TIDAK SEMUA TANGGUNG JAWAB DIREKSI
Guru besar hukum ekonomi Universitas Indonesia (UI), Erman Rajaguguk menyatakan, tidak semua kesalahan yang terjadi dalam BUMN atau BUMD harus dimintakan pertanggungjawaban hukum ke direksi. Menurut dia, ketika direksi sudah menunjuk pelaksana teknis, seharusnya tanggung jawab sudah melekat pada pelaksana teknis tersebut.
Karena itu, ketika dalam praktiknya pelaksana teknis menyeleweng atau melakukan penyimpangan, dialah yang harus bertanggung jawab. Menurut Erman, hal tersebut sudah jelas tertuang dalam KUHP. ’’Sudah jelas ada kalimat barangsiapa…,’’ imbuhnya.
Erman selama ini termasuk ahli yang berpandangan bahwa kekayaan BUMN atau BUMD PT bukan termasuk kekayaan negara, tapi kekayaan negara yang sudah dipisahkan. Dengan demikian, ketika sudah menjadi aset yang telah dipisahkan, kerugian BUMN atau BUMD tidak bisa dianggap sebagai kerugian negara. ’’Meskipun 100 persen sahamnya dari pemerintah atau negara. Meskipun juga dividennya adalah uang pemda atau negara,’’ jelasnya.
Ketika menjadi PT, BUMN dan BUMD juga harus tunduk pada UU PT. Dengan demikian, ketika terjadi penjualan aset, tentu yang harus didapatkan adalah persetujuan dewan komisaris. Erman menyatakan, ketika penjualan aset sudah disetujui dewan komisaris dan ternyata harganya di bawah NJOP (nilai jual objek pajak), hal itu juga belum tentu menjadi persoalan. Menurut dia, NJOP adalah patokan penetapan pajak atas objek pajak.
Polemik apakah kerugian BUMN atau BUMD termasuk kerugian negara atau bukan sebenarnya telah tuntas pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK). MK telah memutus bahwa BUMN atau BUMD termasuk kerugian negara. BPK pun berhak memeriksa keuangan BUMN atau BUMD.
Nah, meski begitu, mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein tetap memberikan catatan. Dia menyebutkan, penanganan pidana korupsi terhadap kerugian BUMN atau BUMD tetap harus case-by-case. ’’Jangan asal korporasi rugi, maka hal tersebut diartikan terjadi kerugian negara. Harus dilihat dulu apa sebabnya,’’ katanya.
Yang mutlak harus dibuktikan adalah ada tidaknya kesengajaan perbuatan melawan hukum dan niat jahat. Jika dua hal itu tak bisa dibuktikan, meski terjadi business loss yang menimbulkan kerugian keuangan negara, hal tersebut tidak bisa dibawa ke ranah pidana korupsi.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengungkapkan, penetapan tersangka dan penahanan Dahlan Iskan berpotensi menimbulkan diskursus baru dalam penegakan hukum. Di satu sisi, kejaksaan memang memiliki kewenangan menyidik dan melakukan upaya paksa dalam pengusutan kasus korupsi.
Namun, di sisi lain, yang ditetapkan dan ditahan kejaksaan merupakan sosok yang dikenal banyak orang tidak memiliki mental korupsi. ’’Tak ada mental untuk memperkaya diri sendiri. Ini sangat mengagetkan,’’ kata pria yang juga Sekjen PPP itu. (eko/gun/wan/byu/dna/c5/c10/ang/jpg)