25.6 C
Medan
Thursday, May 16, 2024

Mazin, Kangen Perpustakaan Sekolah

Senin 17 Oktober 2011, jam 06.30 wib Jalan Bakti Luhur masih sepi. Matahari berpijar, sorot sinarnya berpendar di antara kubah  masjid. Rumput-rumput basah oleh kabut, kepingan embun jatuh dari tangkai dahan. Daun-daun gugur, memberi harapan kepada tanah. Dan burung-burung gereja yang mungil terbang tertatih melawan angin.

Pagi ini adalah hari pertama saya masuk sekolah SD Bakti Luhur. Usia saya baru 5 tahun. Kata bapak, “5 tahun sudah cukup. Engkau sudah dapat membaca, menulis, menggambar komik dan peta, menyanyikan arah mata angin. Engkau akan menjadi anak yang tercepat dan terhebat di sekolah.”

Saya tidak mengerti apa yang bapak katakan. Yang saya rasakan, pagi ini, hati saya gembira. Sarapan pagi buatan mama sungguh istimewa, pisang goreng, siram susu coklat dengan taburan parutan keju dan teh manis hangat.
Seperti pagi yang sudah-sudah. Saya pasti menangis setiap menginginkan apa yang saya mau. Jika ditanya kenapa menangis, “tidak tau,” jawab saya ringkas. Saya hanyalah seorang anak kecil yang masih suka menangis.

Hari pertama masuk sekolah, saya diantar mama menggunakan sepeda mini merah buatan Cina-Butterfly. Bapak seperti biasa, sehabis Subuh baru selesai menulis. Saya bangga punya bapak seorang penulis. Ia sabar, ia pemarah, ia kaya, ia juga penuh cinta. Ia seperti gunung api yang menggemburkan tanah. Ia seperti badai yang menerbitkan pelangi.

Setelah berpamitan dan mencium pipi adik saya yang berusia 1 tahun 8 bulan. Saya mencium tangan bapak dan tersenyum, “pergi dulu pak.”

Di sepanjang Jalan Bakti Luhur, jam 07.15, kendaraan sudah mulai ramai. Becak motor, kereta [sepeda motor], anak-anak SD berjalan kaki, mobil, semua berpacu, semua takut terlambat. Saya menikmati pemandangan sawah dan pohon-pohon. Sejuk sekali hawanya.

Sampai di sekolah. Persiapan upacara Hari Senin akan dimulai. Wali kelas saya yang bernama Ibu Ros tersenyum menyambut saya. Kebetulan rumahnya persis di depan rumah saya.
Lagu Indonesia Raya dikumandangkan, “Indonesia Raya, merdeka, merdeka, hiduplah Indonesia Raya.”
Selesai upacara, saya masuk kelas diantar oleh wali kelas. Hari pertama saya duduk di mana saja. Hari-hari selanjutnya saya duduk paling depan.

Kemudian…

Hari-hari berlalu, tanpa terasa sudah sebulan saya sekolah. Saya sudah mulai terbiasa dan cepat beradaptasi dengan kawan-kawan dan lingkungan sekolah tentunya. Rata-rata dari kelas 1 sampai kelas 6, tau nama saya, Maula Mazin. Guru-guru pun mengenal saya.

Kadang-kadang setiap pergi dan pulang sekolah. Bapak menyempatkan mengantar atau menjemput saya dengan sepeda mini. Rambutnya sebahu dan kawan-kawan saya suka memperhatikan. Ia pun tak seperti orangtua yang lain, yang ketika anaknya baru keluar gerbang, langsung memeriksa catatan dan pelajaran. Bila nilainya buruk, seketika anak kena marah. Saya bebas dari semua itu. Paling di rumah saya disuruh belajar ngaji, Bahasa Inggris, Gambar Peta, dan Google Earth Internet, sesekali Matematika.

Sekalipun di sekolah banyak yang jual jajanan makanan. Saya tidak tertarik. Masakan mama jauh lebih enak dan supermaknyus. Mama adalah chef handal. Saya hanya suka jajan mainan yang harganya seribu rupiah buatan Cina. Belum lagi sehari-dua, mainan tersebut sudah hancur dan patah.

Saya sering bertanya kepada orangtua, kenapa di sekolah tidak ada perpustakaan. Karena, di rumah, saya dan kawan-kawan biasa bermain, membaca, menggambar, mewarnai, dan apa pun yang kami suka. Rumah kami oleh orangtua dijadikan dan anak-anak diizinkan bermain dan bergembira.

Sejak saat itu, orangtua saya terus giat berusaha mencari buku-buku bekas/baru untuk disumbangkan ke perpustakaan sekolah yang sampai saat ini belum berdiri. Sering saya perhatikan, dari balik tangkai kaca-mata yang berwarna merah. Mata bapak, berkaca-kaca haru menangis-menitik menanti kapan perpustakaan sekolah SD akan hadir. Sekolah kami membutuhkan buku bacaan. Kami mencintai buku seperti kami mencintai ibu-bapak kami.Dan kami selalu membayangkan surga adalah seperti sebuah perpustakaan yang sangat besar dan lengkap.(*)

Dikirim oleh: Setiadi R. Saleh S.Sos.

Senin 17 Oktober 2011, jam 06.30 wib Jalan Bakti Luhur masih sepi. Matahari berpijar, sorot sinarnya berpendar di antara kubah  masjid. Rumput-rumput basah oleh kabut, kepingan embun jatuh dari tangkai dahan. Daun-daun gugur, memberi harapan kepada tanah. Dan burung-burung gereja yang mungil terbang tertatih melawan angin.

Pagi ini adalah hari pertama saya masuk sekolah SD Bakti Luhur. Usia saya baru 5 tahun. Kata bapak, “5 tahun sudah cukup. Engkau sudah dapat membaca, menulis, menggambar komik dan peta, menyanyikan arah mata angin. Engkau akan menjadi anak yang tercepat dan terhebat di sekolah.”

Saya tidak mengerti apa yang bapak katakan. Yang saya rasakan, pagi ini, hati saya gembira. Sarapan pagi buatan mama sungguh istimewa, pisang goreng, siram susu coklat dengan taburan parutan keju dan teh manis hangat.
Seperti pagi yang sudah-sudah. Saya pasti menangis setiap menginginkan apa yang saya mau. Jika ditanya kenapa menangis, “tidak tau,” jawab saya ringkas. Saya hanyalah seorang anak kecil yang masih suka menangis.

Hari pertama masuk sekolah, saya diantar mama menggunakan sepeda mini merah buatan Cina-Butterfly. Bapak seperti biasa, sehabis Subuh baru selesai menulis. Saya bangga punya bapak seorang penulis. Ia sabar, ia pemarah, ia kaya, ia juga penuh cinta. Ia seperti gunung api yang menggemburkan tanah. Ia seperti badai yang menerbitkan pelangi.

Setelah berpamitan dan mencium pipi adik saya yang berusia 1 tahun 8 bulan. Saya mencium tangan bapak dan tersenyum, “pergi dulu pak.”

Di sepanjang Jalan Bakti Luhur, jam 07.15, kendaraan sudah mulai ramai. Becak motor, kereta [sepeda motor], anak-anak SD berjalan kaki, mobil, semua berpacu, semua takut terlambat. Saya menikmati pemandangan sawah dan pohon-pohon. Sejuk sekali hawanya.

Sampai di sekolah. Persiapan upacara Hari Senin akan dimulai. Wali kelas saya yang bernama Ibu Ros tersenyum menyambut saya. Kebetulan rumahnya persis di depan rumah saya.
Lagu Indonesia Raya dikumandangkan, “Indonesia Raya, merdeka, merdeka, hiduplah Indonesia Raya.”
Selesai upacara, saya masuk kelas diantar oleh wali kelas. Hari pertama saya duduk di mana saja. Hari-hari selanjutnya saya duduk paling depan.

Kemudian…

Hari-hari berlalu, tanpa terasa sudah sebulan saya sekolah. Saya sudah mulai terbiasa dan cepat beradaptasi dengan kawan-kawan dan lingkungan sekolah tentunya. Rata-rata dari kelas 1 sampai kelas 6, tau nama saya, Maula Mazin. Guru-guru pun mengenal saya.

Kadang-kadang setiap pergi dan pulang sekolah. Bapak menyempatkan mengantar atau menjemput saya dengan sepeda mini. Rambutnya sebahu dan kawan-kawan saya suka memperhatikan. Ia pun tak seperti orangtua yang lain, yang ketika anaknya baru keluar gerbang, langsung memeriksa catatan dan pelajaran. Bila nilainya buruk, seketika anak kena marah. Saya bebas dari semua itu. Paling di rumah saya disuruh belajar ngaji, Bahasa Inggris, Gambar Peta, dan Google Earth Internet, sesekali Matematika.

Sekalipun di sekolah banyak yang jual jajanan makanan. Saya tidak tertarik. Masakan mama jauh lebih enak dan supermaknyus. Mama adalah chef handal. Saya hanya suka jajan mainan yang harganya seribu rupiah buatan Cina. Belum lagi sehari-dua, mainan tersebut sudah hancur dan patah.

Saya sering bertanya kepada orangtua, kenapa di sekolah tidak ada perpustakaan. Karena, di rumah, saya dan kawan-kawan biasa bermain, membaca, menggambar, mewarnai, dan apa pun yang kami suka. Rumah kami oleh orangtua dijadikan dan anak-anak diizinkan bermain dan bergembira.

Sejak saat itu, orangtua saya terus giat berusaha mencari buku-buku bekas/baru untuk disumbangkan ke perpustakaan sekolah yang sampai saat ini belum berdiri. Sering saya perhatikan, dari balik tangkai kaca-mata yang berwarna merah. Mata bapak, berkaca-kaca haru menangis-menitik menanti kapan perpustakaan sekolah SD akan hadir. Sekolah kami membutuhkan buku bacaan. Kami mencintai buku seperti kami mencintai ibu-bapak kami.Dan kami selalu membayangkan surga adalah seperti sebuah perpustakaan yang sangat besar dan lengkap.(*)

Dikirim oleh: Setiadi R. Saleh S.Sos.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/