26 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Sang Penyuap

Cerpen  Sam Edy Yuswanto

Suara cekakak tawa itu kembali membahana di sebuah ruangan khusus buat mengadakan pertemuan. Tepatnya di hunian mewah milik pria baya berkumis, berbibir tipis dan memiliki wajah lumayan tampan, yang baru-baru ini memenangkan pilkada dengan gilang-gemilang di sebuah daerah antah berantah. Daerah tempat asal kelahirannya. Bayangkan! Dua kali putaran selalu menang telak. Menyodok-nyodok rivalnya tanpa ampun.

Jika suatu malam kalian kebetulan melewati halaman rumah megah pria baya itu, saya yakin kalian bisa mendengar tawa girang alang kepalang yang nyaringnya melengking-lengking bak lolong para anjing yang tengah berpora meraya-rayakan kemenangan yang sesiapa pun pastilah tahu; kemenangan ambisius yang diperoleh si Bos, julukan pria baya itu, bukan kemenangan sportif. Tidak gentle. Kemenangan semu alias abu-abu.

“Tapi Bos, bagaimana cara melawan mereka yang hendak memperkarakan Bos ke meja hijau?” ucap pria muda yang masih berstatus mahasiswa di sebuah universitas ternama. Pemuda aktivis yang kerap menjadi korlap demo itu  memang sengaja diciduk oleh si Bos untuk direkrut jadi bala kurawanya yang selalu diimingi fee besar saat berhasil menggulingkan rival politiknya lewat aksi demo dengan mengatasnamakan nasib rakyat yang tertindas.
“Hahaha! Hahahaha!!” si Bos malah terkakak, hingga bebutir ludahnya yang kekuningan muncrat menetesi karpet merah yang menghampar di ruang ber-AC tersebut.

Si pemuda langsung mengheran wajah. Kok, si Bos malah tertawa, sih? Apakah pertanyaanku ini mirip leluconnya Andre dan Sule dalam OVJ itu? Batin pemuda itu dirajam tanya sementara kedua alisnya saling bersitaut dengan dahi kerut-merut. Si Bos menatap wajah pemuda aktivis itu dengan seringai dan gurat wajah bermakna; “Ah, kau ini ternyata masih sangat ingusan anak muda!”

“Tenang! Jangan bingung menghadapi mereka! Aku masih punya senjata andalan yang bisa membekap mulut-mulut sok alim mereka!” ucap si Bos seraya mengeluarkan bungkusan tebal yang ia taruh di belakang kursi kebesarannya.
“Apa itu, Bos?” sela si pemuda polos, tak sabar, dengan gurat heran kian melipati wajah sawo matangnya.

Si Bos dengan sigap merobek bungkusan kresek hitam yang kini telah berada di atas pangkuannya. Betapa bola mata si pemuda langsung berkilau terpesona saat melihat isi kresek hitam itu ternyata adalah lembaran-lembaran licin berkilat warna merah yang bertumpuk-tumpuk. Saking terpesonanya, ludah pemuda itu sampai menetes, mengaliri dagu hingga berjatuhan di atas karpet merah.

Ya, si pemuda langsung bisa memaham. Pasti si Bos akan menyumpal mulut-mulut mereka; para hakim, jaksa, aparat penegak hukum, serta para saksi yang secara kasat mata menyaksikannya berlaku culas saat pilkada beberapa waktu silam dengan uang licin berkilat yang masih beraroma pabrik itu.

Selama ini, jimat paling ampuh untuk membisukan mulut-mulut mereka memang hanya satu; jimat fulus. Sebagaimana yang telah-telah. Yang biasa dilakukan para bos di manapun mereka berada pada orang-orang yang sok idealis kepingin memberangus korupsi dan menggulingkan kursi para penyuap hingga titik kulminasi.

Si Bos yakin, mereka, mulut manusia-manusia idealis sok suci itu pasti bakalan terlongo dengan tubuh menggeloso begitu melihat gepokan uang licin berkilat yang membuat bola mata mereka langsung melotot dan menghijau royo-royo.

“Kamu mau? Nih, buat kamu!” tak dinyana, si Bos melempar gepok ratusan ribu ke arah si pemuda yang masih berwajah takjub itu. Dan…hup! Hanya dengan satu kali gerak refleks, si pemuda gesit menangkapnya dengan sempurna.

“Bos, saya mau!”
“Iya, Bos, saya juga mau!”
“Bos, Bos, saya mau! Saya mau!”
“Iya, Bos, saya juga mau!”

Orang-orang yang berada di sekeliling si Bos melolong-lolong seperti anjing kelaparan dengan posisi tangan menadah-nadah bertingkah ala pengemis yang biasa nge-tem di pertigaan lampu merah. Lalu, dengan gesture congkaknya, si Bos pun melempar-lemparkan gepokan uang ratusan ribu itu kepada orang-orang yang ada di ruangan tersebut. Tanpa satu pun yang ketlingsut (terlewat). Semua kebagian sama rata.
Dan, acara temu si Bos dengan bala-kurawanya malam itu diakhiri dengan makan-makan enak, sembari meneguk hingga mabuk bercawan-cawan anggur yang telah dirampasnya dari pabrik-pabrik minuman yang menjamur di negeri antah berantah itu.

Saat tengah khusyuk berpesta-pora, tiba-tiba, seorang satpam berwajah tegang tergopoh menghadap si Bos.
“Bos, gawat, Bos! Gawat!” ucap si satpam seraya mengelap keringat yang membanjiri wajahnya.
“Ada apa?” tanya si Bos dengan menautkan jidat heran.

“Itu Bos, ada Ibu-ibu ngotot mau ketemu si Bos, sudah coba saya usir tapi tetap saja nggak mau pergi, dia malah nekat menunggu di bawah pohon beringin sebelah pos jaga, sambil menggendong anaknya yang katanya baru kejedoran tabung gas, Bos!” terang si satpam dengan nafas memburu.

Di luar duga, si Bos malah mengurai senyum, membuat benak si satpam mendadak langsung mengheran dikerubuti antrian tanda tanya. Lagi-lagi, si Bos mengeluarkan gepok uang yang dirogohnya dari kantong plastik hitam di sebelahnya. Sepertinya, uang si Bos tak ada habisnya.

Ah, jangan-jangan si Bos miara tuyul? Begitu yang langsung membersiti batok kepala si satpam yang sedikit botak dan licin.
“Nih, berikan pada Ibu-ibu itu. Pasti dia ke sini mau minta ini bukan?” seringai si Bos sembari melempar gepokan uang itu yang langsung ditangkap begitu lincah oleh si satpam.

*

Saat kembali ke pos jaga, si satpam mendadak menjadi selebriti dunia gaib. Ia langsung dikerubuti setan-setan yang langsung menginterogasi sekaligus melancarkan jurus rayuan mautnya.
“Hei, bodoh sekali jika uang tersebut kau berikan semuanya pada Ibu-ibu itu,” gumam si setan yang biasa bercokol di dada si satpam sambil melolos beberapa lembar dari gepokan uang yang digenggamnya.
“Iya, bodoh nian kau, jika uang itu kau berikan pada Ibu mata duitan itu,” sahut setan-setan yang lain.

Celoteh para setan yang lain pun seragam. Hanya satu setan saja yang menurut si satpam ber-ide secerlang purnama.
“Gini aja, Boi, biar aman, kau ambil jalan tengahnya saja. Kasih saja Ibu itu dua lembar limapuluhribuan, uang yang lain bisa kau gunakan buat kesenangan kau sendiri, Boi,”
“Ya, ya, ya, ide yang cukup brilian dan bijaksana,” gumam si satpam dengan bola mata berbinar ceria.

*

Namun setiba di pos jaga, si ibu yang barusan menggendong anaknya sudah tak terlihat lagi di bawah pohon beringin itu.
“Lho, kemana Ibu itu?” tanya si satpam pada teman seprofesinya.

“Sudah kugelandang paksa barusan,” ujarnya dengan seringai tengiknya.

Si satpam satunya lantas membalas dengan seringai senada-seirama; seringai-seringai penuh kemenangan. Ah! Tak sia-sia aku punya partner kerja yang baik, loyal dan bisa diajak kompromi, gumamnya. Dia pun langsung teringat uang yang seharusnya diberikan pada ibu bertampang pengemis itu. Lekas ia merogoh dua lembar limapuluh ribuan dan mengangsurkan pada temannya.
“Nih, buat kamu, ini dari si Bos,”

Teman si Satpam memburaikan senyum dengan wajah sumringah.
“Tengkyu, Bro!” ucapnya langsung menyambar uang itu lantas mengecupnya berkali-kali. Sambil terus memasang senyum, ia beranjak ke belakang.
“Hei, mau ke mana kau?” teriak si Satpam yang satunya heran.

“Pipis, Bro!” katanya sambil meringis seperti menahan pipis yang sudah kronis.
Ah, dasar satpam tengik! Mana mungkin ia mau ke toilet sungguhan. Ia hanya berpura pipis padahal sejatinya ia sudah tak sabar ingin menghadap si Bos agar bisa kecipratan suap lebih banyak. Sayang, satpam satunya tak menyadari kalau ia tengah dibodohi.
*
Puring Kebumen 2010-2011

 

Cerpen  Sam Edy Yuswanto

Suara cekakak tawa itu kembali membahana di sebuah ruangan khusus buat mengadakan pertemuan. Tepatnya di hunian mewah milik pria baya berkumis, berbibir tipis dan memiliki wajah lumayan tampan, yang baru-baru ini memenangkan pilkada dengan gilang-gemilang di sebuah daerah antah berantah. Daerah tempat asal kelahirannya. Bayangkan! Dua kali putaran selalu menang telak. Menyodok-nyodok rivalnya tanpa ampun.

Jika suatu malam kalian kebetulan melewati halaman rumah megah pria baya itu, saya yakin kalian bisa mendengar tawa girang alang kepalang yang nyaringnya melengking-lengking bak lolong para anjing yang tengah berpora meraya-rayakan kemenangan yang sesiapa pun pastilah tahu; kemenangan ambisius yang diperoleh si Bos, julukan pria baya itu, bukan kemenangan sportif. Tidak gentle. Kemenangan semu alias abu-abu.

“Tapi Bos, bagaimana cara melawan mereka yang hendak memperkarakan Bos ke meja hijau?” ucap pria muda yang masih berstatus mahasiswa di sebuah universitas ternama. Pemuda aktivis yang kerap menjadi korlap demo itu  memang sengaja diciduk oleh si Bos untuk direkrut jadi bala kurawanya yang selalu diimingi fee besar saat berhasil menggulingkan rival politiknya lewat aksi demo dengan mengatasnamakan nasib rakyat yang tertindas.
“Hahaha! Hahahaha!!” si Bos malah terkakak, hingga bebutir ludahnya yang kekuningan muncrat menetesi karpet merah yang menghampar di ruang ber-AC tersebut.

Si pemuda langsung mengheran wajah. Kok, si Bos malah tertawa, sih? Apakah pertanyaanku ini mirip leluconnya Andre dan Sule dalam OVJ itu? Batin pemuda itu dirajam tanya sementara kedua alisnya saling bersitaut dengan dahi kerut-merut. Si Bos menatap wajah pemuda aktivis itu dengan seringai dan gurat wajah bermakna; “Ah, kau ini ternyata masih sangat ingusan anak muda!”

“Tenang! Jangan bingung menghadapi mereka! Aku masih punya senjata andalan yang bisa membekap mulut-mulut sok alim mereka!” ucap si Bos seraya mengeluarkan bungkusan tebal yang ia taruh di belakang kursi kebesarannya.
“Apa itu, Bos?” sela si pemuda polos, tak sabar, dengan gurat heran kian melipati wajah sawo matangnya.

Si Bos dengan sigap merobek bungkusan kresek hitam yang kini telah berada di atas pangkuannya. Betapa bola mata si pemuda langsung berkilau terpesona saat melihat isi kresek hitam itu ternyata adalah lembaran-lembaran licin berkilat warna merah yang bertumpuk-tumpuk. Saking terpesonanya, ludah pemuda itu sampai menetes, mengaliri dagu hingga berjatuhan di atas karpet merah.

Ya, si pemuda langsung bisa memaham. Pasti si Bos akan menyumpal mulut-mulut mereka; para hakim, jaksa, aparat penegak hukum, serta para saksi yang secara kasat mata menyaksikannya berlaku culas saat pilkada beberapa waktu silam dengan uang licin berkilat yang masih beraroma pabrik itu.

Selama ini, jimat paling ampuh untuk membisukan mulut-mulut mereka memang hanya satu; jimat fulus. Sebagaimana yang telah-telah. Yang biasa dilakukan para bos di manapun mereka berada pada orang-orang yang sok idealis kepingin memberangus korupsi dan menggulingkan kursi para penyuap hingga titik kulminasi.

Si Bos yakin, mereka, mulut manusia-manusia idealis sok suci itu pasti bakalan terlongo dengan tubuh menggeloso begitu melihat gepokan uang licin berkilat yang membuat bola mata mereka langsung melotot dan menghijau royo-royo.

“Kamu mau? Nih, buat kamu!” tak dinyana, si Bos melempar gepok ratusan ribu ke arah si pemuda yang masih berwajah takjub itu. Dan…hup! Hanya dengan satu kali gerak refleks, si pemuda gesit menangkapnya dengan sempurna.

“Bos, saya mau!”
“Iya, Bos, saya juga mau!”
“Bos, Bos, saya mau! Saya mau!”
“Iya, Bos, saya juga mau!”

Orang-orang yang berada di sekeliling si Bos melolong-lolong seperti anjing kelaparan dengan posisi tangan menadah-nadah bertingkah ala pengemis yang biasa nge-tem di pertigaan lampu merah. Lalu, dengan gesture congkaknya, si Bos pun melempar-lemparkan gepokan uang ratusan ribu itu kepada orang-orang yang ada di ruangan tersebut. Tanpa satu pun yang ketlingsut (terlewat). Semua kebagian sama rata.
Dan, acara temu si Bos dengan bala-kurawanya malam itu diakhiri dengan makan-makan enak, sembari meneguk hingga mabuk bercawan-cawan anggur yang telah dirampasnya dari pabrik-pabrik minuman yang menjamur di negeri antah berantah itu.

Saat tengah khusyuk berpesta-pora, tiba-tiba, seorang satpam berwajah tegang tergopoh menghadap si Bos.
“Bos, gawat, Bos! Gawat!” ucap si satpam seraya mengelap keringat yang membanjiri wajahnya.
“Ada apa?” tanya si Bos dengan menautkan jidat heran.

“Itu Bos, ada Ibu-ibu ngotot mau ketemu si Bos, sudah coba saya usir tapi tetap saja nggak mau pergi, dia malah nekat menunggu di bawah pohon beringin sebelah pos jaga, sambil menggendong anaknya yang katanya baru kejedoran tabung gas, Bos!” terang si satpam dengan nafas memburu.

Di luar duga, si Bos malah mengurai senyum, membuat benak si satpam mendadak langsung mengheran dikerubuti antrian tanda tanya. Lagi-lagi, si Bos mengeluarkan gepok uang yang dirogohnya dari kantong plastik hitam di sebelahnya. Sepertinya, uang si Bos tak ada habisnya.

Ah, jangan-jangan si Bos miara tuyul? Begitu yang langsung membersiti batok kepala si satpam yang sedikit botak dan licin.
“Nih, berikan pada Ibu-ibu itu. Pasti dia ke sini mau minta ini bukan?” seringai si Bos sembari melempar gepokan uang itu yang langsung ditangkap begitu lincah oleh si satpam.

*

Saat kembali ke pos jaga, si satpam mendadak menjadi selebriti dunia gaib. Ia langsung dikerubuti setan-setan yang langsung menginterogasi sekaligus melancarkan jurus rayuan mautnya.
“Hei, bodoh sekali jika uang tersebut kau berikan semuanya pada Ibu-ibu itu,” gumam si setan yang biasa bercokol di dada si satpam sambil melolos beberapa lembar dari gepokan uang yang digenggamnya.
“Iya, bodoh nian kau, jika uang itu kau berikan pada Ibu mata duitan itu,” sahut setan-setan yang lain.

Celoteh para setan yang lain pun seragam. Hanya satu setan saja yang menurut si satpam ber-ide secerlang purnama.
“Gini aja, Boi, biar aman, kau ambil jalan tengahnya saja. Kasih saja Ibu itu dua lembar limapuluhribuan, uang yang lain bisa kau gunakan buat kesenangan kau sendiri, Boi,”
“Ya, ya, ya, ide yang cukup brilian dan bijaksana,” gumam si satpam dengan bola mata berbinar ceria.

*

Namun setiba di pos jaga, si ibu yang barusan menggendong anaknya sudah tak terlihat lagi di bawah pohon beringin itu.
“Lho, kemana Ibu itu?” tanya si satpam pada teman seprofesinya.

“Sudah kugelandang paksa barusan,” ujarnya dengan seringai tengiknya.

Si satpam satunya lantas membalas dengan seringai senada-seirama; seringai-seringai penuh kemenangan. Ah! Tak sia-sia aku punya partner kerja yang baik, loyal dan bisa diajak kompromi, gumamnya. Dia pun langsung teringat uang yang seharusnya diberikan pada ibu bertampang pengemis itu. Lekas ia merogoh dua lembar limapuluh ribuan dan mengangsurkan pada temannya.
“Nih, buat kamu, ini dari si Bos,”

Teman si Satpam memburaikan senyum dengan wajah sumringah.
“Tengkyu, Bro!” ucapnya langsung menyambar uang itu lantas mengecupnya berkali-kali. Sambil terus memasang senyum, ia beranjak ke belakang.
“Hei, mau ke mana kau?” teriak si Satpam yang satunya heran.

“Pipis, Bro!” katanya sambil meringis seperti menahan pipis yang sudah kronis.
Ah, dasar satpam tengik! Mana mungkin ia mau ke toilet sungguhan. Ia hanya berpura pipis padahal sejatinya ia sudah tak sabar ingin menghadap si Bos agar bisa kecipratan suap lebih banyak. Sayang, satpam satunya tak menyadari kalau ia tengah dibodohi.
*
Puring Kebumen 2010-2011

 

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

Terpopuler

Artikel Terbaru

/