25.6 C
Medan
Friday, May 10, 2024

Pulang Sekolah, Cari Rumput Baru Berlatih

Nestapa Eriyanto, Il Capitano Terbaik AC Milan Junior Camp Day 2012

Eriyanto punya bakat bermain bola yang luar biasa. Sayang, karirnya meredup dan terancam mati karena impitan ekonomi. Bagaimana kisahnya?

DHIMAS GINANJAR, Sukabumi

Tidak banyak pemain sepak bola Indonesia yang merasakan rumput Stadion San Siro, Milan, Italia. Siapa sangka, kesempatan langka itu sudah dirasakan Eriyanto, bocah 15 tahun asal Nagrak, Sukabumi, Jawa Barat (Jabar).

Kenangan manis itu memang sudah setahun berlalu. Namun, Eriyanto tetap tidak bisa menyembunyikan senyumnya kalau mengingat kisah indah tersebut. Yakni, saat dia berhasil membawa tim Indonesia junior menjadi kampiun AC Milan Junior Camp Day. Indonesia menjadi jawara setelah mengalahkan tuan rumah Italia 1-0 lewat gol semata wayang David Nathan, 14.

“Tidak akan pernah terlupakan momen itu,” ujar Eriyanto kepada Jawa Pos (Grup Sumut Pos) yang menemuinya di Nagrak, Sukabumi. Masih dengan senyum yang terkembang, dia menceritakan bagaimana bangganya bisa membuat bendera Merah Putih berkibar di San Siro.

Selain mengantarkan Indonesia juara, Eriyanto dinobatkan sebagai kapten tim terbaik oleh ofisial AC Milan. Kepemimpinannya sejak awal kompetisi dan mampu membawa Indonesia juara menjadi nilai tambah jika dibandingkan dengan il capitano tim-tim lainnya. Nilai plus lainnya, meski menjadi pemain belakang, dia berhasil mencetak gol saat Merah Putih menang 3-1 atas tim gabungan Venezuela-Brazil.

Kisah manis Eriyanto berlanjut saat tiba di tanah air. Tim Indonesia mendapat kesempatan dijamu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Eri ‘sapaan akrab Eriyanto’ yang sempat putus sekolah saat SMP seakan mendapat cahaya terang di hidupnya. Ketika bertemu dengan Presiden SBY dan Menpora Andi Mallarangeng, dia dijanjikan bakal dibiayai sekolahnya.

Tapi, janji itu hanya sebatas pemanis mulut belaka. Setidaknya hingga kini. Tidak ada bantuan apa pun yang diterima Eri. Dia juga kembali harus bertarung dengan kemiskinan. “Saya memang dari keluarga tidak mampu. Bapak merawat kambing orang,” katanya.

Menyitir cerita film Garuda di Dadaku, Bayu sang pemeran utama harus memilih antara sekolah dan sepak bola. Nah, Eri dihadapkan pilihan serupa oleh orangtuanya. Pilihannya adalah sepak bola atau bekerja. Orangtuanya berharap agar Eri fokus membantu perekonomian keluarga. Titik!

Namun, Eri tidak bisa meninggalkan sepak bola. Siswa kelas XI SMA Negeri Nagrak itu tidak kehilangan akal. Agar orangtuanya tidak menghalangi hobinya bermain bola, Eri mencoba membagi waktu. Menggembala kambing tetap dia lakukan, tetapi sambil berlatih sepak bola.

“Pulang sekolah, cari rumput dulu baru latihan,” tandas penggemar klub Barcelona itu. Strategi itu berhasil. Setidaknya, orangtuanya tidak lagi memaksa Eri agar meninggalkan sepak bola.

Sebaliknya, orangtua Eri kini getol menyemangati sang putra untuk menjadi pemain bola yang andal. Mereka berharap, sang putra yang lahir 12 Maret 1996 itu menjadi striker alias penyerang. Harapan tersebut disampaikan lantaran posisi Eri yang sering bermain di belakang dianggap kurang menguntungkan.

Namun, Eri memberikan fakta lain. Meski menjadi pemain belakang, dia tetap bisa produktif mencetak gol. Dia pun berhasil membawa SSB Asmaras menjuarai kompetisi KONI Kabupaten Sukabumi (24/12). “Meski pemain belakang, saya menjadi top scorer dengan 15 gol,” katan pemain bertinggi 168 sentimeter itu.

Eri memang ngotot agar bisa terus bermain sepak bola. Bukan semata karena dia pernah bermain di San Siro dan menjadi kapten tim terbaik. Lebih dari itu, Eri tak ingin perjuangannya yang begitu panjang berakhir sia-sia karena ekonomi keluarga yang pas-pasan.

Eri mengenal sepak bola sejak kecil. Jangan dibayangkan dia menginjakkan kaki di lapangan dengan peralatan lengkap seperti sepatu dan kostum. “Tidak ada itu semua,” tuturnya.

Meski kakinya kerap terluka, dia tidak peduli. Kelas III SD adalah kali pertama dia mengikuti kompetisi sepak bola. Sejak saat itu, dia terus dibawa kalau ada turnamen meski sekelas antarkampung dan bermain tanpa sepatu. “Kelas VI SD saya baru mengenal sepatu bola,” kenangnya.

Saat masuk SMP, Eri bertemu mantan pemain sepak bola nasional Arif Hidayat yang mendirikan sekolah sepak bola (SSB). Dia diminta untuk fokus berlatih tanpa memikirkan biaya. Ketekunan itu berbuah. Belum setahun ikut SSB, Eri mengikuti AC Milan Junior Camp Day.

Kemiskinan sempat membuat Eri minder saat melakukan seleksi untuk regional Jakarta. Penyebabnya tentu saja anak-anak kaya yang memiliki peralatan lengkap dibandingkan dengan dia. Beruntung, perasaan minder itu tidak membuatnya gagal menyingkirkan seribu kontestan lain. Dia masuk sepuluh besar dan melanjutkan seleksi di Bali.
Posisi asli Eri adalah striker. Namun, situasi memaksanya menjadi pemain belakang. Hal itu terjadi ketika salah seorang rekannya mengalami cedera saat tim sudah berada di Italia. “Dia main di belakang dan kapten yang sebenarnya,” terang Eri.

Eri tidak pernah menyangka bahwa cedera tersebut justru berbuah manis. Pelatih Yeyen Tumena mempercayakan ban kapten kepada Eri meski harus menariknya untuk bermain lebih ke belakang. Sejak itu, penggemar Firman Utina itu lebih senang bermain di belakang ketimbang striker.

Sekarang dia mengaku sedang giat berlatih. Sebab, awal Januari nanti sudah menanti sebuah kompetisi lagi. Selain untuk menghadapi kompetisi, latihan itu dimaksudkan untuk ‘menebus’ dosa. Dia merasa sangat bersalah gagal menetap di Milan pasca junior camp. Penyebabnya, tim ofisial AC Milan mengatakan bahwa skill-nya harus diperbaiki. Menurut mereka, kemampuan Eri belum bisa menggeser anak-anak muda di tim junior AC Milan. “Mereka keberatan mengeluarkan satu anak di tim junior untuk saya,” terangnya.
Walau begitu, Eri masih bisa tersenyum. Penyebabnya, tidak ada angkatan dia di camp day 2010 yang berhasil masuk tim junior AC Milan. Baik dari Indonesia maupun tim internasional lainnya. Dia yakin, giat berlatih bakal membuat mimpinya menjadi seorang pemain bola profesional menjadi kenyataan. Api semangat itu tetap dia jaga.
Mimpinya saat ini adalah bergabung dengan klub Arema Malang. “Arema tim hebat. Mereka bisa bermain cepat. Saya ingin bermain di sana,” harapnya.
Meski demikian, Eri tidak akan jual mahal kalau ada tim yang berusaha memberikan pelatihan khusus kepada dirinya saat ini. Bekal pernah merumput di Italia dengan torehan medali emas diyakini mampu menjadi daya tawar tinggi baginya. “Sekarang belum ada klub liga Indonesia yang meberikan penawaran,” katanya. (*/c4/ca/jpnn)

Nestapa Eriyanto, Il Capitano Terbaik AC Milan Junior Camp Day 2012

Eriyanto punya bakat bermain bola yang luar biasa. Sayang, karirnya meredup dan terancam mati karena impitan ekonomi. Bagaimana kisahnya?

DHIMAS GINANJAR, Sukabumi

Tidak banyak pemain sepak bola Indonesia yang merasakan rumput Stadion San Siro, Milan, Italia. Siapa sangka, kesempatan langka itu sudah dirasakan Eriyanto, bocah 15 tahun asal Nagrak, Sukabumi, Jawa Barat (Jabar).

Kenangan manis itu memang sudah setahun berlalu. Namun, Eriyanto tetap tidak bisa menyembunyikan senyumnya kalau mengingat kisah indah tersebut. Yakni, saat dia berhasil membawa tim Indonesia junior menjadi kampiun AC Milan Junior Camp Day. Indonesia menjadi jawara setelah mengalahkan tuan rumah Italia 1-0 lewat gol semata wayang David Nathan, 14.

“Tidak akan pernah terlupakan momen itu,” ujar Eriyanto kepada Jawa Pos (Grup Sumut Pos) yang menemuinya di Nagrak, Sukabumi. Masih dengan senyum yang terkembang, dia menceritakan bagaimana bangganya bisa membuat bendera Merah Putih berkibar di San Siro.

Selain mengantarkan Indonesia juara, Eriyanto dinobatkan sebagai kapten tim terbaik oleh ofisial AC Milan. Kepemimpinannya sejak awal kompetisi dan mampu membawa Indonesia juara menjadi nilai tambah jika dibandingkan dengan il capitano tim-tim lainnya. Nilai plus lainnya, meski menjadi pemain belakang, dia berhasil mencetak gol saat Merah Putih menang 3-1 atas tim gabungan Venezuela-Brazil.

Kisah manis Eriyanto berlanjut saat tiba di tanah air. Tim Indonesia mendapat kesempatan dijamu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Eri ‘sapaan akrab Eriyanto’ yang sempat putus sekolah saat SMP seakan mendapat cahaya terang di hidupnya. Ketika bertemu dengan Presiden SBY dan Menpora Andi Mallarangeng, dia dijanjikan bakal dibiayai sekolahnya.

Tapi, janji itu hanya sebatas pemanis mulut belaka. Setidaknya hingga kini. Tidak ada bantuan apa pun yang diterima Eri. Dia juga kembali harus bertarung dengan kemiskinan. “Saya memang dari keluarga tidak mampu. Bapak merawat kambing orang,” katanya.

Menyitir cerita film Garuda di Dadaku, Bayu sang pemeran utama harus memilih antara sekolah dan sepak bola. Nah, Eri dihadapkan pilihan serupa oleh orangtuanya. Pilihannya adalah sepak bola atau bekerja. Orangtuanya berharap agar Eri fokus membantu perekonomian keluarga. Titik!

Namun, Eri tidak bisa meninggalkan sepak bola. Siswa kelas XI SMA Negeri Nagrak itu tidak kehilangan akal. Agar orangtuanya tidak menghalangi hobinya bermain bola, Eri mencoba membagi waktu. Menggembala kambing tetap dia lakukan, tetapi sambil berlatih sepak bola.

“Pulang sekolah, cari rumput dulu baru latihan,” tandas penggemar klub Barcelona itu. Strategi itu berhasil. Setidaknya, orangtuanya tidak lagi memaksa Eri agar meninggalkan sepak bola.

Sebaliknya, orangtua Eri kini getol menyemangati sang putra untuk menjadi pemain bola yang andal. Mereka berharap, sang putra yang lahir 12 Maret 1996 itu menjadi striker alias penyerang. Harapan tersebut disampaikan lantaran posisi Eri yang sering bermain di belakang dianggap kurang menguntungkan.

Namun, Eri memberikan fakta lain. Meski menjadi pemain belakang, dia tetap bisa produktif mencetak gol. Dia pun berhasil membawa SSB Asmaras menjuarai kompetisi KONI Kabupaten Sukabumi (24/12). “Meski pemain belakang, saya menjadi top scorer dengan 15 gol,” katan pemain bertinggi 168 sentimeter itu.

Eri memang ngotot agar bisa terus bermain sepak bola. Bukan semata karena dia pernah bermain di San Siro dan menjadi kapten tim terbaik. Lebih dari itu, Eri tak ingin perjuangannya yang begitu panjang berakhir sia-sia karena ekonomi keluarga yang pas-pasan.

Eri mengenal sepak bola sejak kecil. Jangan dibayangkan dia menginjakkan kaki di lapangan dengan peralatan lengkap seperti sepatu dan kostum. “Tidak ada itu semua,” tuturnya.

Meski kakinya kerap terluka, dia tidak peduli. Kelas III SD adalah kali pertama dia mengikuti kompetisi sepak bola. Sejak saat itu, dia terus dibawa kalau ada turnamen meski sekelas antarkampung dan bermain tanpa sepatu. “Kelas VI SD saya baru mengenal sepatu bola,” kenangnya.

Saat masuk SMP, Eri bertemu mantan pemain sepak bola nasional Arif Hidayat yang mendirikan sekolah sepak bola (SSB). Dia diminta untuk fokus berlatih tanpa memikirkan biaya. Ketekunan itu berbuah. Belum setahun ikut SSB, Eri mengikuti AC Milan Junior Camp Day.

Kemiskinan sempat membuat Eri minder saat melakukan seleksi untuk regional Jakarta. Penyebabnya tentu saja anak-anak kaya yang memiliki peralatan lengkap dibandingkan dengan dia. Beruntung, perasaan minder itu tidak membuatnya gagal menyingkirkan seribu kontestan lain. Dia masuk sepuluh besar dan melanjutkan seleksi di Bali.
Posisi asli Eri adalah striker. Namun, situasi memaksanya menjadi pemain belakang. Hal itu terjadi ketika salah seorang rekannya mengalami cedera saat tim sudah berada di Italia. “Dia main di belakang dan kapten yang sebenarnya,” terang Eri.

Eri tidak pernah menyangka bahwa cedera tersebut justru berbuah manis. Pelatih Yeyen Tumena mempercayakan ban kapten kepada Eri meski harus menariknya untuk bermain lebih ke belakang. Sejak itu, penggemar Firman Utina itu lebih senang bermain di belakang ketimbang striker.

Sekarang dia mengaku sedang giat berlatih. Sebab, awal Januari nanti sudah menanti sebuah kompetisi lagi. Selain untuk menghadapi kompetisi, latihan itu dimaksudkan untuk ‘menebus’ dosa. Dia merasa sangat bersalah gagal menetap di Milan pasca junior camp. Penyebabnya, tim ofisial AC Milan mengatakan bahwa skill-nya harus diperbaiki. Menurut mereka, kemampuan Eri belum bisa menggeser anak-anak muda di tim junior AC Milan. “Mereka keberatan mengeluarkan satu anak di tim junior untuk saya,” terangnya.
Walau begitu, Eri masih bisa tersenyum. Penyebabnya, tidak ada angkatan dia di camp day 2010 yang berhasil masuk tim junior AC Milan. Baik dari Indonesia maupun tim internasional lainnya. Dia yakin, giat berlatih bakal membuat mimpinya menjadi seorang pemain bola profesional menjadi kenyataan. Api semangat itu tetap dia jaga.
Mimpinya saat ini adalah bergabung dengan klub Arema Malang. “Arema tim hebat. Mereka bisa bermain cepat. Saya ingin bermain di sana,” harapnya.
Meski demikian, Eri tidak akan jual mahal kalau ada tim yang berusaha memberikan pelatihan khusus kepada dirinya saat ini. Bekal pernah merumput di Italia dengan torehan medali emas diyakini mampu menjadi daya tawar tinggi baginya. “Sekarang belum ada klub liga Indonesia yang meberikan penawaran,” katanya. (*/c4/ca/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/