29 C
Medan
Monday, April 29, 2024

Megawati Setujui Hak Angket, Tapi PDIP Tak akan Makzulkan Presiden Jokowi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Ketua Tim Demokrasi Keadilan (TDK) Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis memastikan, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mendukung hak angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan Pemilu 2024.

Menurutnya, penekanan dari hak angket yang digulirkan parpol pendukung paslon nomor 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD untuk mengungkap dugaan kecurangan terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) pada masa sebelum pencoblosan, saat pencoblosan, dan setelah pencoblosan.

Ia menekankan, proses pemakzulan presiden terpisah dari hak angket yang akan digulirkan di DPR RI. Sebab, hak angket untuk menemukan intervensi kekuasaan dan kecurangan TSM.

“Hak angket bukan untuk pemakzulan. Ibu Megawati juga tidak ingin pemerintahan goyah sampai 20 Oktober 2024, dan Ibu Megawati tidak memerintahkan para menteri dari PDI Perjuangan untuk mundur,” kata Todung kepada wartawan, Selasa (27/2).

Ia menegaskan, komitmen PDI Perjuangan menggulirkan hak angket bukan untuk memakzulkan presiden. Tetapi membongkar kecurangan, kemudian mengoreksi kecurangan itu.

“Proses pemakzulan itu terpisah dengan angket yang jalan sendiri, tetapi jika bahan hasil angket menjadi bahan untuk pemakzulan itu persoalan lain. Sekarang ini hak angket tidak ada hubungannya dengan pemakzulan,” ucap Todung.

Todung menuturkan, dugaan kecurangan Pemilu 2024 terjadi sejak masa prabencoblosan hingga setelah pencoblosan. Ia berujar, pada masa prapencoblosan, intervensi membuat kekuasaan tidak netral.

Hal ini bisa dilihat di media massa dan media sosial. Kemudian, politisasi bantuan sosial (bansos) begitu massif, padahal sebelumnya tidak pernah terjadi seperti pada Pemilu 2024. Nilai bansos yang dibagian bukan dalam jumlah kecil yakni Rp 496,8 triliun. Mengutip para ahli psikologi politik, Todung menegaskan, ada korelasi antara perilaku pemilih dengan politisasi bansos.

Demikian juga dengan dikte patron penguasa seperti bupati, camat, kepala desa, dan pemuka agama mempengaruhi sikap pemilih.

“Dalam masyarakat yang paternalistik seperti Indonesia, apa yang dikatakan patron itu didengar pemilih,” pungkas Todung.(jpc/han)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Ketua Tim Demokrasi Keadilan (TDK) Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis memastikan, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mendukung hak angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan Pemilu 2024.

Menurutnya, penekanan dari hak angket yang digulirkan parpol pendukung paslon nomor 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD untuk mengungkap dugaan kecurangan terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) pada masa sebelum pencoblosan, saat pencoblosan, dan setelah pencoblosan.

Ia menekankan, proses pemakzulan presiden terpisah dari hak angket yang akan digulirkan di DPR RI. Sebab, hak angket untuk menemukan intervensi kekuasaan dan kecurangan TSM.

“Hak angket bukan untuk pemakzulan. Ibu Megawati juga tidak ingin pemerintahan goyah sampai 20 Oktober 2024, dan Ibu Megawati tidak memerintahkan para menteri dari PDI Perjuangan untuk mundur,” kata Todung kepada wartawan, Selasa (27/2).

Ia menegaskan, komitmen PDI Perjuangan menggulirkan hak angket bukan untuk memakzulkan presiden. Tetapi membongkar kecurangan, kemudian mengoreksi kecurangan itu.

“Proses pemakzulan itu terpisah dengan angket yang jalan sendiri, tetapi jika bahan hasil angket menjadi bahan untuk pemakzulan itu persoalan lain. Sekarang ini hak angket tidak ada hubungannya dengan pemakzulan,” ucap Todung.

Todung menuturkan, dugaan kecurangan Pemilu 2024 terjadi sejak masa prabencoblosan hingga setelah pencoblosan. Ia berujar, pada masa prapencoblosan, intervensi membuat kekuasaan tidak netral.

Hal ini bisa dilihat di media massa dan media sosial. Kemudian, politisasi bantuan sosial (bansos) begitu massif, padahal sebelumnya tidak pernah terjadi seperti pada Pemilu 2024. Nilai bansos yang dibagian bukan dalam jumlah kecil yakni Rp 496,8 triliun. Mengutip para ahli psikologi politik, Todung menegaskan, ada korelasi antara perilaku pemilih dengan politisasi bansos.

Demikian juga dengan dikte patron penguasa seperti bupati, camat, kepala desa, dan pemuka agama mempengaruhi sikap pemilih.

“Dalam masyarakat yang paternalistik seperti Indonesia, apa yang dikatakan patron itu didengar pemilih,” pungkas Todung.(jpc/han)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/