Sementara kerugian material diperkirakan menembus puluhan rupian dan masih akan terus bertambah. Kerugian ekonomi paling besar adalah dampak erupsi Gunung Agung di Bali. Penetapan status Awas sejak Septemberhingga Desember 2017 telah menyebabkan kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp 11 trilyun. “Kerugian ini sebagian besar berasal dari kredit macet masyarakat yang harus mengungsi dan dari sektor pariwisata,” kata Sutopo.
Beberapa kerusakan dan kerugian akibat bencana yang terjadi pada tahun 2017 antara lain adalah banjir dan tanah longsor pengaruh Siklon Tropis Cempaka sekitar Rp 1,13 trilyun, banjir Belitung Rp 338 milyar, banjir dan longsor di Lima Puluh Koto Rp 253 milyar, longsor Cianjur Rp 68 milyar dan lainnya.
Menurut Sutopo, bencana sangat memerosotkan ekonomi masyarakat utamanya yang berlangsung terus menerus. Seperti Erupsi Gunung Sinabung, banjir di daerah Dayeuhkolot, Baleendah dan sekitar Sungai Citarum. “Banjir melanda masyarakat sekitar 10-15 kali setahun,” kata Sutopo.
Demikian juga masyarakat di sekitar Sungai Bengawan Solo, Sungai Kemuning di Madura dan lainnya yang terlanda banjir berulang. “Lahan pertanian yang terendam banjir menyebabkan gagal panen. Petani menanam padi dengan modal hutang, yang akhirnya tidak mampu membayar hutang,” kata Sutopo.
Sutopo menambahkan, indonesia memang kenyataannya adalah supermarket bencana. Namun, semua pihak harus berusaha untuk menjadikannya pembelajaran menjadi “laboratorium bencana”. Pembelajaran untuk meminimalisir resiko, mengurangi deforestasi, menyelamatkan Daerah Aliran Sungai (DAS) kritis, menormalisasi aliran air, serta menata ruang kembali. “Pembangunan di semua sektor harus memperhatikan hal ini,” kata Sutopo. (tau/jpg)
Sementara kerugian material diperkirakan menembus puluhan rupian dan masih akan terus bertambah. Kerugian ekonomi paling besar adalah dampak erupsi Gunung Agung di Bali. Penetapan status Awas sejak Septemberhingga Desember 2017 telah menyebabkan kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp 11 trilyun. “Kerugian ini sebagian besar berasal dari kredit macet masyarakat yang harus mengungsi dan dari sektor pariwisata,” kata Sutopo.
Beberapa kerusakan dan kerugian akibat bencana yang terjadi pada tahun 2017 antara lain adalah banjir dan tanah longsor pengaruh Siklon Tropis Cempaka sekitar Rp 1,13 trilyun, banjir Belitung Rp 338 milyar, banjir dan longsor di Lima Puluh Koto Rp 253 milyar, longsor Cianjur Rp 68 milyar dan lainnya.
Menurut Sutopo, bencana sangat memerosotkan ekonomi masyarakat utamanya yang berlangsung terus menerus. Seperti Erupsi Gunung Sinabung, banjir di daerah Dayeuhkolot, Baleendah dan sekitar Sungai Citarum. “Banjir melanda masyarakat sekitar 10-15 kali setahun,” kata Sutopo.
Demikian juga masyarakat di sekitar Sungai Bengawan Solo, Sungai Kemuning di Madura dan lainnya yang terlanda banjir berulang. “Lahan pertanian yang terendam banjir menyebabkan gagal panen. Petani menanam padi dengan modal hutang, yang akhirnya tidak mampu membayar hutang,” kata Sutopo.
Sutopo menambahkan, indonesia memang kenyataannya adalah supermarket bencana. Namun, semua pihak harus berusaha untuk menjadikannya pembelajaran menjadi “laboratorium bencana”. Pembelajaran untuk meminimalisir resiko, mengurangi deforestasi, menyelamatkan Daerah Aliran Sungai (DAS) kritis, menormalisasi aliran air, serta menata ruang kembali. “Pembangunan di semua sektor harus memperhatikan hal ini,” kata Sutopo. (tau/jpg)