Cerpen: Tandi Skober
“Ini bukan fiksi, Tandi “tutur Tifatul di dinding dingin musholah bercat putih, pucat di rumah BQ. Saya terkejut. Agak ragu saya betulkan letak sorban yang terlalu longgar menyungkup kepalaku. Saya mencoba tersenyum. Tifatul bertasbih ruas jemari. Temanku, Pungkit mendekati Tifatul diikuti Bunyamin Fasya. Beberapa santri meletakan beberapa butir kelapar kelapa yang sudahpun berlubang. Kelapa dugan itu diletakan dekat botol plastik berisi air bening di tengah lingkaran alas lantai berwarna putih, pucat.
Beni yang dibungkus gamis putih pucat menepuk beberapa kali bahu Tifatul. Hanya menepuk bahu. Ini diikuti Pungkit. Menepuk bahu Tifatul. Tak terucap sebutir katapun dari bibirnya yang pucat. Cahaya putih pucat dari lampu neon 15 watt terbaring di sudut atas kiri musholah.
Di luar jendela, bulan bundar dipotret sisa cahaya matahari. “Wajah emak selalu membuatku luruh,”kembali ucap Tifatul,”Seperti ka’bah yang membuat saya selalu rindu untuk duduk di hadapannya. Menghitung garis-garis keriput di ujung kelopak mata emak. Memijiti telapak kaki emak. Dan berharap ada surga di luar jendela tiap kali saya rebahkan emak di pembaringan berseprei mawar melati.”
“Ini bukan fiksi, Tandi,” tutur Tifatul di pelataran La Mezquita de Cordoba yang dibangun Khalifah Abdurrahman I pada tahun 784M. Saya, Tifatul, Bambang, Bunyamin dan Nana saksikan 500 tiang berjejer dengan arsitektur yang mengikuti tradisi masjid-masjid pada masa Umayyah dan Abbasiyah. Saya intip lebih dalam lagi, ada mihrab dengan berbagai kaligrafi. Ada cerukan tempat imam. Mihrab dengan cahaya redup itu menghadap Ka’bah.
“Tiap kali saya bangun di pertiga malam untuk Barcelona, emak selalu enggan sediakan secangkir kopi,” ucap Tifatul, “Apa boleh buat, saat laga “El Clasico” Barca vs Real Madrid di Camp Nou, saya sruput kopi berasa aneh tersebab tidak seideal racikan emak. Bahkan, dulu ketika ayunan kaki Andres Lujan pada menit ke 116 menjebol gawang ‘Tim Oranye’ senin, Senin 12 Juli 2010 dini hari dan La Furia Roja berpesta trofi Piala Dunia, toh emak lebih suka duduk khusuk di sudut musholah menghadap kiblat, berzikir.”
“Itu sudah, Tif! “Saya tertawa. Apa yang ada di benak Tifatul, juga ada di alur pikirku.”Emak selalu mengintip apa yang saya kerjakan tiap kali bangun dipertiga malam. Agar dapat secangkir kopi saya berpura-pura menyusun tulisan. Emak suka. Ia akan meracik secangkir kopi seraya mengghembuskan angin surga di ubun-ubunku. Dan berkata…”
“Bangunlah di pertiga malam tidak untuk Barca, sebab Spanyol bukan hanya bola, juga punya Andalusia,” potong Tifatul.
Kami tertawa. Bulan bulat menari di pusaran airmancur masjid tanpa atap al-Zahra. Dan dari pinggang gunung Sierra Morena, Spanyol, mata Tifatul merayapi kota bermahkota sejarah 936M. “Emak benar.” lirih suara Tifatul,”Spanyol bukan hanya bola. Andalusia pada akhirnya mirip sebuah pintu. Peradaban Islam lah pemilik kunci pembuka itu. Ketika satu demi satu pintu terbuka Eropah tengadah takjub. Kemajuan Eropa saat ini berawal dari khazanah ilmu pengetahuan Islam.”
“Ini bukan fiksi, Tandi,”tutur Tifatul. Kali ini, ia tuturkan di atas perahu bercahaya fajar ketika kaki angin melangkah ke muara sungai Cimanuk, Indramayu. “Saat itu, saya masih berusia enam tahun. Emak bercerita tentang buaya putih yang kerap muncul di Kali Cimanuk saat negeri dalam posisi pager doyong.”
Tifatul tengadah. Jemarinya bertasbih ombak putih. Dan kembali bercerita,” Emak bilang konon buaya Putih itu adalah sosok khewan kutukan yang bersemayam di garis batas air asin dan air tawar sungai Cimanuk Indramayu. Buaya Putih itu diyakini sebagai jelmaan goib sosok pesinden bernama Saida Saini. Tertuturkan bahwa Saida Saini tidak hanya memuja gemerlap emas juga bergaul dengan setan merkayangan. Tersebab itu, ia menjadi idola, cerita citra juga dolanan kebudayaan penguasa era itu. Hingga pada titik terjauh saat sadar ia tersesat, saat itulah, ‘saida-saini’ menjadi buaya putih.”
“Ini bukan fiksi, Tandi,”tutur Tifatul. Ia tengadah menatap purnama biru di pantai pasir Tirtamaya, Junti Indramayu. Terus? Tifatul melebarkan tangannya. “Emak pernah berucap di depan potret presiden, ‘Bulan telah terbelah, Yudhoyono.”
Saya tertawa. Tifatul kembali mengukir kenangan. Emakpun meyakini disebabkan bulan telah terbelah maka di bulan ada Nini Towok. “Ini mitos spiritual sinkretis yang kerap dituturtinularkan warga Indramayu,”ucap Tifatul, “Era itu, Kantong Bolong pada abad ke 15, di bantaran Kali Cimanuk Indramayu berdebat dengan utusan Sunan Gunung Jati, Nyi Mas Gandasari seputar Surat Al Qomar (54) ayat 1: Sungguh, telah dekat hari kiamat, Dan telah terbelah bulan.”
Rakyat Indramayu sulit menerima pemaparan Nyi Mas Gandasari yang merujuk hadis riwayat Abdullah bin Masud ra, Anas ra dan Ibnu Abbas ra bahwa penduduk Mekah meminta kepada Rasulullah saw untuk diperlihatkan kepada mereka satu mukjizat (tanda kenabian), maka Rasulullah saw memperlihatkan kepada mereka mukjizat terbelahnya bulan sebanyak dua kali. Akan tetapi, menjadi lain saat Kantong Bolong meminta rakyat saksikan purnama limabelas. Lewat retorika yang menghentak ia yakinkan bahwa bulan memang telah terbelah. Ini pulak yang membuat penguasa alam raya menunjuk sosok wanita sepuh bernama Nini Towok bertugas menjahit tanah terbelah. “Ini agar rembulan kembali menjadi utuh,”ungkap Kantong Bolong,”Dan bumi diterangai emanasi dhiyah matahari.”
Rakyat Dermayu tepuk tangan. Terus, Kantong Bolong tuturkan bahwa Nini Towok juga istikamah memenej bintang-bintang di langit agar bercahaya terang. “Tang ke teng lan ji dang” Bintang bertabur tetap gelap, rembulan meski hanya satu mampu menjadi penerang malam. Konon, sesekali tiap kali ada meteor berkelebat, Nini Towok akan melempari meteor itu dengan batu-batu rembulan. Kok dilempari sih, duh Ninik Towok? “Sejatining meteor adalah lintang kirik, bintang iblis korup berkelamin binatang yang kerap merusak jahitan kosmologis penghias malam,”balasnya.
Yang menarik, saat itu rakyat tidak melihat bulan selayaknya rembulan ndadari sebagai mana mestinya. Ada apa? Purnama menjadi Biru (Blue moon). Sesaat rakyat clingak-clinguk. Tapi pada saat lain, ruang batin rakyat Darma Ayu memosisikan semesta sedang dilanda nestapa. “Ini tanda matahari telah retak, sungai tersunyikan kemarau kering kerontang dan hujan enggan membasahi bumi,”ungkap Kantong Biolong,”Bermula dari sini akan ada lawang pitu Yudhoyono.”
Hmm, cerita itu membuat saya mantuk mantuk. Dalam perjalanan Indramayu- Bandung, Tifatul bertutur banyak hal tentang hal yang banyak saat bersama sang emak. “Emak kaget habis saat saya bawa pacarku, Nitawati. Agak berbisik saya katakan bahwa gadis manis berjilbab coklat itu asli mahasiswi Sastra Perancis Universitas Padjadjaran. Hmm, emak merangkul Nitawati. Membawanya ke ruang dalam. Mengunci pintu. Saya intip dari lubang kunci. Ternyata emak sedang mentest pacarku alunkan beberapa surat pendek Al Quraan.”
“Terus?”
“Emak memberi nilai delapan untuk pacarku itu. Emak hembus ubun-ubun Nitawati seraya berpesan agar pacarku tidak berjalan di atas pecahan cermin tanpa cahaya. Kenapa? Emak bilang bahwa ‘wong wadon nir wadonira suarga nunut neraka katut.’ Wanita tercipta di sebuah ruang yang disucikan. Ia kudu nunut kemana arah langkah sang suami.”
Hmm, saya tertawa. Tidak jelas apakah disebabkan pesan itu, Nitawati berprofesi sebagai freelance writer and translator. Yang pasti, “Emak tertawa terbahak-bahak saat pacarku itu ternyata suka lagu-lagu grup musik ABBA, Swedia,”tutur Tifatul,” Saya tahu pasti emak suka banget lagu ‘Dancing Queen’. Berdua mereka nyanyikan ‘You are the Dancing Queen, young and sweet, only seventeen.Dancing Queen, feel the beat from the tambourine.You can dance, you can jive, having the time of your life. See that girl, watch that scene, diggin’ the Dancing Queen…”
“Ini bukan fiksi, Tandi,” tutur Tifatul. Kali ini, kami duduk di saung sebuah rumah makan. Matahari menari di gemericik air dari sebuah pancuran berwarna melankolis. “Suara air itu bikin adem. Duduk di sini, bersandar pada bambu saung yang di kelilingi kolam dengan kecipak ikan bersliweran serasa saya temukan emak pada tiap tetes airmata yang memancar dari mataair kinasih.”
Tifatul menghela nafas panjang. “Di sini, dulu, tiap kali kami makan bersama, mata emak selalu tertuju pada airmancur di tengah kolam itu. Dan selalu saya berjanji bahwa saya akan membuat air mancur di rumah. Emak tersenyum. Emak pesan agar airmancur itu dibuat dekat kamar. Ini perlu. Agar kedengaran gemericik airnya. Saat pagi, saat pertama kali membuka jendela, emak kepingin melihat airmancur itu.”
Air mengalir di kaki telanjang Tifatul, “Tapi emak penikmat suara gemericik air mancur itu harus dirawat dengan berbagai selang di ruang ICU Omni Internasional Hospital.”lirih suara Tifatul,”Usai azan maghrib emak berpulang ke haribaan-Nya. Dan aku belum sempat membuatkan air mancur di depan jendela kamar emak.”
Ada airmata airmancur di ruang sunyi Tifatul. Saya tepuk bahunya. “Insya Allah, atas ridho Allah SWT, beliau sedang menikmati airmacur Al kautsar di alam berpita surga,”ucapku lirih.
Tifatul mengangguk. Ponselku berdering. Saya pijit yes. Terdengar suara adik saya, Darwan dari Indramayu,”Kang Tandi, Emak baru saja wafat.”
***
“Ini bukan fiksi, Gusti Allah,” saat saya buka kain tapih motip poman. Ada lintasan senyum di wajah emak. Saya tidak menangis. Saya biarkan airmata saya memasuki ruang putih beralas kain putih dan gamis sorban bertawaf doa-doa putih.
Di luar, saya lihat Tifatulmencari lintang Jauhar di sela-sela daun jati. Ah, ia melihat kemilau cahaya. Itu bintang Jauhar. Dan di sini, saya rindu suara emak. Tiap kali lebaran selalu duduk di teras memandang purnama biru dan menyanyi macapatan:
“Sun besuk mariya emanYen wonten grananing sasi
Srengenge kembar lelima
Lintang alit gumilar sing
Sawiji tan hana urip
Mung sira kelawan isun
Matiya mungging suwarga1″
Bandung, Monday, September 03, 2012
1Esok, ketika diriku dihentikan kasih sayang/Saat gerhana bulan/matahari kembar lima/terhampar bintang bercahaya/tak satupun ada yang hidup/hanya kamu dan aku /wafat menaikki langit-langit surga