Celurit itu sudah setengah warsa ia kaitkan di sebatang bambu. Tempat satu-satunya pemberian orang yang pertama mengenalkan dunia sebelum mengucap pesan terakhir pada manis malam yang hujan.
Cahaya terik merambat tua, menyisakan kemerah-merahan. Awan berarak pelan, sisik-sisiknya serupa buaya merangkak ke segala arah. Udara serasa ringan, enggan mengayunkan kuncup dedaun yang berjejer di lorong-lorong. Beberapa derit bambu terdengar ganjil. Begitupun wajah Masdura tampak risau mematungkan bola matanya pada sebilah celurit yang berdempet dengan bingkai lusuh yang selalu ia tatap setiap menjelang petang.
Nyala matanya tak beranjak dari tempat itu, melebihi gerhana yang condong arah timur. Suara beburung hantu sesekali membuyarkan lamunannya mengingat dua warsa silam yang hampir memisahkan kepala Muzakka dari tubuhnya. Kantuk yang semula mendera seketika lenyap. Ingatannya tertuju pada perkataan Muzakka yang tak menyenyakkan pikirannya.
“Akhirnya kita bertemu lagi,” Tegur Muzakka di pengkolan sawah menuju pulang.
“Apa maksudmu?” Ucap Masdura penuh waspada. Ia menjaga jarak, seakan tau kelicikan Muzakka yang melebihi penguasa.
“Besok malam tepat bulan purnama pertunjukan manca’ di kediaman Satrawi, aku tunggu kau disana, kita buktikan jati diri siapa yang lebih perkasa, cuiihhh!!!” Tantang Muzakka sembari mengangkat kiri tangannya tepat mengarah muka Masdura.
***
Senyum langit meremang, udara menelesip pada Masdura yang kembali terngiang ucapan itu. Hatinya resah. Malam seakan merambat begitu cepat. Dua ekor kelelawar memutar-mutar di bubungan rusuk atap.
Dedaun kering luruh begitu saja, seperti tak ada beban terhempas pada liat merah kecoklatan. Masdura lagi-lagi menjatuhkan ingatannya terhadap Muzakka. Bukan sebab ia tak punya keberanian tantangan sore itu, melainkan janji pada orang yang ia cintai untuk meninggalkan dunia manca’ sampai hayatnya berakhir.
Suara gendang membentuk irama, sorak-sorai tumpah ruah. Salah seorang membentuk ancang-ancang siap menerkam. Tepuk tangan kembali pecah. Mereka begitu antusias melihat pertunjukan itu, tradisi yang biasa diadakan saat purnama menjelang.
Tubuh-tubuh bergelimpangan. Mereka tampak kelimpungan menghadapi Muzakka yang terkenal memiliki ketangkasan dan kekebalan dalam bertarung. Senjata apapun tak mampu setitikpun merobek tubuh Muzakka. Kedua matanya menatap orang yang mematung di depannya. Arahnya tak beranjak dari tempat duduk Masdura.
Seberkas cahaya samar. Pasrah dilewati segerombolan kabut yang makin pekat. Masdura menginjakkan kaki pada garis pertunjukan. Matanya penuh waspada. Kedua orang itu sama-sama memantapkan kesigapan saling menjatuhkan.
Dengan pertarungan penuh ketegangan itu, Muzakka akhirnya tersungkur dengan pukulan yang dilesatkan Masdura. Tetes warna merah seketika merembes. Hening. Orang-orang menatap dengan kerutan atas kegagalan Muzakka. Tak ada lagi sorak-sorai, hanya juluran tangan Masdura mendarat ke tubuh Muzakka. Namun Muzakka menepis tangan baik Masdura penuh angkuh, seraya berkata “Aku belum kalah, kita ketemu lagi di tempat yang sama!”
***
Sejak pertarungan itu, tepat dua warsa lalu, orang yang ia cintai dan pertama mengenalkan dunia dengan keras mengutuk Masdura untuk tak lagi berkecipung dalam dunia manca’. “Dunia yang akan menimbulkan dendam satu dan lain”. Mendengar ucapnya kala itu, Masdura tak punya keberanian untuk menjawab. Tak ada ucap yang keluar, hanya anggukkan pertanda setuju. Ia rela meninggalkan dunianya sebagai tanda hormat. Sore merambat begitu cepat. Masdura mondar-mandir di tempat itu. Tempat yang setia menemaninya saat terik dan petang. Sesekali pandangnya jatuh pada tatapan kosong. Seraya memikirkan sesuatu yang membuatnya begitu gusar.
Bulatan perak buru-buru tenggelam. Menyisakan warna kemerahan. Tiga kelelawar memutar-mutar di atas rimbun bambu yang terus berderak. Decak cicak terdengar ganjil, seperti isyarat, suatu yang besar akan ia hadapi, pilihan yang tak pernah ia inginkan; menghormati orang yang melarang (menekuni dunia manca’), namun tak rela harga dirinya dicerai beraikan Muzakka.
Dengan segala kecamuk yang berkelebat, Masdura mengikuti gerak hati kecilnya. Ia melangkah ke belakang tempat yang setia menemaninya itu. Tepat di gundukan tanah yang menancap dua batu bersebelahan, Masdura mematung sejenak, menyilangkan kaki menghadap arah kiblat. Mulutnya komat-kamit, lalu menoleh ke utara dan selatan.
“Dengan segala hormat, aku minta restumu.”
Sesaat ia berdiri, mengelilingi gundukan tanah batu kembar sebanyak tiga kali. Ritual yang biasa dilakukan sebelum berangkat bermanca’ dua warsa silam. Lalu menyiram tubuhnya dengan air sumur kembang sebanyak tujuh kali di sebelah gundukan tanah batu kembar itu pula.
Sesaat ia meninggalkan tempat itu. Ia kembali mematung menoleh arah utara. Tatapannya tertuju pada bingkai lusuh yang menempel pada dinding. Ia menunduk seperti memberi hormat. Perlahan tangannya meraih sebilah celurit di bawah bingkai lusuh itu. Hatinya gemetar saat celurit itu mendarat di tangan kanannya, seakan sesuatu merasuk dalam dirinya. Ia menerawang celurit itu tanpa kedip, menjilat ujungnya sembari komat-kamit, lalu menyelipkannya di balik kain hitam yang ia kenakan.
***
Sorak-sorai terdengar sayup-sayup di kediaman Satrawi, memecah pekat merambat lekat-lekat. Bulatan bulan rebahkan cahayanya di rimbun bambu yang terus berderak. Suara gendang membentuk irama, mencipta hasrat pertunjukan. Cucuran keringat membasuh wajah Muzakka yang sedari tadi menumbangkan lawan-lawannya. Matanya merah saga, tepuk tangan semakin menggema. “Ilmunya jauh lebih sempurna setelah ia berhasil melakukan pertapaan di gua Tunjung selama empat puluh satu hari”. Ucap salah seorang yang melihat pertujukan itu.
Ia begitu tangkas menghujamkan pukulan. Lawan-lawannya tak mampu melayani kekuatan Muzakka yang berbeda dari sebelumnya. Tatapan Muzakka tertuju pada orang-orang di kediaman Satrawi penuh selidik. Seraya mencari sesuatu saat lawan-lawannya tumbang dan tak ada lagi yang berani bertarung (bermanca’) dengannya.
Tepat pada bebintik nyala dengan laron-laronnya itu, ia memahatkan bulir matanya mengarah pada Masdura yang berada di tengah kerumunan orang-orang. Ia menancapkan ludah ke tanah. “cuuiihhh”.
Masdura paham isyarat itu adalah tangtangan. Sebelum beranjak dari tempat duduk, tak lupa ia selipkan sebuah keris hitam pemberian Abahnya. Penuh sigap ia melangkah menuju Muzakka yang makin angkuh. Bahkan lebih angkuh dari pertemuan sore itu.
Setiap injakan kakinya, Masdura tampak komat-kamit. Kedua pemanca’ itu sama-sama berada di arena pertunjukan; saling mengadu pandang. Tubuh Masdura gemetar. Terbesit sesuatu dalam benaknya. Sedang Muzakka memasang ancang menyerang. Berbagai ritual mereka tampakkan. Namun pikiran Masdura kembali jatuh menyentuh pesan orang yang paling ia cintai. Orang yang melarangnya bermanca’ hingga tujuh turun.
“Hiiieeeiiiaakkk!!!”
Keduanya saling menghunuskan pukulan. Suara gendang berpadu dengan gerak mereka saat melangkah. Sorak sorai kembali pecah. Sabetan tangan dan kaki Muzakka hampir mendarat di ulu hati Masdura yang pikirannya melayang, namun ia sigap menghindar dari serangan itu.
Keringat bercucuran dari balik hitam celana komprang yang mereka kenakan. Bulan tanggal separuh celurit karat. Tak ada suara yang bisa melerai kedua orang itu. Mereka bermanca’ melebihi batas kewajaran.
Pukulan tangan beruntun Masdura lepas dari hadangan Muzakka, seketika itu ia tersungkur ke liat coklat kemerahan. Matanya menyala penuh amarah, melebihi cahaya bulan yang mulai condong ke arah barat. Perlahan ia berdiri, napasnya tersengal-sengal, lalu mengusap debu yang mengganggu penglihatannya itu. Mengatur napasnya pelan-pelan. Tampak tangan kanannya ia selipkan kebelakang, meraih sesuatu dari balik punggungnya. Masdura terbelalak, namun ia tetap sigap penuh waspada.
Senyap menghampiri pertunjukan itu. Sorak-soraipun hambar. Bunyi gendang tampak samar di telinga keduanya. Masdura menelisik segala gerak Muzakka. Juga menarik napasnya dalam-dalam. Hatinya kembali tertuju pada orang yang ia cintai, orang yang pertama mengenalkan dunia padanya, lalu melayangkan maaf dari detaknya yang terkecil.
Kedua orang itu saling mengadu tatap. Mereka siap menebas siapa saja yang menghalangi langkahnya. Orang-orang bergunjing tak karuan, mengernyit dengan pertanyaan besar. Sebagian tunggang langgang meninggalkan tempat itu.
Masdura kembali menatap gerak Muzakka yang mengayunkan celuritnya kesegala arah. Ia belum beranjak dari tempat semula. Mulutnya tampak komat kamit, lalu menghentakkan kakinya sebanyak tiga kali ke tanah. “Demi Ibu dan Abah, aku pertaruhkan hidup ini”. Pelan-pelan ia meraih sebilah celurit di balik punggungnya. Tangannya gemetar, detaknya berdenyut tak seperti biasa, seperti teringat dua warsa silam.
Riuh senyap tupang tindih, orang-orang mengadu jarak. Tak ada suara gendang mengikuti gelagat pertunjukan. Sorak soraipun alpa. Hening. Udara tampak kaku menyadarkan kedua orang itu. Bulan meremang. Pekat merambat. Orang-orang menatap dengan mata terkulai. Dan…
Terdengar jeritan sekaligus erangan dari pemanca’ itu; warna merah menetes satu-satu. Merembes pada salah satu celurit yang mereka genggam. (*)
Slopeng-Madura, 2013
Catatan: Manca’, sebuah tradisi dalam bentuk pertunjukan. Saling mengadu kekuatan ilmu juga ritual lainnya. Membawa celurit atau pisau untuk menumbangkan lawan mainnya.