27.8 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Banjir Bandang Landa 27 Desa di Aceh Pidie

Di Tangse 27 Rumah Hilang

Belum lagi pulih luka warga Kecamatan Tangse Aceh Pidie, kini kembali dilanda banjir bandang. Beberapa gampong (desa) di kawasan itu porak-poranda. Sedikitnya, 27 rumah hilang.

Rumah yang hilnag karena terseret air antara lain 8 rumah di Gampong Blang Malo,4 di Alue Calong, 14 rumah di Kebun Nilam, dan 1 rumah di Gampong Ulee Gunong. Selain itu, daerah lain yang terkena bencana bencana antara lain.

Gampong Pulo Kawa, Pulo Sunong, Pulo Masjid, Lubok Badeuk, dan Blang Reumeh. Semuanya berada di Kecamatan Tangse.

Pantauan Rakyat Aceh dilokasi bajir tepatnya di Gampong Blang Malo satu unit jembatan lintas Beureunun-Tangse putus total dan tidak bisa dilewati kenderaan roda dua dan empat, sehingga warga membuat jembatan darurat dengan memasang sebatang kayu, namun bagi warga yang melintas harus berhati-hati sebab sangat berbahaya dan licin, sedangkan kaum perempuan saat melintasi jembatan darurat harus dipapah.

Menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Pidie M Iriawan SE kepada Rakyat Aceh (grup Sumut Pos) Minggu (26/2), ada 27 Gampong yang rumahnya hanyut dibawa arus air. Sementara longsor terjadi di 21 titik dari Gampong Blang Malo hingga ke Gampong Kebun Nilam, namun sedang dalam upaya perbaikan. “Kita Kerahkan 6 unit alat berat untuk membangun dan membersihkan lumpur di jalan yang longsor,” jelasnya.
Tambah dia, untuk membersihkan dan membangun jembatan darurat butuh waktu lama dan waktu darurat selama 12 hari sejak Sabtu (25/2), dan pihaknya menunggu laporan data dulu sehingga akurat dan terpercaya. Sementara aliran listrik juga padam saat banjir melanda Tangse, bahkan putusnya jaringan listrik sangat mempengaruhi jaringan tekomunikasi. Ada beberapa tim saat ini sedang bekerja seperti polisi, TNI, PMI dan dari BPBD. Dari laporan sementara tidak korban jiwa dalam peristiwa tersebut. “Kita masih menunggu evakuasi semua tim dan pendataan,” papar M Iriawan.

Direktur Eksekutif Walhi Aceh, TM Zulfikar menilai, banjir melanda Tangse pada Sabtu (25/2) malam kemarin, membuktikan masih tingginya aktivitas pembalakan liar atau illegal logging serta alih fungsi lahan menjadi perkebunan di daerah tersebut.

“Pengalaman banjir bandang pada Maret 2011 silam harusnya bisa menjadi pembelajaran bagi semua, khususnya pemerintah,” katanya, Minggu (26/2).
TM Zulfikar menyebutkan, banjir bandang terjadi untuk kedua kalinya di Tangse, Pidie karena luapan Krueng Inong adalah dampak dari semakin parahnya kerusakan lingkungan dikawasan tersebut, baik karena aktivitas pembalakan liar, alih fungsi hutan menjadi areal perkebunan maupun karena kehadiran perusahaan pertambangan.

Banjir tersebut menandakan bahwa aktivitas kerusakan lingkungan tidak mampu dibendung Pemerintah Aceh dan kabupaten setempat. Setelah banjir bandang yang pertama pada Maret silam, tidak terjadi adanya perubahan aksi pengrusakan lingkungan didaerah tersebut bahkan semakin parah saja.
Perlu diketahui, struktur tanah di kawasan tersebut sangat labil dan sangat rentan terhadap longsor , khususnya kala hujan mengguyur. Dan berdasarkan penelitian yang mereka lakukan didapati bahwa beberapa wilayah di daerah tersebut tidak layak untuk dijadikan pemukiman.

Walhi pun menilai pemerintah Aceh lamban dalam melakukan penanaman kembali hutan-hutan yang gundul atau reboisasi yang dilakukan melalui gerakan menanam pohon di tanah gundul. “Kita sudah jauh-jauh hari memperingatkan ini,” terangnya. (mir/slm/smg)

Di Tangse 27 Rumah Hilang

Belum lagi pulih luka warga Kecamatan Tangse Aceh Pidie, kini kembali dilanda banjir bandang. Beberapa gampong (desa) di kawasan itu porak-poranda. Sedikitnya, 27 rumah hilang.

Rumah yang hilnag karena terseret air antara lain 8 rumah di Gampong Blang Malo,4 di Alue Calong, 14 rumah di Kebun Nilam, dan 1 rumah di Gampong Ulee Gunong. Selain itu, daerah lain yang terkena bencana bencana antara lain.

Gampong Pulo Kawa, Pulo Sunong, Pulo Masjid, Lubok Badeuk, dan Blang Reumeh. Semuanya berada di Kecamatan Tangse.

Pantauan Rakyat Aceh dilokasi bajir tepatnya di Gampong Blang Malo satu unit jembatan lintas Beureunun-Tangse putus total dan tidak bisa dilewati kenderaan roda dua dan empat, sehingga warga membuat jembatan darurat dengan memasang sebatang kayu, namun bagi warga yang melintas harus berhati-hati sebab sangat berbahaya dan licin, sedangkan kaum perempuan saat melintasi jembatan darurat harus dipapah.

Menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Pidie M Iriawan SE kepada Rakyat Aceh (grup Sumut Pos) Minggu (26/2), ada 27 Gampong yang rumahnya hanyut dibawa arus air. Sementara longsor terjadi di 21 titik dari Gampong Blang Malo hingga ke Gampong Kebun Nilam, namun sedang dalam upaya perbaikan. “Kita Kerahkan 6 unit alat berat untuk membangun dan membersihkan lumpur di jalan yang longsor,” jelasnya.
Tambah dia, untuk membersihkan dan membangun jembatan darurat butuh waktu lama dan waktu darurat selama 12 hari sejak Sabtu (25/2), dan pihaknya menunggu laporan data dulu sehingga akurat dan terpercaya. Sementara aliran listrik juga padam saat banjir melanda Tangse, bahkan putusnya jaringan listrik sangat mempengaruhi jaringan tekomunikasi. Ada beberapa tim saat ini sedang bekerja seperti polisi, TNI, PMI dan dari BPBD. Dari laporan sementara tidak korban jiwa dalam peristiwa tersebut. “Kita masih menunggu evakuasi semua tim dan pendataan,” papar M Iriawan.

Direktur Eksekutif Walhi Aceh, TM Zulfikar menilai, banjir melanda Tangse pada Sabtu (25/2) malam kemarin, membuktikan masih tingginya aktivitas pembalakan liar atau illegal logging serta alih fungsi lahan menjadi perkebunan di daerah tersebut.

“Pengalaman banjir bandang pada Maret 2011 silam harusnya bisa menjadi pembelajaran bagi semua, khususnya pemerintah,” katanya, Minggu (26/2).
TM Zulfikar menyebutkan, banjir bandang terjadi untuk kedua kalinya di Tangse, Pidie karena luapan Krueng Inong adalah dampak dari semakin parahnya kerusakan lingkungan dikawasan tersebut, baik karena aktivitas pembalakan liar, alih fungsi hutan menjadi areal perkebunan maupun karena kehadiran perusahaan pertambangan.

Banjir tersebut menandakan bahwa aktivitas kerusakan lingkungan tidak mampu dibendung Pemerintah Aceh dan kabupaten setempat. Setelah banjir bandang yang pertama pada Maret silam, tidak terjadi adanya perubahan aksi pengrusakan lingkungan didaerah tersebut bahkan semakin parah saja.
Perlu diketahui, struktur tanah di kawasan tersebut sangat labil dan sangat rentan terhadap longsor , khususnya kala hujan mengguyur. Dan berdasarkan penelitian yang mereka lakukan didapati bahwa beberapa wilayah di daerah tersebut tidak layak untuk dijadikan pemukiman.

Walhi pun menilai pemerintah Aceh lamban dalam melakukan penanaman kembali hutan-hutan yang gundul atau reboisasi yang dilakukan melalui gerakan menanam pohon di tanah gundul. “Kita sudah jauh-jauh hari memperingatkan ini,” terangnya. (mir/slm/smg)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/