25 C
Medan
Tuesday, June 18, 2024

RUU Tipikor Dinilai Banyak Kelemahan

JAKARTA- Rencana pengesahan Rancangan Undang Undang (RUU) Tipikor yang baru, meresahkan banyak pihak. Tidak terkecuali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga antikorupsi itu menyebut banyak kelemahan dalam RUU Tipikor tersebut, diantaranya sejumlah pasal krusial terkait pemberantasan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, dihilangkan.

“Dalam draft RUU Tipikor dalam pasal-pasalnya masih banyak kelemahan yg harus disempurnakan lagi,” papar Wakil Ketua KPK Mochammad Jasin, ketika dihubungi koran ini, kemarin (27/3).

Jasin mencontohkan pasal 6 dalam RUU tersebut tidak menyebutkan secara detail cara penyitaan harta tidak wajar milik pegawai negeri atau penyelenggara negara, yang tidak mampu dibuktikan asal-usulnya oleh yang bersangkutan. Selain itu, pimpinan Bidang Pencegahan tersebut menyebutkan, sejumlah pasal yang mengatur soal Jaksa, namun tidak menyertakan Jaksa Penuntut Umum di KPK.

“Karena itu, saya khawatir kewenangan penuntutan KPK akan dihilangkan dalam amandemen UU tentang KPK,”ujarnya. Di samping itu, lanjut dia, terdapat pasal 52 yang menyebutkan bahwa korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp25 juta, bisa dibebaskan dari penuntutan hukum. Meski pembebasan tersebut dilakukan, jika terdakwa telah mengembalikan duit yang dikorupsi, pasal tersebut dinilai tidak sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi. “Pasal yang mengatur korupsi dibawah Rp25 juta nggak dipidanakan itu nggak tepat,”imbuh dia.

Di bagian lain, Indonesia Corruption Watch (ICW) juga memberikan pernyataan senada dengan Jasin. ICW bahkan menolak revisi terhadap UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Alasannya, sejumlah pasal di RUU Tipikor tersebut justru lebih lemah dan kompromistis dibanding Undang-Undang No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi yang ada dan berlaku saat ini.

“RUU Tipikor yang disusun pemerintah potensial menjadi salah satu alat pelemahan pemberantasan korupsi dan kewenangan KPK. Kita menolak RUU Tipikor tersebut,” papar peneliti hukum ICW Donal Fariz kepada koran ini, kemarin.

Dia menguraikan setidaknya ada sembilan norma yang “hilang” di RUU Tipikor dibanding UU 31/1999 dan 20/2001 yang ada saat ini. Padahal, sembilan norma tersebut ini dinilai sangat bersifat mendasar dan prinsip. Diantaranya, menghilangkan pasal yang mengatur ancaman hukuman mati.

Sebelumnya hukuman mati tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 31/1999. Di samping itu, ancaman hukuman minimal di sejumlah pasal juga menghilang.

“Ancaman hukuman minimal juga mengalami penurunan, menjadi hanya setahun. Bandingkan dengan UU 31/1999 jo 20/2001 yang memiliki ancaman hukuman minimal bervariasi tergantung jenis kejahatan, yaitu: 1 tahun, 2, 3 dan bahkan 4 tahun untuk korupsi yang melibatkan penegak hukum dan merugikan keuangan negara,”tegasnya.
ICW juga mengkritisi melemahnya sanksi untuk para mafia hukum dalam RUU Tipikor tersebut. Dalam RUU Tipikor, ancaman minimal bagi penegak hukum, hanya 1 tahun dan maksimal 7 tahun (ditambah 1/3) atau 9 tahun.

Sementara dalam UU ?No 31/1999 jo UU 20/2001 suap untuk penegak hukum seperti hakim ancaman minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Yang cukup mengejutkan, lanjut Donal, terdapat pasal yang justru potensial untuk mengkriminalisasi pelapor kasus korupsi. “Untuk itu, kita menolak RUU Tipikor versi Pemerintah,terutama poin-poin yang menunjukkan paradigma kompromistis dan ketidak konsistenan dalam pemberantasan korupsi,”tegas Donal.

Menurut KPK, RUU Tipikor itu setidaknya bisa mengakomodir pasal-pasal wajib (mandatory) yang ada dalam Konvensi PBB menentang korupsi (UNCAC) yang sudah Indonesia ratifikasi melalui UU No. 7 th 2006. Artinya pasal-pasal yg wajib itu harus dicantumkan dalam UU Tipikor. Jasin pun menyebutkan, seharusnya bukan justru memasukkan pasal-pasal yang kompromistis, melainkan memperluas pengaturan pasal-pasal yang sudah ada.
Misalnya, lanjut dia, menambahkan pasal-pasal yang belum ada di UU Tipikor. Seperti pasal soal penjeratan pidana aktif bagi pejabat asing atau pejabat organisasi asing yang melakukan transaksi suap, ?yang ada di pasal 16 UNCAC. “Pasal pembuktian terbalik kepemilikan aset yg tidak bisa dijelaskan darimana sumbernya seperti pasal 5 UNCAC. Pasal-pasal itu yang ?hendaknya harus tertuang dalam Draft RUU Tipikor,”tegas dia.(ken)

9 norma krusial yang terancam hilang

  1. Hilangnya ancaman hukuman mati
  2. Tidak adanya pasal yang mengatur soal penyelamatan kerugian negara
  3. Hilangnya ancaman hukuman minimal
  4. Penurunan ancaman hukuman minimal, menjadi hanya satu tahun
  5. Melemahnya sanksi untuk para mafia hukum
  6. Ditemukan pasal yang justru berpotensi mengkriminalisasi pelapor
  7. Korupsi dengan kerugian negara dibawah Rp25 juta, bisa dibebaskan
  8. Kewenangan penuntutan KPK tidak disebutkan secara jelas
  9. Tidak ditemukan pasal yang mengatur tentang Pidana Tambahan

 

JAKARTA- Rencana pengesahan Rancangan Undang Undang (RUU) Tipikor yang baru, meresahkan banyak pihak. Tidak terkecuali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga antikorupsi itu menyebut banyak kelemahan dalam RUU Tipikor tersebut, diantaranya sejumlah pasal krusial terkait pemberantasan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, dihilangkan.

“Dalam draft RUU Tipikor dalam pasal-pasalnya masih banyak kelemahan yg harus disempurnakan lagi,” papar Wakil Ketua KPK Mochammad Jasin, ketika dihubungi koran ini, kemarin (27/3).

Jasin mencontohkan pasal 6 dalam RUU tersebut tidak menyebutkan secara detail cara penyitaan harta tidak wajar milik pegawai negeri atau penyelenggara negara, yang tidak mampu dibuktikan asal-usulnya oleh yang bersangkutan. Selain itu, pimpinan Bidang Pencegahan tersebut menyebutkan, sejumlah pasal yang mengatur soal Jaksa, namun tidak menyertakan Jaksa Penuntut Umum di KPK.

“Karena itu, saya khawatir kewenangan penuntutan KPK akan dihilangkan dalam amandemen UU tentang KPK,”ujarnya. Di samping itu, lanjut dia, terdapat pasal 52 yang menyebutkan bahwa korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp25 juta, bisa dibebaskan dari penuntutan hukum. Meski pembebasan tersebut dilakukan, jika terdakwa telah mengembalikan duit yang dikorupsi, pasal tersebut dinilai tidak sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi. “Pasal yang mengatur korupsi dibawah Rp25 juta nggak dipidanakan itu nggak tepat,”imbuh dia.

Di bagian lain, Indonesia Corruption Watch (ICW) juga memberikan pernyataan senada dengan Jasin. ICW bahkan menolak revisi terhadap UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Alasannya, sejumlah pasal di RUU Tipikor tersebut justru lebih lemah dan kompromistis dibanding Undang-Undang No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi yang ada dan berlaku saat ini.

“RUU Tipikor yang disusun pemerintah potensial menjadi salah satu alat pelemahan pemberantasan korupsi dan kewenangan KPK. Kita menolak RUU Tipikor tersebut,” papar peneliti hukum ICW Donal Fariz kepada koran ini, kemarin.

Dia menguraikan setidaknya ada sembilan norma yang “hilang” di RUU Tipikor dibanding UU 31/1999 dan 20/2001 yang ada saat ini. Padahal, sembilan norma tersebut ini dinilai sangat bersifat mendasar dan prinsip. Diantaranya, menghilangkan pasal yang mengatur ancaman hukuman mati.

Sebelumnya hukuman mati tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 31/1999. Di samping itu, ancaman hukuman minimal di sejumlah pasal juga menghilang.

“Ancaman hukuman minimal juga mengalami penurunan, menjadi hanya setahun. Bandingkan dengan UU 31/1999 jo 20/2001 yang memiliki ancaman hukuman minimal bervariasi tergantung jenis kejahatan, yaitu: 1 tahun, 2, 3 dan bahkan 4 tahun untuk korupsi yang melibatkan penegak hukum dan merugikan keuangan negara,”tegasnya.
ICW juga mengkritisi melemahnya sanksi untuk para mafia hukum dalam RUU Tipikor tersebut. Dalam RUU Tipikor, ancaman minimal bagi penegak hukum, hanya 1 tahun dan maksimal 7 tahun (ditambah 1/3) atau 9 tahun.

Sementara dalam UU ?No 31/1999 jo UU 20/2001 suap untuk penegak hukum seperti hakim ancaman minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Yang cukup mengejutkan, lanjut Donal, terdapat pasal yang justru potensial untuk mengkriminalisasi pelapor kasus korupsi. “Untuk itu, kita menolak RUU Tipikor versi Pemerintah,terutama poin-poin yang menunjukkan paradigma kompromistis dan ketidak konsistenan dalam pemberantasan korupsi,”tegas Donal.

Menurut KPK, RUU Tipikor itu setidaknya bisa mengakomodir pasal-pasal wajib (mandatory) yang ada dalam Konvensi PBB menentang korupsi (UNCAC) yang sudah Indonesia ratifikasi melalui UU No. 7 th 2006. Artinya pasal-pasal yg wajib itu harus dicantumkan dalam UU Tipikor. Jasin pun menyebutkan, seharusnya bukan justru memasukkan pasal-pasal yang kompromistis, melainkan memperluas pengaturan pasal-pasal yang sudah ada.
Misalnya, lanjut dia, menambahkan pasal-pasal yang belum ada di UU Tipikor. Seperti pasal soal penjeratan pidana aktif bagi pejabat asing atau pejabat organisasi asing yang melakukan transaksi suap, ?yang ada di pasal 16 UNCAC. “Pasal pembuktian terbalik kepemilikan aset yg tidak bisa dijelaskan darimana sumbernya seperti pasal 5 UNCAC. Pasal-pasal itu yang ?hendaknya harus tertuang dalam Draft RUU Tipikor,”tegas dia.(ken)

9 norma krusial yang terancam hilang

  1. Hilangnya ancaman hukuman mati
  2. Tidak adanya pasal yang mengatur soal penyelamatan kerugian negara
  3. Hilangnya ancaman hukuman minimal
  4. Penurunan ancaman hukuman minimal, menjadi hanya satu tahun
  5. Melemahnya sanksi untuk para mafia hukum
  6. Ditemukan pasal yang justru berpotensi mengkriminalisasi pelapor
  7. Korupsi dengan kerugian negara dibawah Rp25 juta, bisa dibebaskan
  8. Kewenangan penuntutan KPK tidak disebutkan secara jelas
  9. Tidak ditemukan pasal yang mengatur tentang Pidana Tambahan

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/