25 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Juru Cerita Pernikahan

Cerpen: Dadang Ari Murtono

Di kampung lain ada pengajian, atau wayang kulit, atau orkes musik dangdut untuk merayakan pernikahan. Namun di kampung saya, yang selalu dan wajib ada adalah seorang juru cerita yang bercerita semalam suntuk perihal pernikahan-pernikahan yang bahagia. Bercerita kepada sepasang pengantin yang sebentar lagi akan sekelamin, yang selama cerita itu dikisahkan, tidak boleh beranjak dari kursi pelaminan.

Mesti mendengarkan dengan seksama. Dengan  tidak sedikit pun mengantuk. Dan bila sedetik saja sepasang pengantin itu melanggar pantangan itu, maka, orang-orang percaya, pernikahan itu tidak akan bahagia. Tidak akan awet hingga kakek nenek. Akan bubar  di tengah jalan.

engingat perannya yang sangat penting tersebut, banyak orang yang berebutan untuk bisa menjadi juru cerita pernikahan. Mereka mendapat bayaran yang lumayan banyak. Mereka akan dipandang sebagai orang yang istimewa, orang yang mesti dihormati. Dan siapa-siapa yang berpapasan jalan, mesti menyapa lebih dulu. Persis seperti orang-orang memperlakukan penghulu. Atau lurah. Atau imam masjid.

Semua orang memang bisa bercerita. Bukankah manusia itu adalah makhluk pencerita? Tapi tidak semua orang bisa menuturkan cerita dengan gaya yang  menarik dan tidak membosankan. Tidak semua orang bisa terus memikat pendengar dan menjaga agar para pendengar itu tidak meninggalkan arena penceritaan sebelum cerita itu berakhir. Dan ia, perempuan dengan rambut panjang sepunggung itu adalah pencerita pernikahan terbaik yang ada di kampung saya. Sedemikian baik dan berbakat perempuan itu hingga orang-orang di kampung-kampung yang berada di sekitaran kampung saya juga selalu mengundangnya bila mempunyai hajat pernikahan.

Pada bulan-bulan Besar dan Bakdo Mulud, hampir dapat dipastikan ia tidak berada di rumah ketika malam. Pada bulan-bulan yang dianggap orang-orang baik untuk menyelenggarakan pernikahan itu, ia benar-benar sibuk. Untuk mendapatkan jasanya bercerita, seorang penanggap mesti menghubunginya dua bulan sebelum hari pernikahan. Orang-orang juga bersedia membayar lebih mahal pada bulan-bulan tersebut.

Perempuan itu seakan memiliki ilmu gaib yang membuat orang-orang begitu terpesona. Begitu larut mendengar ceritanya. Dan tak merasa capek. Atau mengantuk. Atau berkeinginan meninggalkan gelanggang cerita.

Cerita seperti apakah yang dituturkannya hingga orang-orang begitu menyukainya dan menjadikannya rebutan siapa-siapa yang berhajat? Ah, sesungguhnya, cerita yang dituturkannya biasa-biasa saja. Tak ada perbedaan dengan cerita-cerita yang dituturkan pencerita-pencerita lain.
Cerita itu selalu berkisar perihal pernikahan yang ideal. Bercerita tentang seorang lelaki dan perempuan yang rukun. Yang tidak pernah bertengkar separah apa pun permasalahan yang mereka hadapi. Yang tak sekali pun ada piring melayang-layang di dalam rumah. Tak ada kasur dan bantal yang acak-acakan sebab dilempar-lempar. Tak ada teriakan marah. Tak ada makian. Dan pada ujung cerita, selalu ia katakan: mereka hidup bahagia selama-lamanya.

Dia juga sering menyisipkan sedikit gurauan dalam ceritanya. Gurauan yang tidak jauh dari perkara pernikahan. Dan gurauan apalagi yang lebih tepat dituturkan bila bukan gurauan tentang malam pertama. “Wah, saya harap si pengantin pria ini tidak lupa mengasah kerisnya sebelum berangkat tadi,” guraunya. Dan orang-orang tertawa. Sedang si pengantin pria hanya senyum-senyum malu.

Ia juga menyisipkan pesan-pesan pada pengantin perempuan. Pesan agar para perempuan itu bisa menyenang-nyenangkan si lelaki. Bisa mengerti makanan favorit si lelaki. Bisa mengatur uang belanja dengan baik. Bisa berdandan dengan baik untuk suaminya. “Lelaki itu gampang-gampang sulit,” katanya. “Mereka suka bila kita terlihat cantik, tapi sangat pelit memberi uang untuk membeli bedak. Mereka menuntut kita untuk selalu wangi sedang mereka sendiri malas mandi. Mereka selalu ingin kita puaskan di tempat tidur, tapi tak sekali pun memikirkan apakah kita puas atau tidak. Mereka sering memberi sedikit uang belanja sambil mengeluh tak lagi memiliki uang tapi mereka dengan santainya pergi ke warung, membual-bual sambil membakar rokok yang harga satu paknya sama dengan uang belanja yang diberikannya. Tapi seorang perempuan mesti sabar. Sebab begitulah kata pepatah: perempuan itu, surga nunut neraka katut (surga ikut neraka turut) pada lelaki,” lanjutnya.

“Tapi percayalah, seorang lelaki tidak akan macam-macam bila di rumah dia bisa merasa nyaman, merasa senang. Bukankah cikal perselingkuhan itu adalah perasaan tidak nyaman di rumah?” katanya.

Dengarlah. Alangkah sederhana cerita itu bukan? Apa yang menarik dari cerita semacam itu? Tapi tetap saja tak ada yang beranjak dari duduknya bila si perempuan sudah mulai bercerita.

Para lelaki selalu berpikir alangkah bahagia lelaki yang menikahi perempuan itu. Alangkah tentram rumah tangga mereka. Dan para perempuan menjadikannya panutan dalam menjaga cinta, menjaga lelakinya agar tidak macam-macam. Dan sepasang pengantin yang mendengar, seakan telah mendapat gambaran yang tepat tentang masa depan pernikahan mereka nantinya.
“Seperti tokoh dalam ceritanya, kita akan hidup bahagia selama-lamanya,” kata si pengantin pria. Dan si perempuan tersipu malu.
“Berjanjilah kau tak akan terperangkap perempuan lain. Seperti tokoh laki-laki dalam cerita itu,” kata si pengantin perempuan.
“Dan kau berjanjilah untuk terus menjaga cinta dan pernikahan kita. Seperti tokoh perempuan dalam cerita itu,” jawab si lelaki.
***
Begitulah selama bertahun-tahun. Perempuan juru cerita pernikahan itu terus bercerita. Dan orang-orang mengira bahwa tokoh laki-laki dan perempuan dalam cerita yang selalu ia tuturkan adalah dirinya sendiri dengan suaminya. Sungguh, orang-orang tidak pernah melihat pasangan itu bertengkar. Orang-orang tak pernah mendengar ada teriakan dari rumahnya. Tidak ada suara gemerincing beling piring dan gelas yang membentur lantai.
“Mereka memang benar-benar pasangan yang bahagia. Pasangan terbaik. Kepada merekah lah semestinya kita belajar menjaga rumah tangga,” kata orang-orang di warung kopi.

Dan seseorang menyaut, “barangkali hal itulah rahasia kenapa cerita yang ia tuturkan menjadi begitu menarik. Jauh lebih menarik dari semua pencerita pernikahan yang pernah ada. Dia begitu mendalami cerita itu sebab itu adalah cerita rumah tangganya. Ada emosi yang bisa kita rasakan dalam caranya bertutur. Ya, itulah barangkali yang membuatnya berbeda dengan pencerita-pencerita yang lain.”
***
Pagi itu, seisi kampung gempar. Seorang lelaki yang baru pulang dari kota untuk menjual panenan kubis bersumpah melihat suami perempuan pencerita pernikahan itu keluar dari sebuah hotel melati sambil menggandeng seorang perempuan. Perempuan yang bukan perempuan juru cerita pernikahan!
Adakah yang percaya pada ucapan si lelaki yang baru pulang dari menjual kubis di kota? Tentu saja tidak. Bagaimana mungkin suami perempuan juru cerita yang rumah tangganya begitu harmonis dan bahagia bisa melakukan hal semacam itu? Tidak mungkin. Tidak mungkin.
“Jangan menyebar fitnah!” senggrang seseorang.

“Atau mungkin kau salah lihat,” saut seorang yang lain dengan nada yang lebih lunak.

Tapi lelaki penjual kubis itu telah bersumpah. “Terserah kalian kalau tidak percaya. Tapi memang begitulah kenyataannya. Sungguh, aku tidak menyebar fitnah. Aku tidak salah lihat. Aku bisa melihatnya dengan begitu jelas,” sungut si lelaki penjual kubis.

Cerita itu sudah hampir surut ketika di pagi yang lain, seorang perempuan yang baru saja membeli kalung emas di kota bercerita melihat lelaki suami perempuan juru cerita berboncengan sepeda motor dengan perempuan yang bukan si juru cerita. Dari cara si perempuan melingkarkan tangannya di pinggang si lelaki, terlihat jelas bahwa mereka adalah sepasang kekasih.
Tapi sekali lagi, adakah yang percaya cerita semacam itu?

Namun, ketika untuk ketiga kalinya seseorang mengatakan melihat lelaki suami perempuan juru cerita bergandengan tangan begitu mesra dengan perempuan lain yang bukan si juru cerita, orang-orang mulai percaya. Dan mulai meragukan keyakinan bahwa rumah tangga perempuan juru cerita adalah pernikahan ideal yang mesti ditiru oleh pasangan-pasangan yang baru menikah.
Cerita-cerita itu mulai menurunkan reputasi si perempuan juru cerita. Orang-orang yang berhajat berpikir ulang untuk mengundangnya bercerita dalam pesta pernikahan yang akan mereka gelar.

Tapi kejutan masih belum selesai. Malam itu, orang-orang mendengar teriakan yang begitu pilu, teriakan yang terdengar begitu sakit dari rumah si perempuan juru cerita. Dan pagi harinya, mereka terkaget-kaget mendapati si perempuan juru cerita terkapar di ruang tamu dengan luka menganga di lehernya. Sementara suami si perempuan tak ada di rumah. Ponselnya tak bisa dihubungi. Entah kenapa.
Beberapa hari kemudian, polisi menetapkan si suami perempuan juru cerita sebagai tersangka pembunuhan dan berstatus buronan atas tuduhan kekerasan dalam rumah tangga dan pembunuhan berencana. “Cinta segitiga,” kata mereka.

 

Cerpen: Dadang Ari Murtono

Di kampung lain ada pengajian, atau wayang kulit, atau orkes musik dangdut untuk merayakan pernikahan. Namun di kampung saya, yang selalu dan wajib ada adalah seorang juru cerita yang bercerita semalam suntuk perihal pernikahan-pernikahan yang bahagia. Bercerita kepada sepasang pengantin yang sebentar lagi akan sekelamin, yang selama cerita itu dikisahkan, tidak boleh beranjak dari kursi pelaminan.

Mesti mendengarkan dengan seksama. Dengan  tidak sedikit pun mengantuk. Dan bila sedetik saja sepasang pengantin itu melanggar pantangan itu, maka, orang-orang percaya, pernikahan itu tidak akan bahagia. Tidak akan awet hingga kakek nenek. Akan bubar  di tengah jalan.

engingat perannya yang sangat penting tersebut, banyak orang yang berebutan untuk bisa menjadi juru cerita pernikahan. Mereka mendapat bayaran yang lumayan banyak. Mereka akan dipandang sebagai orang yang istimewa, orang yang mesti dihormati. Dan siapa-siapa yang berpapasan jalan, mesti menyapa lebih dulu. Persis seperti orang-orang memperlakukan penghulu. Atau lurah. Atau imam masjid.

Semua orang memang bisa bercerita. Bukankah manusia itu adalah makhluk pencerita? Tapi tidak semua orang bisa menuturkan cerita dengan gaya yang  menarik dan tidak membosankan. Tidak semua orang bisa terus memikat pendengar dan menjaga agar para pendengar itu tidak meninggalkan arena penceritaan sebelum cerita itu berakhir. Dan ia, perempuan dengan rambut panjang sepunggung itu adalah pencerita pernikahan terbaik yang ada di kampung saya. Sedemikian baik dan berbakat perempuan itu hingga orang-orang di kampung-kampung yang berada di sekitaran kampung saya juga selalu mengundangnya bila mempunyai hajat pernikahan.

Pada bulan-bulan Besar dan Bakdo Mulud, hampir dapat dipastikan ia tidak berada di rumah ketika malam. Pada bulan-bulan yang dianggap orang-orang baik untuk menyelenggarakan pernikahan itu, ia benar-benar sibuk. Untuk mendapatkan jasanya bercerita, seorang penanggap mesti menghubunginya dua bulan sebelum hari pernikahan. Orang-orang juga bersedia membayar lebih mahal pada bulan-bulan tersebut.

Perempuan itu seakan memiliki ilmu gaib yang membuat orang-orang begitu terpesona. Begitu larut mendengar ceritanya. Dan tak merasa capek. Atau mengantuk. Atau berkeinginan meninggalkan gelanggang cerita.

Cerita seperti apakah yang dituturkannya hingga orang-orang begitu menyukainya dan menjadikannya rebutan siapa-siapa yang berhajat? Ah, sesungguhnya, cerita yang dituturkannya biasa-biasa saja. Tak ada perbedaan dengan cerita-cerita yang dituturkan pencerita-pencerita lain.
Cerita itu selalu berkisar perihal pernikahan yang ideal. Bercerita tentang seorang lelaki dan perempuan yang rukun. Yang tidak pernah bertengkar separah apa pun permasalahan yang mereka hadapi. Yang tak sekali pun ada piring melayang-layang di dalam rumah. Tak ada kasur dan bantal yang acak-acakan sebab dilempar-lempar. Tak ada teriakan marah. Tak ada makian. Dan pada ujung cerita, selalu ia katakan: mereka hidup bahagia selama-lamanya.

Dia juga sering menyisipkan sedikit gurauan dalam ceritanya. Gurauan yang tidak jauh dari perkara pernikahan. Dan gurauan apalagi yang lebih tepat dituturkan bila bukan gurauan tentang malam pertama. “Wah, saya harap si pengantin pria ini tidak lupa mengasah kerisnya sebelum berangkat tadi,” guraunya. Dan orang-orang tertawa. Sedang si pengantin pria hanya senyum-senyum malu.

Ia juga menyisipkan pesan-pesan pada pengantin perempuan. Pesan agar para perempuan itu bisa menyenang-nyenangkan si lelaki. Bisa mengerti makanan favorit si lelaki. Bisa mengatur uang belanja dengan baik. Bisa berdandan dengan baik untuk suaminya. “Lelaki itu gampang-gampang sulit,” katanya. “Mereka suka bila kita terlihat cantik, tapi sangat pelit memberi uang untuk membeli bedak. Mereka menuntut kita untuk selalu wangi sedang mereka sendiri malas mandi. Mereka selalu ingin kita puaskan di tempat tidur, tapi tak sekali pun memikirkan apakah kita puas atau tidak. Mereka sering memberi sedikit uang belanja sambil mengeluh tak lagi memiliki uang tapi mereka dengan santainya pergi ke warung, membual-bual sambil membakar rokok yang harga satu paknya sama dengan uang belanja yang diberikannya. Tapi seorang perempuan mesti sabar. Sebab begitulah kata pepatah: perempuan itu, surga nunut neraka katut (surga ikut neraka turut) pada lelaki,” lanjutnya.

“Tapi percayalah, seorang lelaki tidak akan macam-macam bila di rumah dia bisa merasa nyaman, merasa senang. Bukankah cikal perselingkuhan itu adalah perasaan tidak nyaman di rumah?” katanya.

Dengarlah. Alangkah sederhana cerita itu bukan? Apa yang menarik dari cerita semacam itu? Tapi tetap saja tak ada yang beranjak dari duduknya bila si perempuan sudah mulai bercerita.

Para lelaki selalu berpikir alangkah bahagia lelaki yang menikahi perempuan itu. Alangkah tentram rumah tangga mereka. Dan para perempuan menjadikannya panutan dalam menjaga cinta, menjaga lelakinya agar tidak macam-macam. Dan sepasang pengantin yang mendengar, seakan telah mendapat gambaran yang tepat tentang masa depan pernikahan mereka nantinya.
“Seperti tokoh dalam ceritanya, kita akan hidup bahagia selama-lamanya,” kata si pengantin pria. Dan si perempuan tersipu malu.
“Berjanjilah kau tak akan terperangkap perempuan lain. Seperti tokoh laki-laki dalam cerita itu,” kata si pengantin perempuan.
“Dan kau berjanjilah untuk terus menjaga cinta dan pernikahan kita. Seperti tokoh perempuan dalam cerita itu,” jawab si lelaki.
***
Begitulah selama bertahun-tahun. Perempuan juru cerita pernikahan itu terus bercerita. Dan orang-orang mengira bahwa tokoh laki-laki dan perempuan dalam cerita yang selalu ia tuturkan adalah dirinya sendiri dengan suaminya. Sungguh, orang-orang tidak pernah melihat pasangan itu bertengkar. Orang-orang tak pernah mendengar ada teriakan dari rumahnya. Tidak ada suara gemerincing beling piring dan gelas yang membentur lantai.
“Mereka memang benar-benar pasangan yang bahagia. Pasangan terbaik. Kepada merekah lah semestinya kita belajar menjaga rumah tangga,” kata orang-orang di warung kopi.

Dan seseorang menyaut, “barangkali hal itulah rahasia kenapa cerita yang ia tuturkan menjadi begitu menarik. Jauh lebih menarik dari semua pencerita pernikahan yang pernah ada. Dia begitu mendalami cerita itu sebab itu adalah cerita rumah tangganya. Ada emosi yang bisa kita rasakan dalam caranya bertutur. Ya, itulah barangkali yang membuatnya berbeda dengan pencerita-pencerita yang lain.”
***
Pagi itu, seisi kampung gempar. Seorang lelaki yang baru pulang dari kota untuk menjual panenan kubis bersumpah melihat suami perempuan pencerita pernikahan itu keluar dari sebuah hotel melati sambil menggandeng seorang perempuan. Perempuan yang bukan perempuan juru cerita pernikahan!
Adakah yang percaya pada ucapan si lelaki yang baru pulang dari menjual kubis di kota? Tentu saja tidak. Bagaimana mungkin suami perempuan juru cerita yang rumah tangganya begitu harmonis dan bahagia bisa melakukan hal semacam itu? Tidak mungkin. Tidak mungkin.
“Jangan menyebar fitnah!” senggrang seseorang.

“Atau mungkin kau salah lihat,” saut seorang yang lain dengan nada yang lebih lunak.

Tapi lelaki penjual kubis itu telah bersumpah. “Terserah kalian kalau tidak percaya. Tapi memang begitulah kenyataannya. Sungguh, aku tidak menyebar fitnah. Aku tidak salah lihat. Aku bisa melihatnya dengan begitu jelas,” sungut si lelaki penjual kubis.

Cerita itu sudah hampir surut ketika di pagi yang lain, seorang perempuan yang baru saja membeli kalung emas di kota bercerita melihat lelaki suami perempuan juru cerita berboncengan sepeda motor dengan perempuan yang bukan si juru cerita. Dari cara si perempuan melingkarkan tangannya di pinggang si lelaki, terlihat jelas bahwa mereka adalah sepasang kekasih.
Tapi sekali lagi, adakah yang percaya cerita semacam itu?

Namun, ketika untuk ketiga kalinya seseorang mengatakan melihat lelaki suami perempuan juru cerita bergandengan tangan begitu mesra dengan perempuan lain yang bukan si juru cerita, orang-orang mulai percaya. Dan mulai meragukan keyakinan bahwa rumah tangga perempuan juru cerita adalah pernikahan ideal yang mesti ditiru oleh pasangan-pasangan yang baru menikah.
Cerita-cerita itu mulai menurunkan reputasi si perempuan juru cerita. Orang-orang yang berhajat berpikir ulang untuk mengundangnya bercerita dalam pesta pernikahan yang akan mereka gelar.

Tapi kejutan masih belum selesai. Malam itu, orang-orang mendengar teriakan yang begitu pilu, teriakan yang terdengar begitu sakit dari rumah si perempuan juru cerita. Dan pagi harinya, mereka terkaget-kaget mendapati si perempuan juru cerita terkapar di ruang tamu dengan luka menganga di lehernya. Sementara suami si perempuan tak ada di rumah. Ponselnya tak bisa dihubungi. Entah kenapa.
Beberapa hari kemudian, polisi menetapkan si suami perempuan juru cerita sebagai tersangka pembunuhan dan berstatus buronan atas tuduhan kekerasan dalam rumah tangga dan pembunuhan berencana. “Cinta segitiga,” kata mereka.

 

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

Terpopuler

Artikel Terbaru

/