25 C
Medan
Thursday, December 25, 2025
Home Blog Page 14014

Suarez Kursus Bahasa Inggris

TERSANDUNG kasus rasisme ternyata memberi imbas positif bagi Luis Suarez. Striker Liverpool asal Uruguay itu kini dikabarkan mengambil kursus bahasa Inggris tambahan.

Tentu saja, Suarez berharap kursus ekstra itu tidak hanya membuat dirinya fasih berbahasa Inggris.

Namun, juga berguna untuk meminimalisasi kesalahpahaman seperti saat dirinya dipersalahkan gara-gara mengucapkan kata-kata rasial kepada bek kiri Manchester United Patrice Evra dalam laga Premier League di Anfield pada 15 Oktober 2011.

Dalam sebuah insiden, Suarez menggunakan menggunakan kata ‘negrito’ (negro) kepada Evra.

Dalam bahasa Inggris, negro terkait dengan diskriminasi warna kulit.

Sedangkan versi Suarez, negrito di Uruguay memiliki banyak arti. Bisa warna kulit maupun warna rambut.

Suarez sejatinya sudah mengambil kursus bahasa Inggris selama beberapa bulan di awal bergabung dengan Liverpool tepat setahun lalu. Tapi, hasilnya kurang maksimal.

Itulah sebabnya, atas saran beberapa temannya, Suarez yang sudah memulai karir di Eropa sejak enam tahun lalu bersama FC Groningen itu setuju untuk menjalani kursus lagi.

“Itu (kursus bahasa Inggris tambahan) menunjukkan besarnya komitmen Luis kepada Liverpool. Dia juga tetap rajin berlatih sekalipun menjalani skors,” kata Sebastian Coates, defender Liverpool yang juga kompatriot Suarez, seperti dilansir El Pais.

Dibandingkan Suarez, Coates yang baru awal musim ini didatangkan Liverpool dari klub Uruguay Nacional tersebut lumayan fasih berbahasa Inggris. Itu mengingat Coates memiliki ayah berkebangsaan Skotlandia. “Saya dan Luis cukup beruntung memperkuat sebuah klub multinasional seperti Liverpool karena perbedaan bahasa tidak menjadi masalah serius,” jelas Coates yang meraih predikat pemain muda terbaik Copa America 2011 itu.

Suarez baru boleh merumput ketika menghadapi United di Old Trafford bulan depan (11/2).(dns/jpnn)

Rahasia di Balik Keberhasilan Ricardo Kaka

I Belong to Jesus

LAHIR di Brasilia tahun 1982 dengan nama Ricardo Izecson dos Santos Leite, Kaka lahir dari sebuah keluarga penginjil yang kaya raya. Namun hal itu tidak membuat ia menjadi sombong.

Kaka punya jalannya sendiri dan caranya sendiri.

Sejak kecil ia sangat menyukai sepakbola, bahkan dalam usia remaja ia menjadi pemain yang terkenal di daerahnya dengan bermain sebagai pemain cadangan di klub Sao Paulo.

Di usia 18 tahun sebuah bencana terjadi, ia mengalami cidera punggung serius saat berenang.

Dokter mengatakan ia kemungkinan besar akan lumpuh. Tidak ada tindakan operasi atau terapi yang bisa menyelamatkannya.

Hidup Kaka hancur berantakan saat itu. Kecintaannya pada sepakbola demikian besar, harus berakhir dengan kelumpuhannya.

Namun Kaka tahu kemana ia harus minta tolong saat dokter sudah angkat tangan. Kaka bergumul dengan Tuhan, berdoa memohon kesembuhannya. Ia bernazar pada Tuhan, bila sembuh dan dapat bermain sepakbola lagi, ia akan mempersembahkan seluruh prestasinya Tuhan Yesus.

Dan keajaibanpun terjadi, setahun setelah kecelakaan 2000 itu, Tuhan memberi kesembuhan total . Ia dapat merumput bermain bola lagi.

Tuhan juga memberikan bonus, ia berkesempatan bermain di klub-klub besar dunia.

Tuhan membuat permainan Kaka menjadi begitu hebat sehingga manager tim nasional Brazil terpikat dan memanggil Kaka ke timnas untuk bertarung di piala dunia 2002. Bagi Kaka itu adalah keajaiban dan anugerah yang besar.

Meski hanya sebagai pemain cadangan, Kaka tidak menyadari Tuhan sedang menyediakan keajaiban lainnya bagi dia. Beberapa pertandingan berjalan begitu keras bagi Brazil, sehingga beberapa pemain bintang harus disimpan karena cidera. Datanglah kesempatan bagi Kaka untuk turun membela timnya. Di bawah pembelaannya Brazil pun menang. Kaka mengangkat seragamnya dan di baliknya ada sebuah tulisan yang menggegerkan, kaos putih itu bertuliskan “I Love Jesus”.

Itu terus dilakukannya setiap kali teman-temannya merayakan gol. Dan akhirnya Brazil memenangkan Piala Dunia 2002, setelah menaklukan Jerman di final dengan skor 2-0. Dalam parade kemenangan di negaranya sendiri, kaos kesayangan yang bertuliskan ‘I love Jesus’ itu tidak pernah dilepas. Hal itu menginspirasi banyak pemain Brazil (bahkan pemain negara lain) melakukan hal yang sama.

Saat diwawancara stasiun TV, ia berkata, “Saya ingin memperlihatkan dengan hidup dan kerja saya, apa yang telah Tuhan lakukan bagi saya, supaya orang lain dapat melihat apa yang Tuhan bisa lakukan dalam kehidupan mereka.” Permainannya yang cantik di Piala Dunia tidak luput dari perhatian sebuah klub raksasa di Italia.

Kaka pun bergabung dengan AC Milan, masuk dalam liga yang penuh bintang. Dalam musim pertamanya di Seri A, ia langsung menyumbangkan gelar juara bagi AC Milan.

Dalam waktu singkat Kaka menjadi bintang dan pujaan fans wanita. Namun cinta dan kesetiannya hanya pada Caroline Celico, kekasihnya yang jauh di Brazil. Ia tidak mau membawa Caroline tinggal dengannya di Italia seperti yang dilakukan para pemain bola di liga-liga besar, sebelum pernikahan.

Tahun 2005, Kaka meminang Caroline, dalam sebuah upacara perkawinan yang sederhana.

Dalam jumpa pers ia menyatakan bahwa ia masih perjaka dan Caroline masih perawan.

“Itulah periode yang penting, sebuah ujian untuk cinta kami berdua. Saya seorang pria normal dan pasti tergoda melakukan hubungan sebelum pernikahan, tapi saya bisa melewatinya.

Malam pertama kami ditandai darah keperawanan, sebagai tanda cinta suci kami.” Isu pindah agama sempat menerpanya di akhir 2006, namun Kaka membuktikan pada mata dunia, bahwa ia adalah murid Kristus sejati dalam final liga Champion, Mei 2007. Menjadi pahlawan kemenangan melawan Liverpool, Kaka merayakan golnya dengan membuka kaosnya dan menunjukan tulisan “I belong to Jesus” kemudian berlutut berdoa bersyukur di tengah lapangan. Peristiwa ini ditonton jutaan pemirsa yang menyaksikan final Liga Champion 2007.

Bagi Kaka beserta seluruh pemain dan pendukung AC Milan, kemenangan ini merupakan mujizat. Kaka menjadi Top Scorer dalam Liga Champion dan dinobatkan sebagai raja oleh para media Italia, dan pantas dinobatkan sebagai pemain terbaik di dunia. Klub-klub kaya seperti Real Madrid pun telah mengajukan penawaran sebesar 100 juta euro (1 trilyun rupiah lebih) jauh memecahkan rekor pemain termahal saat itu. Do you belong to Jesus??? (artikelkristen/ bbs)

Bangkit dari Dua Kali Kegagalan

Chairul Azmi Hutasuhut, Akademisi dan Praktisi Olahraga di Sumut

Nasihat orangtua itu doa dan bekal menuju keberhasilan. Demikian pemahaman Chairul Azmi Hutasuhut tentang kiat mengarungi hidup dan kehidupan.

Lahir sebagai bungsu dari tujuh bersaudara tak, membuat Chairul Azmi Hutasuhut menjadi anak manja. Semua dilalui dengan apa adanya. Masa kecil hingga dewasa pun dilalui dengan penuh warna. Beberapa pengalaman masa lalu terasa manis dikenang saat ini.

Ditemui di sebuah sudut di salah satu ruangan di Hotel Grand Angkasa Medan, Rabu (25/1) malam lalu, praktisi pendidikan ini mengurai pengalaman masa lalunya.

Dari cerita singkatnya di awal pertemuan, Chairul Azmi mengakui kalau dia bukanlah anak yang cerdas.

Tetapi ketika duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah di Jalan Pahlawan Medan, pernah diikutkan dalam ujian akhir untuk anak kelas 6 SD dan lulus. Di kemudian melanjutkan pendidikan ke SMPN 10 Medan. Di sekolah lanjutan pertama, Chairul Azmi mengaku tak kesulitan mengikuti pelajaran.

“Dapat ranking 30 dari sekitar 40 orang se lokal, ha ha ha…,” ujarnya tertawa.

Chairul Azmi Hutasuhut

Selepas SMP pada 1972, Chairul Azmi berniat melanjut ke sekolah Sekolah Menengah Analis Kimia di belakang TVRI Stasiun Medan. Dia ingin menjadi tenaga ahli yang bekerja di laboratorium. “Biar Mudah mencari kerja,” ujarnya menyebut motivasinya mengambil jurusan tersebut.

Niatnya mulia, agar cepat bisa mencari uang sendiri, tidak tergantung lagi pada orangtua. Tetapi kenyataan berkata lain. Chairul Azmi muda tidak diterima. ‘Kegagalan’ ini ternyata berdampak besar bagi kehidupannya.

Semangatnya untuk sekolah langsung drop. “Pernah masuk SMEA, tapi cuma bertahan tiga bulan,” ujarnya.

Tercatat, dua tahun ia meninggalkan bangku sekolah dan membantu ibunya, Siti Hawa Dalimunthe, berjualan di kantin sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) di Jalan Pancing, yang sekarang berubah menjadi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Model di Jalan Willem Iskandar. Selama membantu ibunya berjualan, Bila tidak sedang membantu ibunya, Chairul Azmi bermain bersama rekan-rekannya sekampung. “Setiap sore saya sering bermain bola dengan teman-teman.

Dari kecil saya memang senang berolahraga,” ujarnya.

Sesekali, ia dan anak-anak lainnya mencari ikan laga di sekitar daerah tempat tinggal di Jalan Pukat 1 Kelurahan Bantan Timur, Kecamatan Medan Tembung.

Tak ingin anaknya terlena dengan pergaulan remaja saat itu tanpa memperoleh pendidikan yang layak, ibunya membujuk Chairul Azmi agar mau bersekolah lagi. “Tahu sendirilah bagaimana pergaulan di Jalan Mandailing, sekitar tempat tinggal kita itu,” sebutnya.

Untuk menarik perhatiannya, dia disarankan sekolah ke Jakarta, ikut bangnya. “Ibu yang mendorong saya sekolah ke Jakarta,” kenangnya lagi.

Saran ibunya ternyata menjadi titik balik kehidupan penggiat olahraga ini. Sepanjang 1975-1977, ia menimba ilmu di Sekolah Menengah Olahraga Atas (SMOA) di Jakarta. Lumayan, di sekolah ini prestasi belajar Chairul Azmi terbilang mentereng. Di kehidupan kesehariannya, ia juga lebih mandiri. Berbagai pekerjaan rumahtangga dipercayakan sang abang kepadanya.

Di lain pihak, keluwesannay bergaul membuatnya memiliki banyak teman. “Di Jakarta saya tetap sering bermain bola bersama kawan-kawan,” ujarnya.

Selepas menyelesaikan pendidikan di SMOA pada 1977, Chairul Azmi malah mencoba masuk ke sekolah tinggi prmasyarakatan yang sekarang menjadi Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP). Motivasinya, lagilagi tidak ingin menyusahkan abak yang mengasuhnya, maupun orangtuanya. “Sekolah di sana kan gak bayar, dapat uang saku dan lulus langsung kerja,” jelas Chairul Azmi.

Seleksi awal dilalui dengan baik. “Seorang teman saya waktu itu sudah kalah dari seleksi pertama.

BERSAMA TOKOH: Chairul Azmi (4 dari kanan) bersama atlet Wushu dan sejumlah tokoh nasional.

Sekarang dia sudah berpangkat Letkol di Angkatan Laut,” katanya bangga.

Hingga masuk tahap test psikilogi di Senayan, Chairul Azmi berhadapan dengan seorang penguji wanita.

Dia ditanya alasan mengikuti seleksi. “Ya, saya jawab saja dengan jujur, ibu itu malah tersenyum,” kenangnya lagi.

Entah bagaimana, ibu tersebut memintanya bernyanyi.

Berulang kali Chairul Azmi menolak dengan alasan tidak bisa bernyanyi, penguji tetap memintanya dengan setengah memaksa. “Karena saya bermarga, saya disuruh menyanyi. Katanya, ‘kan orang Batak pintar bernyanyi’. Jadilah saya nyanyi Garuda Pancasila,” ujarnya tersenyum.

Pada pengumuman hasil seleksi, ternyata ia dinyatakan tidak lulus. Chairul Azmi kesal, perjuangannya menjadi PNS di kandas di tahap akhir seleksi. Kekalahan ini mengingatkannya atas kegagalannya masuk Sekolah Menengah Analis Kimia di Medan. Kali ini dampaknya lebih besar lagi. Selama tiga tahun ia ‘luntang- lantung’ tanpa kegiatan. Hingga akhir 1980, Chairul Azmi kembali ke Medan. Dia lalu diajak paman (adik ibu, Red) menjadi pengawas di proyek perkebunan di Kota Pinang. Dari ibu kota, Chairul Azmi hidup ditengah-tengah prekebunan hingga terlibat membuka hutan untuk lahan kebun. Kembali, Chairul Azmi merenungkan kehidupannya. “Di sana saya berpikir, tidak ingin hidup seperti-seperti itu saja. Hingga tahun 1981 saya mencoba ujian seleksi Proyek Perintis 4 masuk IKIP Medan. Alhamdullilah, saya lulus di FPOK (Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan.),” sebutnya mengucap syukur.

Singkat cerita, Chairul Azmi, menjalani perkuliahan dengan baik. Tak hanya di kampus, pria ini juga mencatatkan diri sebagai atlet bprestasi di tingkat nasionalmelalui cabang olahraga gulat.

Di akhir masa pendidikannya, suami dari Tengku Lafalinda ini dihadapkan pada pilihan mengikuti jalur skripsi atau jalur matakuliah.

Jalur skripsi adalah jalur penelitian untuk menyelesaikan perkuliahan.

Hanya mahasiswa yang memiliki nilai memadai dan dianggap mampu yang diperkenankan mengikuti jalur ini. Sedangkan jalur matakuliah, bisa diambil semua mahasiswa, baik yang berprestasi baik maupun yang biasa-biasa saja. “Saya mengambil jalur skripsi dengan pertimbangan bisa menjadi dosen dan menjadi pegawai negeri.” (tms/omi)

Makan Bersama Emak Usai Jumatan

Chairul Azmi Hutasuhut

SATU bekal sukses yang tak pernah dilupakan oleh seorang Chairul Azmi Hutasuhut berasal dari orangtua, terlebih sang bunda, Siti Hawa Dalimunthe. Beragam nasihat dan pesan sang bunda yang dipanggilnya emak tetap diingat sampai saat ini. “Emak selalu ingatkan agar hidup jujur dan taat perintah agama,” ujarnya. Bahkan hingga usianya mencapai paruh baya, sang emak tetap ‘menyaupinya’ dengan berbagai petuah. Kata-kata dan nasihat itu dianggapnya sebagai doa permohonan kepada Tuhan untuk kesuksesannya.

“Setiap kali bertemu, emak pasti nanya, apakah saya sudah salat atau belum. Kalau belum, emak pasti menyuruh saya salat dulu,” ucap pria yang tetap terlihat bugar ini.

Perjalanan pengalaman pula yang membuatnya memiliki kebiasaan unik. Kamis malam, Pembantu Rektor di UNIMED itu selalu berkomunikasi dengan ibunya melalui telepon. “Kalau tidak emak yang tanya saya pengen dimasakkan apa, saya yang tanya emak masak apa besoknya,” singkap Kepala Humas UNIMED ini.

Keesokan harinya, usai salat Jumat berjamaah, ia pasti menemui emak di rumah dan makan bersama. “Itu tetap saya lakukan kalau saya tidak ke luar kota,” katanya pasti.

Sesekali, dua anaknya diminta menjenguk Siti Hawa Dalimunthe.

“Kebetulan libur sekolah, tadi juga saya minta anak saya menemui neneknya.” Pengalaman hidup dan nasihat orangtuanya pula yang dijadikan landasan memberi pengarahan bagi anakanaknya.

“Saya tanamkan pada anak untuk selalu jujur, tidak sombong dan arogan,” ujarnya.

Di tengah kesibukannya di UNIMED dan di dunia olahraga, Chairul Azmi Hutasuhut tetap menjaga komunikasi yang baik dengan istri dan anak-anaknya. “Paling tidak, setiap pagi kami sarapan bersama. Waktu itulah saya dan istri banyak ngobrol dengan anak-anak dan menanamkan nilai-nilai hidup.” Kehangatan bersama keluarga juga dipupuk ketika waktu luang, dengan makan bersama di luar rumah. Saat liburan, kerap pula diisi dengan bepergian bersama keluarga.

“Bagi saya, kualitas pertemuan itu lebih penting,” paparnya.

Pria yang masih menjabat Sekeretris Umum KONI Sumut itu tak lupa membekali anak-anak dengan pengetahuan agama. “Kami memanggil guru agama ke rumah untuk belajar tentang agama ataupun mengaji Al-Quran bagi anakanak,” terangnya.

Sebagai orangtua, tak banyak yang dia tuntut dari anakanaknya selain menjadi anak saleh dan kelak bisa menghidupi diri dan keluarganya.

“Kita hanya bisa memantau dan memberikan dukungan terhadap masa depan anak . Bila profesi yang dipilih anakanak telah diperdalaminya, kiranya profesi tersebut dapat bermanfaat bagi orang lain,” ungkapnya. (tms/omi)

 

DATA DIRI

  • Kelahiran : Medan, 1 April 1958
  • Pekerjaan : PNS di Unimed
  • Anak : Bungsu dari 7 bersaudara
  • Nama Ayah : Musai Hutasuhut
  • Ibu : Siti Hawa Dalimunthe
  • Istri : Dra Tengku Lafalinda MPd
  • Kelahiran : Sibolga 4 Mei 1963
  • Anak : 1. Muhammad Iqbal Az’ari Hutasuhut (Medan, 6 April 1990)
  • 2. Farhan Arafah (Medan, 6 April 1998)

PENDIDIKAN

  • 1970 Lulus dari SD Muhammadiyah Jalan Pahlawan Medan
  • 1972 Lulus dari SMPN 10 Medan
  • 1975-1977 SMOA Jakarta
  • 1981-1987 S1 IKIP Medan, Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehtan (FPOK),

PRESTASI

  • 1975 Juara Gulat Se DKI Jakarta
  • 1989 Wasit Panahan di PON ke 12 di Jakarta
  • 1993 Wasit Panahan PON ke 13 di Jakarta
  • 1996 Wasit Panahan PON ke 14 di Jakarta
  • 2000 Wasit Panahan PON ke 15 di Surabaya
  • 1993 Meraih Sertifikat Wasit Panahan Internasional
  • 1995 Wasit Panahan di Kejuaraan Asia di Malaysia

PENGALAMAN ORGANISASI

  • 1988-1992 Wakil sekretaris PASI Sumut
  • 1992-1996 Sekretaris PASI Sumut
  • 2002-2006 Sekretaris PASI Sumut
  • 1998-2002 Wakil sekreatris umum KONI Sumut
  • 2003-2016 Sekum KONI Sumut mulai tahun
  • 2001-2009 Ketua I Pengprop Wushu Sumut tahun
  • 2005-2013 Ketua bidang organisasi PB Wushu
  • 2008-2012 Pengurus PB PASI tahun
  • 1996-2003 Sekretaris ISORI Sumut
  • 2003-2007 Pembatu Dekan III FIK Unimed
  • 2000-2011 Kepala Humas UNIMED
  • 2007-2015 Pembantu Rektor II Unimed

Senyum Niyala

Dua rumah dari rumahku, adalah rumah Niyala. Gadis yang beberapa hari ini kerap datang bermain ke rumahku sendirian. Kadangkala saat pekerjaan kantor menumpuk, Niyala datang dan mengajakku bermain.

Cerpen: Miftah Fadhli

Ah…

SIAPA sangka kelucuan dan kecantikannya mampu menyihirku? Dengan segera kutinggalkan pekerjaan yang menumpuk, menuruti ajakan Niyala bermain kuda-kudaan atau rumah-rumahan.

Tiga bulan aku telah mendiami rumah ini. Belum sekalipun aku berkunjung ke rumah Niyala. Pertama kali aku pindah, justru Niyala yang bertandang ke rumahku membawakan sepiring kolak pisang untukku.

Seperti yang kukatakan tadi, ia datang (selalu) sendirian. Tanpa ibu atau ayah yang menemani. Ia selalu datang dengan boneka panda lusuh di tangan. Satu-satunya mainan yang ia miliki, katanya kepadaku.

Niyala, yang selalu memasang wajah ceria, bertanya padaku, “Om sudah punya isteri?” Tentu saja aku kaget dengan pertanyaan itu. Bagaimana bisa Niyala, gadis lima tahun yang berjalan sendirian dari rumahnya, bertanya hal yang demikian. Tidakkah itu terlalu dewasa. Ah.

Perlu kuceritakan, bahwa kepindahanku ke rumah ini semata-mata adalah sebuah pelarian. Pelarian dari rasa sakit hati yang terlanjur memuncak.

Hampir tidak terukur rasa sakit hati itu hingga aku memilih untuk benar-benar melepaskan segala cerita di balik rasa sakit hati itu. Jika kuceritakan ini pada Niyala, jelas ia tidak akan mengerti. Tapi ia terus saja mendesakku agar menjawab pertanyaannya.

Ah, Niyala.

Aku mengangkatnya ke pangkuanku. Saat itu hujan. Suara hujan terdengar bergemerontangan, mendarat pada permukaan seng rumahku.

Pekerjaan kantor masih bertumpuk- tumpuk dalam file di laptopku.

Niyala membangunkanku dari kesibukan kerja yang semakin hari semakin padat. Bisa kurasakan bulu-bulu tangan Niyala yang bergerak tegang akibat udara dingin yang diam di titik 27 derajat. Kuminumkan padanya segelas teh manis untuk menghangatkan tubuhnya.

“Isteri om ada di mana sekarang?” desak Niyala, menatap tajam ke arahku.

Ah. Kenapa aku gugup? Bagaimana bisa suasana dingin ini berubah menjadi rikuh? Wajah Niyala, yang menggetarkan. Wajah yang belakangan ini selalu hadir menepis kenangan terburuk dalam hidupku. Wajah yang belakangan menghilangkan segala risau dan penyesalanku. Wajah yang bisa tiba-tiba hadir seperti hujan tak terduga di siang hari. Ah, Niyala.

Tatapan matanya kepadaku.

Pipi tembamnya yang tersorong ke samping dan menciptakan dua ceruk kecil saat tersenyum. Siapa yang bisa mengatasi itu? “Isteri om ada di suatu tempat, jauh di sini……” ucapku sambil menunjuk dadaku, “……dan tidak akan kembali.” Niyala memiringkan kepala ke kanan.

Alisnya mengerucut ke bawah.

Keningnya menciut. Tatapan matanya sedikit longgar. Ia tampak sedang mencerna kata-kataku, yang tentunya, tidak dia mengerti. Dimain- mainkannya boneka panda yang sejak tadi ia dekap. Kadang ia pelintir telinganya. Kadang ia ciumi pipi berbulunya. Kadangpula ia sorong- sorongkan ke dadaku, seperti menyorongkan mobil mainan.

“Jadi om sendirian?” “Iya, Niyala.” Yang tidak aku mengerti adalah, kenapa orangtuanya tak pernah mengantar Niyala atau menjemput Niyala dari rumahku. Bahkan untuk sekedar berjumpa dan berkenalan denganku, tetangga barunya, tidak pernah.

Aku juga tidak pernah melihat kedua orangtua Niyala di luar rumah. Rumahnya terlihat kosong. Seperti tak ada yang menghuni.

Hanya kain-kain basah sehabis dicuci yang diselonjorkan di pagar tanaman rumahnya, yang menandakan rumah itu berpenghuni.

Kadang aku mendengar suara mengiris bagai tangis dari dalam rumah.

Kadang terdengar suara benda seperti diseret dan bantingan pintu.

Tanpa mau tahu suara apa itu, aku bergegas melintas di depan rumah itu. Tak pernah sekalipun aku mau berpikir tentang sesuatu di dalam rumah Niyala.

“Niyala, bibir kamu kenapa?” *** Sudah seminggu lebih tiga hari Niyala tidak berkunjung ke rumahku.

Ini tidak biasanya karena Niyala selalu berkunjung ke rumah setiap hari atau tiga hari sekali. Aku mulai cemas. Aku juga sering mendengar suara ribut entah dari mana. Aku pikir suara itu berasal dari rumah sebelah.

Namun pemilik rumah mengaku tidak melakukan suatu hal sehingga menimbulkan suara sedemikian ricuh. Mereka yang ternyata juga mendengar suara gaduh itu juga tidak tahu suara tersebut berasal dari mana.

Niyala? Suatu pagi aku mencoba iseng bertandang ke rumahnya. Tidak ada pakaian dijemur. Tidak ada suara apapun dari dalam. Tidak seperti biasanya rumah itu terlihat benar-benar kosong. Lampu teras masih menyala bahkan telah berkurang pencahayaannya karena tidak pernah dimatikan. Lantai teras terlihat sangat kotor. Ada genangan air berkumpul di sudut teras. Semut-semut berjejer rapi merayap di dinding membawa segala makanan dan telur di pundak mereka. Betapa sepi. Betapa asing.

Aku mengintip dari jendela hitam ke dalam rumah. Perabotan rumah masih ada di tempat. Lampu di ruang tengah juga masih menyala. Namun tak ada pergerakan sama sekali.

Huh. Kenapa tiba-tiba aku sangat merindukan Niyala? Merindukan kehadiran senyumnya yang dapat menuntaskan kekesalanku pada perempuan yang telah mengkhianatiku beberapa bulan lalu. Setelah sekian lama hal itu terpendam karena Niyala selalu hadir dalam kehidupanku, kini perasaan itu muncul kembali seperti gabus yang ditenggelamkan ke dalam air. Sangat ringan. Begitu mudah muncul ke permukaan.

Setiap hari aku selalu memperlambat gerakanku saat melintas di depan rumah Niyala. Berharap ada tanda-tanda memuaskan dari Niyala.

Lebih dari itu, aku berharap saat aku melintas di depan rumahnya, Niyala membuka pintu rumahnya dan melonjak ke pelukanku saat kami bertemu dan bersitatap.

Hingga waktu berganti bulan untuk kedua kalinya, Niyala tidak pernah lagi berkunjung ke rumahku.

Hari-hariku diisi dengan kegiatan serupa, saat aku belum mengenal Niyala.

Bersiteru dengan file-file kantor yang mesti kuselesaikan. Bersiteru dengan perasaan kecewa atas pengkhianatan yang dilakukan isteriku.

Bersiteru dengan penyesalan yang sakitnya seperti dihantam gagang parang di pelipis. Dan ditambah lagi dengan persiteruan batinku yang terus saja menanyakan keberadaan Niyala.

Niyala yang wajah imutnya tibatiba hilang begitu saja tanpa memberi kabar. Ia hilang bersama senyum manisnya yang menciptakan dua ceruk dangkal di kedua pipi gembilnya. Mata coklatnya, alis tipisnya, hidung mancungnya, dan segala hal yang ia bawa serta ke kehidupanku tiba-tiba seperti memaksaku untuk mencaritahu keberadaannya.

Sungguh, ada yang tidak beres dengan degup jantungku.

Degup jantung yang tibatiba kencang setelah bulan ketiga Niyala tidak datang ke rumahku.

Niyala, apakah…….? *** Sore yang basah, tanpa sengaja aku melihat pintu rumah Niyala terbuka lebar. Lampu teras tidak menyala.

Entah karena dimatikan atau mati dengan sendirinya. Aku melihat seorang wanita hilir mudik, mengangkat barang-barangnya ke teras.

Dua buah koper besar telah ada di depan jendela rumah Niyala. Mungkin berisi pakaian, atau apa? Tapi aku tidak melihat Niyala sama sekali.

Aku mencoba mendatangi rumahnya dan bertemu dengan wanita itu.

Mungkinkah itu ibu Niyala? Ah, begitu muda wanita itu. Tapi, kenapa ia terlihat cemas? Tidak. Lebih dari itu, ia terlihat sedih. Matanya sembab.

Pipinya bengkak dan berwarna kebiruan.

Airmata terus saja mengalir dari mata sayunya yang telah berkantung itu.

Aku iseng berucap, “Selamat sore.

Perkenalkan, saya Fadil. Anda ibunya Niyala, bukan?”.

Wanita itu tersenyum, menjabat tanganku. Ah, ada yang tidak beres dengan senyumnya.

Tangannya dingin.

Pada jemarinya terdapat bekas goresan berwarna merah. Ia mengeluarkan dua kursi.

Satu untukku, satu lagi untuknya.

“Silahkan duduk. Sudah lama kita tidak bertemu, ya?” katanya.

Aku mendesah. Kita memang tidak pernah bertemu nona, gerutuku dalam hati. Kuperhatikan wajahnya. Ada kilat kesedihan yang melebihi kesedihanku. Aku tidak tenang.

Mataku terus melirik ke dalam rumah.

Mungkin saja Niyala ada di dalam. Bersembunyi. Aku enggan menanyakan keberadaan Niyala pada wanita ini. Tapi pikiranku terus saja mendesak agar pertanyaan itu kuucapkan. Sangat kuat. Ah, aku menyerah.

“Maaf, boleh saya bertemu dengan Niyala?” tanyaku, ragu-ragu.

*** Malam mengerucut tepat di angka dua belas. Mendung menghalangi bulan menggelantung di angkasa.

Aku termenung di teras rumah.

Memperhatikan satu atau dua bintang yang sesekali berkerlip redup.

Angin dingin menyambar tengkukku.

Membuatku sekali lagi menuangkan teh ke gelas. Menyeruputnya sampai habis. Berharap hawa dingin yang tadi menelusup ke dalam tubuhku menguap. Seperti asap yang mengepul dari permukaan teh. Seperti embun yang tadi pagi ada, dan kini tak ada. Seperti senyum Niyala yang dulu hadir dalam kehidupanku, dan kini hilang begitu saja.

Bibir Niyala yang beberapa bulan lalu mengeluarkan darah, adalah cerita lain dari senyum menggemaskannya.

Ia lari begitu saja saat kutanyakan soal bibirnya yang biru dan pecah. Aku tidak tahu ternyata ada luka yang lebih besar dalam dirinya yang membuatnya pupus dari kehidupanku kini. Ada luka yang tak terobati, tidak hanya pada diri Niyala, tapi dalam diri dan perasaan ibunya.

Aku juga tidak menyadari bahwa pertemuanku dengan Niyala saat itu adalah yang terakhir, sebelum ayah Niyala yang berengsek itu, dengan mudahnya melayangkan tamparan di pipi gembil Niyala. Pria pemabuk yang tiap hari menimbulkan suara gaduh itu adalah pembunuh yang sukses menebas kehidupanku yang perlahan mulai pulih. Dia adalah laki-laki yang sukses membuat luka besar dalam diri Niyala dan ibunya. Dan kini ia mendekam dalam penjara untuk beberapa tahun ke depan.

Rumahnya, kini benar-benar ditinggalkan.

Ibunya yang waktu itu berada di kampung halamannya, kembali ke rumah untuk mengemasi barangbarangnya.

Semua perabotan di rumah itu diangkat. Rumah itu dibiarkan kosong. Tak ada niat ibunya untuk kembali lagi ke rumah itu. Di kampung halamannyalah, ada Niyala dan segala kenangan menyedihkan yang terbaring begitu saja. Tampaknya ibunya ingin terus berada di dekat pusaranya yang beku. Tanpa memperdulikan perasaanku yang juga ingin berada di dekat Niyala.

Ah, Niyala. Saat kuperhatikan langit mendung, aku menyaksikan cahaya bulan perlahan muncul dari balik awan. Bulan sabit berwarna kekuningan itu mengingatkanku padamu. Pada senyummu.(*)

Lantai Basement Seberang Masjid Raya Kemarin sore.

Oleh: Ramadhan Batubara

Saya memilih menulis lantun ini di lantai basement sebuah pusat perbelanjaan di seberang masjid raya. Tidak bermaksud untuk apa-apa, hanya ingin mencari suasana baru saja. Dan, yang saya dapati ternyata sebuah keasyikan tak terduga.

SEBELUMNYA saya harus mengatakan kalau ada sedikit perubahan pada lantun kali ini dan lantun-lantun mendatang. Saya tak lagi berusaha untuk menerjemahkan sesuatu (seperti lantun-lantun sebelumnya) hingga mencoba memberikan solusi. Mulai saat ini saya hanya ingin bercerita. Bercerita tentang apa? Ya, tentu saja tentang Medan.

Semua ini berawal setelah kritik yang diberikan istri saya tentang lantun pekan lalu. Katanya, saya terlalu beronani; sibuk sendiri, nikmat sendiri, dan sok paten. Katanya, kenapa tidak membuat semacam catatan untuk Kota Medan? Catatan perjalanan, catatan harian, atau apalah yang bisa dinikmati orang lain. Ayolah, kata dia, tidak semua warga Medan bisa menikmati bahkan mengetahui kota ini.

“Berbagilah, ceritakan tentang yang kau alami di Medan. Kau kan baru empat tahun di sini, jadi kau masih bisa melihat mana yang bagus untuk ditulis dan mana yang tidak. Kalau orang yang sudah menahun di kota ini, dia sudah tak tahu lagi mana yang indah di kota ini. Semuanya sudah dianggap biasa,” begitu kata istri saya.

Betul juga. Buktinya, kini saya ada di lantai basement seberang Masjid Raya. Adakah pengarang atau penulis atau jurnalis yang pernah menulis di sini? He he he.

Bercerita soal basement (sebelumnya ingin saya tuliskan lantai bawah tanah, tapi karena yang tertulis di tempat ini adalah basement, ya sudah saya ikut saja) pasti bukan barang baru bagi kota terbesar di Sumatera ini. Nyaris setiap gedung pencakar langit yang ada di kota ini memiliki basement bukan? Biasanya, dijadikan tempat parkir. Lalu, apa menariknya? Itu dia yang ingin saya ceritakan.

Baiklah kita mulai dengan lokasi basement ini. Pertama, Anda harus menjalani Jalan Sisingamangaraja dulu. Lalu, setelah tiba di simpang empat Masjid Raya, perhatikan sebuah pusat perbelanjaan di seberangnya.

Dari pusat perbelanjaan ini ada sebuah jembatan penyeberangan ke Masjid Raya; sudut menarik untuk melihat keindahan masjid.

Pusat perbelanjaan ini tak berbeda dengan tempat lain. Dia menawarkan berbagai barang yang bisa membuat orang tergiur. Jangan peduli kan itu. Anda jalan saja menuju belakang, setelah mendapati barisan ATM, Anda akan melihat tangga ke bawah. Nah, di bawah itulah ruang yang saya maksud. Dan, di sinilah saya menulis untuk Anda. Di sebuah warung internet yang ber-AC dingin, tidak boleh merokok, dan menawarkan musik santai.

Yang menjadi pikiran saya, tempat ini kan bukan kawasan pendidikan atau mungkin perkantoran yang memang membutuhkan warung internet.

Kenapa disediakan warnet? Hm, mungkinkah untuk mendukung pariwisata, mengingat pusat perbelanjaan ini dekat dengan objek wisata Medan seperti Masjid Raya dan Istana Maimoon. Hingga, manajemen pusat perbelanjaan ini berpikir harus menyediakan fasilitas bagi pelancong yang harus segera berhubungan dengan koleganya di luar Medan; misalnya mengirim email dan foto.

Tapi, kan ada telepon genggam.

Dan, bukankah telepon genggam semakin pintar; soal internet bukan masalah lagi bukan? Lalu, jika memang manajemen pusat perbelanjaan ini berpikir harus, kenapa warnet ini diletakkan di lantai basement? Ah, terserahlah. Yang jelas, kini saya mengalami suasana yang berbeda sekali. Biasanya saya menulis lantun di kantor atau di rumah.

Sekian puntung rokok pun habis untuk menulis lantun. Kali ini saya di warnet yang letaknya cukup menggoda; basement. Ruang ber- AC yang tak memperbolehkan saya menyulut rokok. Ruang yang berkaca besar hingga mereka yang berada di barisan ATM bisa melihat jelas tingkah pola saya. Makin menggoda, basement di sebuah pusat perbelanjaan. Makin tambah bergairah, letaknya di seberang masjid raya. Bisa bayangkan kebahagiaan warnet ini ketika saya berhasil menemukannya? Ayolah, warnet (apalagi di basement) harus bersaing dengan masjid yang menjadi ikon kota dan pusat perbelanjaan ramai, bisakah dia menang? Entahlah, ada semangat yang muncul, seperti tak sabar menunggu hari Minggu agar ada ruang untuk saya menulis lagi. Ya, melaporkan pada Anda tentang sesuatu yang saya alami di Medan. Tunggulah…(*)

Enam Kapolres Diganti

Sahala Allagan Bersiap Pensiun

JAKARTA-Jabatan Brigjen Pol Drs Sahala Allagan sebagai Wakil Kapolda Sumut (Wakapoldasu) segera berakhir. Dia akan digantikan Brigjen Pol Drs Cornelis Hutagaol yang sebelumnya menjabat sebagai Analisis Kebijakan Utama Bidang Politik Baintelkam Polri. Sahala Siallagan akan menempati posisi sebagai Pati Yanma Polri dalam rangka persiapan pensiun.

Seperti biasanya, Mabes Polri mengatakan, mutasi ini sebagai hal yang biasa saja, semata untuk penyegaran organisasi.
“Mutasi ini merupakan hal yang biasa dalam rangka penyegaran organisasi,”ujar Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Saud Usman Nasution kepada Sumut Pos di Jakarta, Jumat (27/1) Selain Wakapoldasu, dalam Telegram Rahasia yang ditandatangani Kapolri nomor ST/148/I/2012 tanggal 26 Januari 2012 itu, jabatan Kapoltabes Medan juga kena mutasi.

Kombes Tagam Sinaga akan digantikan oleh Kombes Pol Monang Situmorang SH MSi yang sebelumnya menjabat sebagai Dirpamobvit Polda Riau. Sementara, Tagam Sinaga akan menempati pos baru sebagai Analis Kebijakan Madya Bidang Pidana tertentu Bareskrim Polri dalam rangka persiapan Sespati 2012.

“Kalau saya bisa dibilang sedih meninggalkan Medan, tapi semuanya karena tugas dan saya harus siap,” ucap Tagam melalui telpon selular terkait mutasi tersebu, kemarin malam.

Lebih lanjut dirinya mengatakan, begitu banyak kesan yang ia terima di Medan, baik itu dalam tugas atau dalam kehidupan bermasyarakat. “Pertama kali saya di Medan, langsung disambut dengan perampokkan CIMB Niaga dan itu sangat sulit saya lupakan,” sebutnya.

Ia sendiri mengaku takkan melupakan Medan karena dia merupakan putra daerah yang pertama kali menjadi Kapolresta Medan. “Mana bisa lupa Medan, saya lahir di Siantar dan dua kali tugas di Medan,” ucapnya.

Siapa sangka yang paling berkesan dan tidak bisa ia lupakan dan akan dirindukannya kuliner di Medan yang mungkin tak akan dijumpainya di tempat tugas baru. “Rindu nasi lembu dan makan belut di Graha Helvetia,” ucapnya
Lalu, bagaimana dengan calon penggantinya Kombes Monang Situmorang? “Saya yakin Kapolresta baru, lebih mampu dari kita apalagi dia pernah menjabat sebagai Kasat Intel Poltabes Medan, kita harap dia lebih mampu karema dia kenal wilayah Medan. Dan pesan terhadap masyarakat Medan saya ucapkan terima kasih atas doa dan kerjasama yang terjalin selama ini, saya juga minta maaf karena masih banyak juga PR yang belum terselesaikan,” ucapnya.

Untuk posisi akan diisi oleh Kombes Pol Drs M Arkan Hamzah menggantikan Kombes Pol Drs Bambang Sukamto SH, MH yang akan menempati pos baru sebagai Widyaiswara Muda Sespimti Sespim Lemdikpol Polri. Selain itu, adalah Kapolres Karo AKBP Drs Ignatius Agung Prasetyoko SH MH. Dia digantikan AKBP Marcelino Sampow SH SIK MT sebelumnya menjabat sebagai Kabag Diklat Pusdik Lantas Lemdikpol. Ignatius Agung Prasetyoko akan menempati pos baru sebagai Wadiresnarkoba Polda Jambi (lainnya lihat grafis).

Kabid Humas Polda Sumut Kombes Raden Heru Prakoso juga mengamini soal pengalihtugasan tersebut. “Jadi yang diganti Wakapolda, Dir Lantas, Kapolresta Medan, Kapolres Langkat, Karo, Asahan, Nias, dan Dairi,” ujar Heru. Namun, Heru belum tahu pasti kapan serah terima jabatan (sertijab) akan dilaksanakan.

Menurutnya, sertijab dilaksanakan paling lambat 14 hari setelah surat telegram turun.
Terkait dengan itu, Kapolres Langkat AKBP H Mardiyono menegaskan tidak berpikiran negatif apalagi risau tentang pergantian jabatan yang nyaris 3 tahun telah diembannya itru. Sebab, sebagai prajurit dia siap ditugaskan di mana saja sekaligus selalu  mensyukuri keadaan. “Bagi saya, bekerja adalah ibadah,” kata Kapolres di Stabat, Jumat (27/1), mengenai perpindahan tugasnya.

Disinggung tentang keluarnya telegram Kapolri tentang pergantian Kapolres Langkat dari AKBP Mardiyono dan disebut-sebut segera diisi AKBP Leonardus Eric Bhismo, Mardiyono kembali menegaskan hal itu bukan masalah besar. “Tugas harus dilaksanakan dengan baik karena Allah SWT pasti sudah merencanakan semua kehidupan anak manusia,” terangnya.

Beberapa waktu sebelumnya, dihadapan karyawan PTPN2 Kebun Batang Serangan Kecamatan Batang Serangan yang melakukan aksi damai ke Mapolres Langkat, Kapolres mengisyaratkan soal perpindahan jabatan itu. Katanya, sudah cukup panjang di berutgas di Langkat. (sam/gus/mag-4)

Gus, Gatot, dan RE Teratas

Prediksi Jelang Pilgubsu 2013

MEDAN-Telah banyak nama yang muncul jelang Pilgubsu 2013 mendatang. Berbagai prediksi tentang langkah yang akan diambil partai pun telah disajikan. Hasilnya, dari penelusuran Sumut Pos di masyarakat dan pengamat, dua nama diyakini akan bersaing ketat menuju BK 1. Siapa lagi kalau bukan Gus Irawan Pasaribu dan Gatot Pujo Nugroho. Untuk BK2, hanya satu nama RE Nainggolan.

Kemarin, Sumut Pos  bertemu dengan ketua dan sekretaris salah satu partai yang ada di Sumut. Atas nama kepentingan, politisi tersebut tak ingin namanya dikorankan.

Dari perbicangan dengan mereka, sosok Gus dan Gatot memang tidak bisa dipungkiri memimpin dibanding nama-nama lain yang telah muncul untuk Pilgubsu 2013 mendatang.

Selain itu, rivalitas dari keduanya akan berjalan sengit. Karena, baik menurut sang ketua maupun sekretaris partai tersebut, kedua tokoh ini adalah sosok yang paling diminati masyarakat. “Kalau Pilgubsu ini Gatot nggak ikut, macam makan tanpa garam. Nggak seru. Saingannya ini, Gus Irawan. Nah pertanyaannya, apa mungkin nanti orang ini koalisi. Kalau koalisi berat juga, karena dua orang ini sama-sama mau jadi nomor satu,” urai mereka.

Sang sekjen partai tersebut menuturkan, sosok RE Nainggolan juga layak diperhitungkan. Hanya saja, menurutnya, ada satu ketidakmungkinan akan terjadi bila Gatot dipasangkan dengan RE Nainggolan. Namun, sambungnya, cukup ideal bila Gus Irawan bersanding dengan RE Nainggolan “Nggak mungkin dan tidak dibenarkan sama partainya, kalau Gatot sama RE Nainggolan dipasangkan. Gus Irawan kayaknya cukup pas sama RE Nainggolan,” kata sang Sekjen yang dibarengi anggukkan kepala sang ketua partai.

Ucapan mereka dengan melebihkan nama Gus dan Gatot bukan tanpa alasan. Pasalnya, yang berkembang dari prediksi per partai memang lebih banyak mengarah ke Dirut Bank Sumut dan Pelaksana Tugas (Plt) Gubsu tersebut.

Misalnya, Partai Golkar. Bagi partai bergambar pohon beringin ini sosok yang berpeluang besar akan menjadi jagonya dalam Pilgubsu 2013 mendatang mulai mengerucut pada tiga nama, Gus Irawan Pasaribu, mantan Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Kapoldasu) yang saat ini menjabat sebagai Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian (Kalemdikpol) RI, Komjen Pol Oegroseno, dan Bupati Serdang Bedagai (Sergai), HT Erry Nuradi.

Untuk hal ini, salah seorang anggota Fraksi Golkar DPRD Sumut, Richard Eddy M Lingga yang dikonfirmasi Sumut Pos mengaku, sejauh ini belum ada keputusan DPD Partai Golkar. “Wah, saya tidak tahu soal itu. Karena itu urusan DPD. Sejauh ini belum ada,” jawabnya singkat.

Bagaimana dengan partai lainnya? Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Amanat Nasional (PAN) serta partai-partai gurem lainnya, kelihatannya akan melabuhkan hatinya ke beberapa sosok. Pertama, Gatot selaku incumbent. Kemudian RE Nainggolan juga disebut-sebut. Gus Irawan pun masuk dalam daftar nominasi.

Untuk yang ini, anggota Fraksi PAN DPRD Sumut, Muslim Simbolon menyatakan, untuk Partai PAN juga belum ada memutuskan siapa yang akan dimajukan pada Pilgubsu 2013 mendatang. Namun, Muslim Simbolon juga sempat menyebut-nyebut nama Ketua DPW PAN Sumut, Syah Afandin alias Ondim.

Menurutnya, setiap partai pasti menginginkan salah seorang kadernya untuk maju, baik untuk orang nomor satu ataupun nomor dua. “ Tidak mungkin mendahulukan orang lain. Misalnya PAN ada Syah Afandin, PPP ada Fadly Nurzal dan lainnya,” terangnya.
Yang sedikit berbeda adalah Partai Demokrat Sumut. Mereka tampaknya masih bertahan dengan tiga nama seperti Rahmat Shah, Mayjend AY Nasution, dan HT Milwan.

Menariknya, informasi yang diperoleh Sumut Pos dari salah seorang fungsionaris partai besar di Sumut, bahwa pada Sabtu (21/1) lalu, RE Nainggolan membuat pertemuan di kediaman fungsionaris Partai Demokrat Sumut, Palar Nainggolan. Agendanya adalah tentang rencana RE Nainggolan maju untuk Sumut 1.

Pada pertemuan tersebut konon kabarnya, sebagian besar yang diundang adalah Pimpinan Partai Demokrat dari kabupaten/kota. Jadi, kemungkinan besar RE Nainggolan akan bersaing dengan Pangkostrad AY Nasution. Mengenai kabar tersebut, Sekretaris Jenderal (Sekjend) Partai Demokrat Sumut, Tahan Manahan Panggabean yang dikonfirmasi hal itu mengaku, tidak tahu. “Saya tidak tahu ada pertemuan itu. Tapi saya pikir tidaklah. Tidak ada pertemuan untuk membahas calon dari Demokrat. Mungkin saja, itu pertemuan atas nama pribadi,” jawabnya.

Lalu, bagaimana dengan PDIP? Seperti diberitakan, partai ini lebih hati-hati memunculkan nama. Selama ini nama yang berada masih sebatas Tri Tamtomo. Nama baru yang muncul adalah nama Sofyan Tan.

Terkait dengan itu, ketua partai yang tak ingin namanya dikorankan tadi mengatakan dua nama dari PDIP tersebut tampaknya akan sulit maju. “Tritamtomo kayaknya nggak mau lagi. Kalau Sofyan Tan, bisa-bisa saja. Politik kan tidak bisa ditebak. Tapi, nanti gampang dimainkan sama yang lain. Isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) itu,” tutur ketua partai tersebut.
Dua Syarat Menjadi Gubsu
Sementara itu dari Jakarta, pengamat politik lokal, Ray Rangkuti mengajukan dua syarat bagi kandidat, sehingga layak memimpin Sumut ke depan. Menurut aktivis asal Mandailing Natal (Natal), publik saat ini secara umum, tidak hanya di Sumut, menghendaki figur yang mampu menjawab dua isu penting. Yakni, isu antikorupsi, dan kedua, isu mengenai kemandirian daerah di era otonomi saat ini.

“Tren yang dikehendaki publik saat ini adalah sosok yang menggambarkan isu antikorupsi, dan sekaligus mampu mengelola sumber daya alam untuk kemandirian ekonomi daerah. Kemandirian ini juga menyangkut bagaimana memberdayakan kelompok ekonomi menengah ke bawah,” urai Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), kemarin.

Menurut mantan Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) itu, dua syarat itulah yang harus melekat pada diri gubernur Sumut ke depan, sebagaimana dikehendaki publik. Karenanya, saran Ray, sejak sekarang publik di Sumut harus mulai melakukan tracking terhadap nama-nama kandidat yang muncul, kiranya siapa sosok yang memenuhi dua kriteria itu.

Untuk melacak isu antikorupsi, menurut aktivis antikorupsi itu, sangatlah mudah. Pasalnya, dari nama-nama yang muncul, sebagian besar merupakan pejabat dan mantan pejabat, termasuk politisi.  Sementara, untuk melacak isu kedua, yakni kemandirian ekonomi, malah sangat mudah. “Sejauh mana kiprahnya selama ini dalam pemberdayaan ekonomi kerakyatan,” ujar Ray.

Terkait dengan syarat kiprah pemberdayaan masyarakat, bagaimana dengan Gus Irawan yang Dirut Bank Sumut? Ray terang-terangan menyebut, Gus Irawan sudah punya poin untuk syarat yang satu ini. “Kalau sejarah sepak terjangnya sudah menunjukkan dia berpihak ke pengusaha kecil menengah ke bawah, itu kredit poin bagi dia. Tinggal bagaimana soal isu antikorupsinya, itu yang harus dilacak, sehingga komplit kriterianya,” kata Ray.

Ditanya mengenai komposisi cagub-cawagub yang ideal dari latar belakanga kandidat, Ray mengatakan, siapa pun dan bagaimana pun kombinasi cagub-cawagub, tetap harus memenuhi dua syarat itu.  Namun, ada catatan khusus dari Ray, yang nampak antipati dengan kandidat yang berlatar belakang politisi.  “Karena partai tak pernah menciptakan orang-orang yang ideal, tapi menciptakan orang-orang yang kemaruk (rakus kekayaan, red),” dalih Ray. (ari/sam)

Setengah Dukun

Maudy Koesnaedi

Maudy Koesnaedi selalu terlihat cantik meski sudah berusia 36 tahun. Kulit wajahnya terlihat kencang. Kecantikannya pun tampak alami. Tanpa make-up pun, wajahnya tetap cantik. Ternyata, itu merupakan buah keteguhannya pilih-pilih
kosmetik.

Dia termasuk perempuan yang punya prinsip teguh, tidak mau jadi korban produk kosmetik yang banyak membanjiri pasaran. “Saya itu termasuk orang yang sangat berusaha keras untuk kembali ke alam. Saya tidak mau melakukan sesuatu yang menyakiti kulit,” tegasnya saat ditemui dalam acara peluncuran Loreal Youth Code Pre-essence kemarin (27/1).

Tapi, tak dimungkiri, seratus persen alami adalah hal yang sulit sekarang ini. Apalagi dengan profesinya sebagai public figure. Dia sering harus berurusan dengan make-up maupun produk perawatan lain yang mengandung bahan kimia.

“Memang, itu tidak bisa dihindari. Tapi, selagi masih bisa pakai yang alami, akan saya usahakan pakai itu. Kalaupun terpaksa harus pakai produk yang bukan alami, biasanya saya cari dulu track record-nya. Itu produk dari mana, kandungannya apa saja. Saya nggak berani pakai yang drastis. Takut sama efeknya,” ceritanya.

Karena itu, ibu satu anak tersebut tidak punya langganan dokter kulit untuk merawat kecantikan. Kalaupun mendatangi dokter kulit, itu hanya untuk alasan medis. “Misalnya, ada bekas luka yang mengganggu dan tidak bisa hilang. Atau, kulit saya belang karena terlalu banyak terkena matahari. Kalau hanya untuk perawatan atau menghilangkan kerutan sih, saya nggak pernah,” lanjutnya.

Maudy menceritakan, di rumah, dirinya masih suka menggunakan sayuran dan buah-buahan untuk merawat tubuh. Bahkan, kalau anaknya demam, dia masih suka mengobatinya dengan bawang merah. “Sampai-sampai, teman saya bilang, saya ini setengah dukun. Soalnya, ya begitu, saya masih suka pakai bubuk pala untuk obat juga,” ungkapnya. (jan/c5/any/jpnn)

Plt Gubsu Terjebak Skema Komisaris Utama

Buntut Keputusan RUPS-LB Bank Sumut

MEDAN- Pengamat Ekonomi dari Universitas Sumatera Utara (USU), John Tafbu Ritonga kembali meributi hasil Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham-Luar Biasa (RUPS-LB) PT Bank Sumut. Menurutnya, keputusan RUPS-LB itu pada prinsipnya menunjukkan kalau Plt Gubsu Gatot Pujo Nugroho terjebak pada skema yang dimainkan Komisaris Utama PT Bank Sumut, yang juga Asissten II Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu), DJaili Azwar.

“Gatot ini terjebak sama assistennya itu yang Komisaris Utama Bank Sumut (Djaili Azwar, Red). Awalnya persoalan ini hanya ada satu direktur yang meninggal, kemudian eksesnya hingga pemberhentian komisaris independen Harusnya komisaris utama itu yang menyelesaikan masalah. Tidak perlu sampai pemegang saham terbesar. Plt Gubsu kan punya Sekda, punya assisten. Ternyata, assistennya (Djaili Azwar, Red) ini tidak mampu menyelesaikan persoalan itu,” terangnya, Jumat (27/1).

Persoalan ini, sambung pria yang juga Dekan Fakultas Ekonomi USU ini, pada persoalan ini sebenarnya yang tidak terungkap adalah kenapa Komisaris Utama PT Bank Sumut tidak bersedia menandatangani notulen rapat. “Saya melihat, keputusan tersebut sudah final.

M Lian dan Irwan Djanahar (dua komisaris independen yang diberhentikan) sudah memperhitungkan sejak November 2011 lalu dan tidak mau mengubah keputusan tentang pilihan calon direktur yang mereka dukung. Komisaris Utama sudah menggunakan tangan pemegang saham dan sudah RUPS-LB. Kan sudah final. Yang tidak terungkap ialah kenapa Komisaris Utama nggak mau meneken notulen rapat mereka,” bebernya lagi.

Maka, sambung John Tafbu, akar persoalannya ada di Komisaris Utama PT Bank Sumut, bukan pada dua komisaris independen yang diberhentikan pada RUPS-LB tertanggal 25 Januari 2012 lalu, yang digelar di Ruang Beringin, Lantai Delapan, Kantor Gubsu, Jalan Diponegoro Medan. “Nyatanya, masalah tidak selesai juga. Posisi direktur yang meninggal, tidak terisi juga.

Dan sekarang masalah baru mengisi dua komisi independen. Nanti sudah ada komisi independen, masalah masih bisa tambah. Apakah benar-benar independen orangnya? Sementara Direktur Kepatuhan belum ada juga. Nanti diangkat Rudi Dogar, bisa juga muncul masalah karena dia menggantikan periodenya sendiri yang dulu tidak bisa diisinya lagi karena sudah dua periode direksi. Jadi, panjangkan?” papar John Tafbu.

Kemudian, dengan keputusan RUPS-LB tersebut, John Tafbu menyatakan, hal yang wajar bila pada akhirnya memunculkan beragam asumsi di masyarakat, terlebih jika dikait-kaitkan ke masalah pencalonan pada Pilgubsu 2013 mendatang.
“Keputusan rapat itu menjadi multitafsir di masyarakat. Dan itu wajar, bila ada yang menilai karena ada kepentingan dalam masalah politik untuk Pilgubsu, apalagi kabarnya Dirut Bank Sumut akan maju begitu juga Gatot. Tapi sayang, bila hanya karena masalah ini.

Jadi bagaimana saya mau membela, kalau persoalannya karena masalah politik, tidak lagi masalah ekonomi atau perbankan. Dalam konteks Bank Sumut, saya melihat masalah Plt Gubsu, asisstennya, solusi yang dibuat tidak menyelesaikan masalah tapi malah menambah masalah dan menjadi sumber masalah baru. Seperti opini politis yang dialamatkan ke Gatot,” tukasnya.

Sementara itu, penyenggaraan RUPS-LB yang terkesan mendadak itu juga tak luput dari kritik. Ada yang menilai sarat kepentingan pribadi, dan tidak sedikit yang menilai adanya kepentingan politis. “Secara etika, kenapa harus memberhentikan komisaris Independen di tengah-tengah masa jabatan mereka. Nah, yang mengangkat mereka juga adalah pemegang saham terbesar PT Bank Sumut. Dari apa yang ada, dalih melanggar AD/ART, kemudian diadakanlah RUPS itu yang akhirnya memberhentikan dua komisaris itu. Apa yang terjadi sepertinya atas dasar kepentingan,” tegas anggota Komisi C DPRD Sumut, Muslim Simbolon kepada Sumut Pos, kemarin.

Apakah kepentingan tersebut karena merujuk pada Pilgubsu 2013 mendatang, dimana ada sisi kekhawatiran akan terjadi persaingan yang kuat antara Gatot dan Gus Irawan? “Kita tidak mengkaji ke arah itu. Intinya, ada faktor kepentingan kenapa persoalan ini terjadi. Untuk itu, nanti akan kita pertanyakan kepada Dirut Bank Sumut mengenai masalah ini,” urainya. (ari)

Sodomi 12 Remaja, Sopir Angkot Ditangkap

MEDAN- Eston Purba (35), warga Kecamatan Namorambe ditangkap polisi pukul 22.00 WIB. Supir angkot jurusan Pancurbatu-Lubukpakam ini ditangkap karena menyedomi 12 remaja laki-lakin Kedua belas bocah korban sodomi itu masing-masing, YHS (16), DS (14), AP (14), F (15), E (17) DSS (14) HS (15) S (12) FAT (15) dan tiga lagi belum mendatangi Mapolsek Namorambe.

Ceritanya, sejak sang istri menjalani operasi 6 bulan lalu, Eston mulai mencari pelampiasan hasrat seksnya. Gilanya, dia menyalurkan arus bawahnya kepada 12 remaja laki-laki.

Tadi malam, Eston ditangkap saat sedang bersama istrinya. Kasus sodomi itu terkuak setelah seorang korbannya mengadu pada orangtuanya. Kabar mengejutkan itu lalu diteruskan orangtua bocah itu ke kepala desa setempat dan ke polisi.

Seorang dari orangtua para korban mengaku, “Aku tak nyangka anakku bisa disodominya. Dia itu baru 2 tahun tinggal di kampung kami. Selama ini, di rumahnya itu anak-anak sering main-main. Tapi tak nyangka bisa seperti itu kejadiannya,” ujar pria beruban itu.
Sementara, Eston berdalih, dia tak lagi mampu menahan gejolak seksnya. Maklum, istrinya tak bisa melayaninya lagi sejak 6 bulan belakangan. “Udah 6 bulan tak campur sama istriku aku Bang. Istriku dioperasi karena keguguran,” akunya.

Dijelaskan Eston, dia tak ada memberikan uang setiap berhasil menyalurkan hasratnya. “Aku mengajak mereka ke rumah,” jelasnya.

Sambung Eston, para korban awalnya disuruh memegang kemaluannya, lalu disetubuhi dari belakang. “Setelah selesai aku pun mengancam mereka, tapi tak pernah aku kasih uang sama mereka. Tapi enggak semuanya sempat aku masukkan,” ujar Eston.
Kapolsek Namorambe AKP SH Karo-Karo melalui Kanit Reskrim Aiptu Baik Ginting saat dikonfirmasi mengatakan, “Tersangka kita jerat dengan undang-undang perlindungan anak pasal 81 dan pasal 82 nomor 23 tahun 2002,” ujarnya.(roy/joe/smg)