31.7 C
Medan
Thursday, May 16, 2024

Kasus Cukai Bisa Distop Jika Bayar Denda 4 Kali Lipat

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 tahun 2023 tentang Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Cukai untuk Kepentingan Penerimaan Negara.

Melalui aturan itu, penyidikan pidana cukai bisa dihentikan, asalkan tersangka membayar denda sebesar 4 kali dari nilai cukai yang seharusnya dibayar.

Penghentian dilakukan dengan penerapan konsep ultimum remedium. Artinya, penggunaan hukum pidana merupakan jalan terakhir dalam penegakan hukum.

Pada Pasal 2 Ayat 1 disebutkan bahwa ’’Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri atau pejabat yang ditunjuk, Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan Penyidikan tindak pidana di bidang cukai paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan,’’ dikutip Jawa Pos, kemarin (28/11).

Namun penghentian penyidikan hanya dilakukan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 56, Pasal 58 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai Sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2O21 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Nantinya yang bersangkutan harus membayar sanksi administratif berupa denda 4 kali nilai cukai yang seharusnya dibayar. Selain itu dalam proses penyidikan, penyidik dapat memberitahukan kepada tersangka bahwa yang bersangkutan dapat mengajukan penghentian penyidikan di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara.

Pada Pasal 4, menteri atau pejabat yang ditunjuk juga melakukan penelitian permohonan untuk memastikan tindak pidana yang dilanggar dan besaran sanksi administrasi berupa denda yang harus dibayar.

’’Tersangka membayar sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat 2 ke rekening pemerintah yang ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk,’’ bunyi aturan itu.

Research Manager Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyebut bahwa PP itu merupakan aturan turunan dari UU HPP klausul Ultimum Remedium dalam cukai.

Fajry menyebut, jika klausul ultimum remedium diterapkan dalam pajak, maka hal itu tepat karena fungsi utama pajak untuk mencari penerimaan. ’’Sedangkan cukai berbeda, ada aspek pengendalian konsumsi di sana. Jadi tidak tepat ada klausul ultimum remedium bagi cukai,’’ ujarnya kepada Jawa Pos, kemarin (28/11).

Fajry mencontohkan dengan pidana cukai bagi para pelaku usaha rokok ilegal. Menurut dia, para pelaku itu perlu diberikan hukuman berat agar memberikan efek jera.

’’Tidak bisa hanya hukuman sanksi administrasi. Kalau begini, semakin tinggi risiko peredaran rokok ilegal. Mengapa? Karena risiko para pelaku usaha rokok ilegal dalam berbisnis berkurang,’’ jelas dia.

Di sisi lain, Fajry menyebut tarif cukai di Indonesia sudah optimal dan terus mengalami kenaikan. Kondisi itu membuat gap harga rokok legal dan ilegal semakin tinggi. Artinya potensi profit dari pelaku usaha rokok ilegal meningkat.

’’Dengan risiko usaha rokok ilegal yang menurun, sedangkan potensi untungnya semakin meningkat, industri rokok ilegal akan semakin marak. Itu risikonya,’’ tuturnya.

Terpisah, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menjelaskan, aturan itu merupakan pelaksanaan UU 7/2021 yang menegaskan prinsip ultimum remedium. Sehingga penerimaan negara jadi prioritas. ’’Penyidikan dapat dihentikan jika membayar denda sebesar 4 kali cukai yang harus dibayar,’’ jelas dia.

Menurut Prastowo, prinsip itu jauh lebih dulu dipakai di UU KUP (UU Perpajakan), sejak UU 6/1983. Dia melanjutkan, karakteristik UU Perpajakan memang administrative penal law atau hukum administrasi yang diperkuat dengan pidana. Itu membuat pemidanaan untuk mendorong kepatuhan, tapi prioritas tetap penerimaan negara. Maka hal itu membuat jumlah dendanya sangat besar.

Prastowo menyebut, tanpa jalan keluar ultimum remedium, maka pelanggaran pidana cukai yang berlanjut ke proses hukum akan berisiko divonis rendah dan denda ringan. (dee/jpg/ila)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 tahun 2023 tentang Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Cukai untuk Kepentingan Penerimaan Negara.

Melalui aturan itu, penyidikan pidana cukai bisa dihentikan, asalkan tersangka membayar denda sebesar 4 kali dari nilai cukai yang seharusnya dibayar.

Penghentian dilakukan dengan penerapan konsep ultimum remedium. Artinya, penggunaan hukum pidana merupakan jalan terakhir dalam penegakan hukum.

Pada Pasal 2 Ayat 1 disebutkan bahwa ’’Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri atau pejabat yang ditunjuk, Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan Penyidikan tindak pidana di bidang cukai paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan,’’ dikutip Jawa Pos, kemarin (28/11).

Namun penghentian penyidikan hanya dilakukan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 56, Pasal 58 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai Sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2O21 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Nantinya yang bersangkutan harus membayar sanksi administratif berupa denda 4 kali nilai cukai yang seharusnya dibayar. Selain itu dalam proses penyidikan, penyidik dapat memberitahukan kepada tersangka bahwa yang bersangkutan dapat mengajukan penghentian penyidikan di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara.

Pada Pasal 4, menteri atau pejabat yang ditunjuk juga melakukan penelitian permohonan untuk memastikan tindak pidana yang dilanggar dan besaran sanksi administrasi berupa denda yang harus dibayar.

’’Tersangka membayar sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat 2 ke rekening pemerintah yang ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk,’’ bunyi aturan itu.

Research Manager Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyebut bahwa PP itu merupakan aturan turunan dari UU HPP klausul Ultimum Remedium dalam cukai.

Fajry menyebut, jika klausul ultimum remedium diterapkan dalam pajak, maka hal itu tepat karena fungsi utama pajak untuk mencari penerimaan. ’’Sedangkan cukai berbeda, ada aspek pengendalian konsumsi di sana. Jadi tidak tepat ada klausul ultimum remedium bagi cukai,’’ ujarnya kepada Jawa Pos, kemarin (28/11).

Fajry mencontohkan dengan pidana cukai bagi para pelaku usaha rokok ilegal. Menurut dia, para pelaku itu perlu diberikan hukuman berat agar memberikan efek jera.

’’Tidak bisa hanya hukuman sanksi administrasi. Kalau begini, semakin tinggi risiko peredaran rokok ilegal. Mengapa? Karena risiko para pelaku usaha rokok ilegal dalam berbisnis berkurang,’’ jelas dia.

Di sisi lain, Fajry menyebut tarif cukai di Indonesia sudah optimal dan terus mengalami kenaikan. Kondisi itu membuat gap harga rokok legal dan ilegal semakin tinggi. Artinya potensi profit dari pelaku usaha rokok ilegal meningkat.

’’Dengan risiko usaha rokok ilegal yang menurun, sedangkan potensi untungnya semakin meningkat, industri rokok ilegal akan semakin marak. Itu risikonya,’’ tuturnya.

Terpisah, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menjelaskan, aturan itu merupakan pelaksanaan UU 7/2021 yang menegaskan prinsip ultimum remedium. Sehingga penerimaan negara jadi prioritas. ’’Penyidikan dapat dihentikan jika membayar denda sebesar 4 kali cukai yang harus dibayar,’’ jelas dia.

Menurut Prastowo, prinsip itu jauh lebih dulu dipakai di UU KUP (UU Perpajakan), sejak UU 6/1983. Dia melanjutkan, karakteristik UU Perpajakan memang administrative penal law atau hukum administrasi yang diperkuat dengan pidana. Itu membuat pemidanaan untuk mendorong kepatuhan, tapi prioritas tetap penerimaan negara. Maka hal itu membuat jumlah dendanya sangat besar.

Prastowo menyebut, tanpa jalan keluar ultimum remedium, maka pelanggaran pidana cukai yang berlanjut ke proses hukum akan berisiko divonis rendah dan denda ringan. (dee/jpg/ila)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/