambang, menyebabkan kader yang maju dalam kontestasi politik berpotensi melakukan politik uang untuk mendapatkan suara pemilih.

“Pertarungan antarcalon dalam partai atau partai lain serta kompetensi sebagai calon yang terbatas membuat lonjakan ‘ongkos politik’ yang disebagiannya juga memicu politik uang untuk mendapatkan suara pemilih,” ujar Bambang.

Terkait alasan KMP mengembalikan pilkada via DPRD karena banyak oknum yang tersangkut masalah korupsi, Bambang mengatakan hal itu tidak memiliki hubungan langsung.

“Berdasarkan kajian sesuai fakta dan data KPK, maka dapat ditunjukkan bahwa tidak ada hubungannya secara langsung kasus korupsi yang terjadi dengan pelaku kepala daerah disebabkan karena pilkada langsung,” kata Bambang.

Bambang menyatakan KPK menangani kasus korupsi kepala daerah sepanang 2004-2014 sebanyak 52 kasus. Dalam data KPK, 81 persen kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah berkaitan dengan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang. Sedangkan 13 persen berkaitan dengan penyuapan.

“Sisanya berkaitan dengan pemerasan dan jenis tindak pidana korupsi lainnya,” ujar Bambang.

Dalam data KPK, sambung Bambang, juga ditemukan bahwa kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah justru terjadi paska pilkada. Sehingga tidak berkaitan dengan Pilkada langsung,

Bambang mencontohkan hal itu dalam kasus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Akil disuap oleh sejumlah kepala daerah terkait penanganan sengketa Pilkada di MK.

“Penyuapan terhadap Akil Mochtar, seperti misalnya antara lain dalam kasus Romi Herton, Hambit Bintih dan lainnya,” ucap Bambang.

Menurut Bambang, kasus korupsi yang diduga memiliki hubungan agak langsung dengan Pilkada adalah penyuapan. “Misalnya kasus Yesaya Sombuk dari Biak Numfor yang disuap,” pungkasnya. (bbs/rbb)

 

Hasil Voting Terbuka

 

Golkar

Pillkada langsung:           11 suara

Lewat DPRD:                      73 suara

Abstain:                               0 suara

 

PDIP

Pillkada langsung:           88 suara

Lewat DPRD:                      0 suara

Abstain:                               0 suara

 

PKS:

Pillkada langsung:           0 suara

Lewat DPRD:                      55 suara

Abstain:                               0 suara

 

PAN:

Pillkada langsung:           0 suara

Lewat DPRD:                      44 suara

Abstain:                               0 suara

 

PPP:

Pillkada langsung:           0 suara

Lewat DPRD:                      32 suara

Abstain:                               0 suara

 

PKB:

Pillkada langsung:           20 suara

Lewat DPRD:                      0 suara

Abstain:                               0 suara

 

Gerindra:

Pillkada langsung:           0 suara

Lewat DPRD:                      22 suara

Abstain:                               0 suara

 

Hanura:

Pillkada langsung:           10 suara

Lewat DPRD:                      0 suara

Abstain:                               0 suara

 

Demokrat:

Pillkada langsung:           6 suara

Lewat DPRD:                      0 suara

Abstain:                               0 suara

 

 

-Pilkada langsung:                           135 suara

-Pilkada lewat DPRD:                     226 suara

-Abstain:                                             0 suara

Total:                                                    361 suara

Gubernur Riau, H Anas Maamun, ditangkap KPK
Gubernur Riau, H Anas Maamun, ditangkap KPK, Kamis (25/9/2014).

SUMUTPOS.CO – Entah sebuah sinyal atau tidak, penangkapan Annas seakan menunjukkan kekalahan kubu pendukung pilkada langsung. Pasalnya, bolak-balik dikabarkan, alasan KMP mendukung pilkada via DPRD karena banyak kepala daerah yang dipilih langsung tersangkut masalah hukum.

Tadi malam, RUU Pilkada akhirnya ditentukan oleh voting secara terbuka dalam sidang paripurna DPR di gedung DPR, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat dini hari (26/9). Hasilnya, anggota DPR yang mau pilkada langsung oleh rakyat sejumlah 135 orang. Jumlah ini akumulasi dari suara PDI Perjuangan, Partai Hanura dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan ditambah lima suara dari Demokrat dan 11 orang dari Golkar.

Sementara anggota DPR yang mau pilkada lewat DPRD terdiri dari 226 suara. Suara ini akumulasi dari anggota DPR dari Fraksi Gerindra, Golkar, PAN, PKS dan PPP. Dengan jumlah suara ini, maka RUU Pilkada sudah sah menjadi UU Pilkada.

Fraksi Demokrat memilih netral dan walk out dari sidang paripurna DPR dengan alasan karena opsi pilkada langsung dengan 10 syarat tidak diakomodir. Atas sikap Demokrat ini, PDI Perjuangan curiga ada skenario untuk memecah belah. PDI Perjuangan awalnya begitu terharu dengan sikap Ketua Umum Demokrat, SBY, yang begitu tegas menyampaikan dukungan pada pilkada langsung. PDI Perjuangan juga terharu dengan sikap Demokrat dalam forum-forum lobi.

Namun apa daya, kata anggota Fraksi PDI Perjuangan, Yosana Laili, apa yang dilakukan SBY dan Demokrat itu cuma pencitraan belaka. Sebab faktanya dalam rapat paripurna DPR, Demokrat akhirnya memilih netral.

Sikap netral ini, ungkap Yosana, tentu saja seakan-akan menjadi penyeimbang, namun sebenarnya sama saja dengan memperkuat opsi yang mau pilkada lewat DPRD.

“Kami merasa ditinggalkan, dizalimi,” ungkap Yosana Laili dalam sidang paripurna DPR di gedung DPR, Komplek Senayan, Jakarta, Jumat dini hari (26/9).

Namun rupanya tidak semua anggota Fraksi Partai Demokrat walk out. Ada enam orang yang masih berada di dalam ruang rapat paripurna di antaranya Gede Pasek Suardika dan Hayono Isman.

Tidak hanya Demokrat yang menunjukkan perbedaan. Perpecahan di internal Partai Golkar juga tampak tadi malam. ‎Dari 84 anggota Golkar yang hadir, ada 11 yang memilih Pilkada langsung. Di antaranya adalah ‘vokalis’ kaum muda Golkar yaitu Agus Gumiwang, Poempida Hidayatulloh, dan Nusron Wahid.

Suasana menjadi riuh saat 11 orang itu berdiri, tentu karena berani melawan keputusan DPP dan fraksi. PDIP bertepuk tangan.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto mengatakan, pilkada melalui DPRD justru menimbulkan potensi yang lebih besar untuk terjadi tindak pidana korupsi oleh partai politik.

“Dengan kredibilitas seperti itu, maka partai justru akan menjadi kontributor potensi korupsi yang paling signifikan dalam sistem pemilukada tidak langsung yang di parlemen bila dibanding dengan langsung,” kata Bambang, Kamis (25/9).

Bambang menilai, parlemen tidak memiliki program yang secara strategis ditujukan untuk membangun budaya antikorupsi dan antikolusi yang berbasis pada kemaslahatan publik secara sistemik dan terstruktur. Menurut Bambang, karakter partai politik, akuntabilitas partai tersebut di parlemen, serta mekanisme penyelenggaraan Pilkada memengaruhi jenis dan potensi terjadinya korupsi.

Bambang mengatakan, pertarungan antarcalon di dalam partai atau dengan partai lainnya pun memicu meningkatnya dana yang dibutuhkan sebagai ongkos politik. Hal tersebut, kata Bambang, menyebabkan kader yang maju dalam kontestasi politik berpotensi melakukan politik uang untuk mendapatkan suara pemilih.

“Pertarungan antarcalon dalam partai atau partai lain serta kompetensi sebagai calon yang terbatas membuat lonjakan ‘ongkos politik’ yang disebagiannya juga memicu politik uang untuk mendapatkan suara pemilih,” ujar Bambang.

Terkait alasan KMP mengembalikan pilkada via DPRD karena banyak oknum yang tersangkut masalah korupsi, Bambang mengatakan hal itu tidak memiliki hubungan langsung.

“Berdasarkan kajian sesuai fakta dan data KPK, maka dapat ditunjukkan bahwa tidak ada hubungannya secara langsung kasus korupsi yang terjadi dengan pelaku kepala daerah disebabkan karena pilkada langsung,” kata Bambang.

Bambang menyatakan KPK menangani kasus korupsi kepala daerah sepanang 2004-2014 sebanyak 52 kasus. Dalam data KPK, 81 persen kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah berkaitan dengan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang. Sedangkan 13 persen berkaitan dengan penyuapan.

“Sisanya berkaitan dengan pemerasan dan jenis tindak pidana korupsi lainnya,” ujar Bambang.

Dalam data KPK, sambung Bambang, juga ditemukan bahwa kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah justru terjadi paska pilkada. Sehingga tidak berkaitan dengan Pilkada langsung,

Bambang mencontohkan hal itu dalam kasus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Akil disuap oleh sejumlah kepala daerah terkait penanganan sengketa Pilkada di MK.

“Penyuapan terhadap Akil Mochtar, seperti misalnya antara lain dalam kasus Romi Herton, Hambit Bintih dan lainnya,” ucap Bambang.

Menurut Bambang, kasus korupsi yang diduga memiliki hubungan agak langsung dengan Pilkada adalah penyuapan. “Misalnya kasus Yesaya Sombuk dari Biak Numfor yang disuap,” pungkasnya. (bbs/rbb)

 

Hasil Voting Terbuka

 

Golkar

Pillkada langsung:           11 suara

Lewat DPRD:                      73 suara

Abstain:                               0 suara

 

PDIP

Pillkada langsung:           88 suara

Lewat DPRD:                      0 suara

Abstain:                               0 suara

 

PKS:

Pillkada langsung:           0 suara

Lewat DPRD:                      55 suara

Abstain:                               0 suara

 

PAN:

Pillkada langsung:           0 suara

Lewat DPRD:                      44 suara

Abstain:                               0 suara

 

PPP:

Pillkada langsung:           0 suara

Lewat DPRD:                      32 suara

Abstain:                               0 suara

 

PKB:

Pillkada langsung:           20 suara

Lewat DPRD:                      0 suara

Abstain:                               0 suara

 

Gerindra:

Pillkada langsung:           0 suara

Lewat DPRD:                      22 suara

Abstain:                               0 suara

 

Hanura:

Pillkada langsung:           10 suara

Lewat DPRD:                      0 suara

Abstain:                               0 suara

 

Demokrat:

Pillkada langsung:           6 suara

Lewat DPRD:                      0 suara

Abstain:                               0 suara

 

 

-Pilkada langsung:                           135 suara

-Pilkada lewat DPRD:                     226 suara

-Abstain:                                             0 suara

Total:                                                    361 suara

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/