29.2 C
Medan
Saturday, May 11, 2024

Sacha Stevenson Hidup di Kampung

 Buat Video 'How To Act Indonesian', Sacha Stevenson Hidup di Kampung

Buat Video ‘How To Act Indonesian’, Sacha Stevenson Hidup di Kampung

Jakarta – Sacha Stevenson adalah sosok yang ada di balik video Youtube ‘How To Act Indonesian’. Perempuan berkebangsaan Kanada ini sangat jeli mengobservasi kebiasaan orang Indonesia ini dari perkampungan padat penduduk.

Meninggalkan kampung halamannya di Ottawa, Kanada, pada umur 17 tahun, Sacha mulai berkelana. Jamaika adalah kota tempat dia pernah singgah selama 1 tahun, sebelum akhirnya balik ke Kanada mengambil kursus untuk bisa mengajar bahasa Inggris dan mencoba melamar sebagai guru bahasa Inggris di luar Kanada. Satu lembaga kursus bahasa Inggris terkenal menawarinya pekerjaan sebagai guru di Jakarta tahun 2001.

“Saat itu saya bahkan tidak tahu Indonesia itu di mana dan bagaimana. Saya pikir Indonesia itu seperti China, yang bahasanya chang-ching-chung. Tapi ternyata setelah saya ke sini, kesan saya ini seperti Amerika Selatan, Brasil atau Meksiko. Bahkan sama seperti Jamaika. Jadi saya mulai suka,” kata Sacha saat berbincang dengan detikcom di salah satu kafe di Mal Pejaten Village, Jakarta Selatan, pada Jumat (25/10/2013).

Di Jakarta, Sacha disediakan rumah yang sangat layak dengan kamar banyak. Namun rumah itu dinilainya begitu tertutup dari lingkungan. Akhirnya, Sacha memutuskan keluar dari rumah yang nyaman itu dan mengontrak di perkampungan di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

“Waktu itu di kampung sewanya Rp 250 ribu per bulan. Saya sebenarnya tidak ingin benar-benar menjadi guru di sini. Menjadi guru itu cuma cara saya untuk bagaimana bisa ke sini. Saya ingin belajar hidup di sini, makanya saya ngontrak di kampung,” kata Sacha sambil mengisap rokok putihnya.

Tempat kontrakan Sacha di kampung sangat berhimpitan dengan rumah warga satu sama lain. Dia mulai bertetangga dengan tukang gorengan, tukang tahu gejrot dan warga pinggiran Jakarta lainnya.

“Sampai buka pintu saja sudah kelihatan isi rumahnya. Saya bertetangga sama tukang gorengan, yang kalau pulang, sisa-sisa gorengannya boleh saya makan. Bahkan saya sampai diizinkan masuk ke rumahnya,” jelas perempuan yang sering muncul di acara komedi di TV di Jakarta ini.

Mulai dari situlah dia berbaur, merasakan, mengalami, mengamati tingkah laku orang Indonesia kebanyakan. Hasilnya, Sacha mengalami shock culture!

“Saya merasa home sick tiap hari. Begitu banyak hal yang berbeda dari negara saya. Mungkin tidak semua salah, cuma berbeda pendapat dan pandangan saja,” jelas Sacha.

Alhasil, pada bulan ke-5, Sacha balik ke negaranya, Kanada. “Hidup 5 bulan di kampung, kalau liburan sih boleh-boleh saja. Kalau lebih dari itu, rasanya saya bisa gila. Setelah itu saya pulang ke Kanada dan balik ke Jakarta lagi,” jelas perempuan kelahiran Halifax, Kanada, 21 Januari 1982 ini menceritakan kisah gegar budayanya.

Sacha memutuskan kembali ke Jakarta karena menurutnya Indonesia itu menarik dan banyak hal yang lebih ingin digalinya dari negara ini. Setelah itu Sacha nyaris selalu pindah tempat tinggal setelah 5 bulan. Travelling pun dilakoninya, dengan menghemat gajinya sebagai guru, tak pernah belanja dan ngafe di mal dan sebagainya.

“Saya pernah tinggal di Bukit Lawang (Langkat, Sumut) selama 8 bulan. Sampai saat ini baru ke Sumatera, Jawa dan Bali, Lombok saja. Belum pernah ke Sulawesi, Kalimantan atau Papua. Belum ada kesempatan saja, pengin sih,” kata Sacha.

Nah, perjalanannya selama berkelana di Indonesia itulah dia mengamati kebiasaan orang Indonesia, selain menikmati pemandangan alamnya yang menurutnya mempesona dan misterius. Salah satu yang membuat Sacha terperangah, orang Indonesia lebih suka pergi ke tukang urut atau dukun daripada dokter.

“Jadi saya pernah bikin band. Gitarisnya waktu itu kecelakaan motor. Sudah jelas-jelas itu berdarah-darah, saya lihat dengan mata kepala sendiri, dia nggak mau dibawa ke dokter. Maunya malah dibawa ke tukang urut. Kamu ini idiot ya?! What the hell are you doing?! Paling nggak kan mesti di-rontgent itu,” kenangnya saat itu

Perempuan berambut panjang ini pernah diajak ke tukang urut sama temannya. Gara-garanya persendian bahunya pegal karena salah tidur. “Tadinya pegel malah jadi sakit. Sepertinya rasanya paling sakit dari sebelum-sebelumnya. Setelah itu nggak mau lagi deh diajak ke tukang urut,” kata Sacha.

Bahasan mengenai birokrasi yang njelimet, korupsi dan pungli juga menjadi topik yang disindirnya dengan kocak beberapa kali. Di video ‘Tips Anti Ribet’, Sacha berakting menjadi petugas kelurahan yang menjelaskan sederet dokumen yang harus diperlukan untuk keperluan administrasi.

Memang pernah mengalami sendiri? “Ya semua orang di sini mengalami hal itu bukan? Untuk orang asing, mereka menemuinya saat di Imigrasi saat mengurus KITAS. Bikin usaha saja juga ribet banget perizinannya. Saya pernah hampir bikin PH (Production House) tapi karena orang asing kata peraturannya nggak boleh. Akhirnya teman saya maju, dan itu lama banget dan biayanya mahal. Jauh lebih mahal bikin usaha di Indonesia daripada di negara saya, serius,” tutur Sacha.

Namun, Sacha telah 12 tahun berada di Indonesia mengamati, semua orang berusaha untuk membuat birokrasi lebih baik, termasuk soal pemberantasan korupsi.

Berikutnya, Sacha menceritakan kesibukan membuat video ‘How To Act Indonesian’ ini dan profesinya sebagai ‘Pengangguran’. Penasaran? Ikuti terus artikelnya.

(nwk/nrl)

 Buat Video 'How To Act Indonesian', Sacha Stevenson Hidup di Kampung

Buat Video ‘How To Act Indonesian’, Sacha Stevenson Hidup di Kampung

Jakarta – Sacha Stevenson adalah sosok yang ada di balik video Youtube ‘How To Act Indonesian’. Perempuan berkebangsaan Kanada ini sangat jeli mengobservasi kebiasaan orang Indonesia ini dari perkampungan padat penduduk.

Meninggalkan kampung halamannya di Ottawa, Kanada, pada umur 17 tahun, Sacha mulai berkelana. Jamaika adalah kota tempat dia pernah singgah selama 1 tahun, sebelum akhirnya balik ke Kanada mengambil kursus untuk bisa mengajar bahasa Inggris dan mencoba melamar sebagai guru bahasa Inggris di luar Kanada. Satu lembaga kursus bahasa Inggris terkenal menawarinya pekerjaan sebagai guru di Jakarta tahun 2001.

“Saat itu saya bahkan tidak tahu Indonesia itu di mana dan bagaimana. Saya pikir Indonesia itu seperti China, yang bahasanya chang-ching-chung. Tapi ternyata setelah saya ke sini, kesan saya ini seperti Amerika Selatan, Brasil atau Meksiko. Bahkan sama seperti Jamaika. Jadi saya mulai suka,” kata Sacha saat berbincang dengan detikcom di salah satu kafe di Mal Pejaten Village, Jakarta Selatan, pada Jumat (25/10/2013).

Di Jakarta, Sacha disediakan rumah yang sangat layak dengan kamar banyak. Namun rumah itu dinilainya begitu tertutup dari lingkungan. Akhirnya, Sacha memutuskan keluar dari rumah yang nyaman itu dan mengontrak di perkampungan di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

“Waktu itu di kampung sewanya Rp 250 ribu per bulan. Saya sebenarnya tidak ingin benar-benar menjadi guru di sini. Menjadi guru itu cuma cara saya untuk bagaimana bisa ke sini. Saya ingin belajar hidup di sini, makanya saya ngontrak di kampung,” kata Sacha sambil mengisap rokok putihnya.

Tempat kontrakan Sacha di kampung sangat berhimpitan dengan rumah warga satu sama lain. Dia mulai bertetangga dengan tukang gorengan, tukang tahu gejrot dan warga pinggiran Jakarta lainnya.

“Sampai buka pintu saja sudah kelihatan isi rumahnya. Saya bertetangga sama tukang gorengan, yang kalau pulang, sisa-sisa gorengannya boleh saya makan. Bahkan saya sampai diizinkan masuk ke rumahnya,” jelas perempuan yang sering muncul di acara komedi di TV di Jakarta ini.

Mulai dari situlah dia berbaur, merasakan, mengalami, mengamati tingkah laku orang Indonesia kebanyakan. Hasilnya, Sacha mengalami shock culture!

“Saya merasa home sick tiap hari. Begitu banyak hal yang berbeda dari negara saya. Mungkin tidak semua salah, cuma berbeda pendapat dan pandangan saja,” jelas Sacha.

Alhasil, pada bulan ke-5, Sacha balik ke negaranya, Kanada. “Hidup 5 bulan di kampung, kalau liburan sih boleh-boleh saja. Kalau lebih dari itu, rasanya saya bisa gila. Setelah itu saya pulang ke Kanada dan balik ke Jakarta lagi,” jelas perempuan kelahiran Halifax, Kanada, 21 Januari 1982 ini menceritakan kisah gegar budayanya.

Sacha memutuskan kembali ke Jakarta karena menurutnya Indonesia itu menarik dan banyak hal yang lebih ingin digalinya dari negara ini. Setelah itu Sacha nyaris selalu pindah tempat tinggal setelah 5 bulan. Travelling pun dilakoninya, dengan menghemat gajinya sebagai guru, tak pernah belanja dan ngafe di mal dan sebagainya.

“Saya pernah tinggal di Bukit Lawang (Langkat, Sumut) selama 8 bulan. Sampai saat ini baru ke Sumatera, Jawa dan Bali, Lombok saja. Belum pernah ke Sulawesi, Kalimantan atau Papua. Belum ada kesempatan saja, pengin sih,” kata Sacha.

Nah, perjalanannya selama berkelana di Indonesia itulah dia mengamati kebiasaan orang Indonesia, selain menikmati pemandangan alamnya yang menurutnya mempesona dan misterius. Salah satu yang membuat Sacha terperangah, orang Indonesia lebih suka pergi ke tukang urut atau dukun daripada dokter.

“Jadi saya pernah bikin band. Gitarisnya waktu itu kecelakaan motor. Sudah jelas-jelas itu berdarah-darah, saya lihat dengan mata kepala sendiri, dia nggak mau dibawa ke dokter. Maunya malah dibawa ke tukang urut. Kamu ini idiot ya?! What the hell are you doing?! Paling nggak kan mesti di-rontgent itu,” kenangnya saat itu

Perempuan berambut panjang ini pernah diajak ke tukang urut sama temannya. Gara-garanya persendian bahunya pegal karena salah tidur. “Tadinya pegel malah jadi sakit. Sepertinya rasanya paling sakit dari sebelum-sebelumnya. Setelah itu nggak mau lagi deh diajak ke tukang urut,” kata Sacha.

Bahasan mengenai birokrasi yang njelimet, korupsi dan pungli juga menjadi topik yang disindirnya dengan kocak beberapa kali. Di video ‘Tips Anti Ribet’, Sacha berakting menjadi petugas kelurahan yang menjelaskan sederet dokumen yang harus diperlukan untuk keperluan administrasi.

Memang pernah mengalami sendiri? “Ya semua orang di sini mengalami hal itu bukan? Untuk orang asing, mereka menemuinya saat di Imigrasi saat mengurus KITAS. Bikin usaha saja juga ribet banget perizinannya. Saya pernah hampir bikin PH (Production House) tapi karena orang asing kata peraturannya nggak boleh. Akhirnya teman saya maju, dan itu lama banget dan biayanya mahal. Jauh lebih mahal bikin usaha di Indonesia daripada di negara saya, serius,” tutur Sacha.

Namun, Sacha telah 12 tahun berada di Indonesia mengamati, semua orang berusaha untuk membuat birokrasi lebih baik, termasuk soal pemberantasan korupsi.

Berikutnya, Sacha menceritakan kesibukan membuat video ‘How To Act Indonesian’ ini dan profesinya sebagai ‘Pengangguran’. Penasaran? Ikuti terus artikelnya.

(nwk/nrl)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/