SELASA pagi (29/10) ini tongkat komando kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) resmi dipegang Komjen Sutarman. Anak petani dari pelosok desa itu dikenal ulet dan sering tirakat sejak muda.
———
RILDWAN HABIB, Sukoharjo
———
Alunan gending Kebo Giro lembut terdengar di sebuah desa yang sunyi dan gelap. Minggu malam (27/10) itu gending yang biasa diperdengarkan dalam acara pernikahan Jawa tersebut mengawali latihan Paguyuban Karawitan Sedayu Laras.
“Monggo Mas, lenggah (duduk) di tengah-tengah sini,” ujar Aiptu Parji, koordinator karawitan itu, ketika Jawa Pos mengunjungi mereka di Dusun Dayu, Desa Tawang, Kecamatan Weru, Sukoharjo, Jawa Tengah.
“Ini latihan pertama setelah kami libur hampir sebulan untuk menirakati Bapak (Jenderal Sutarman, Red) yang sedang dicalonkan jadi Kapolri,” tambahnya.
Setelah nama Sutarman disetujui DPR dan dilantik resmi Presiden SBY sebagai Kapolri, Minggu malam Sedayu Laras mulai berlatih lagi. Kebetulan tempat latihannya jadi satu di rumah keluarga mantan Kabareskrim Mabes Polri itu.
“Bapak senang sekali dengan karawitan. Seluruh pengrawit (penabuh gamelan)-nya ini warga sini,” ungkapnya. Setiap pulang ke desa, Sutarman selalu meminta gamelan dimainkan hingga tengah malam.
Didirikan di sebelah selatan rumah induk, joglo itu diberi nama Padepokan Langgeng Mulyo yang dibangun pada Oktober 2011. Sutarman memborong seperangkat gamelan lengkap dan mengundang secara khusus pelatih karawitan, Ki Diyarman, yang juga seorang dalang.
Di sebelah barat joglo tersebut, tinggal ayah Sutarman, Paidi Pawiro Mihardjo, dan Semi, istri terusannya. Ibu kandung Sutarman sudah wafat karena kanker. Sayangnya, ketika Jawa Pos datang, Paidi Pawiro bersama keluarga besarnya sudah berangkat ke Jakarta untuk menghadiri pelantikan anaknya sebagai Kapolri.
Sabtu malam, keluarga Paidi menggelar kenduri selamatan atas pelantikan Sutarman sebagai orang nomor satu di Polri tersebut. “Kami mendoakan agar Bapak sukses dalam mengemban amanah,” kata Parji yang berdinas di Polsek Weru, Sukoharjo, itu.
Nama Sutarman di Dusun Dayu dikenal sebagai figur yang eling sangkan parane dumadi (selalu ingat asal usul). Dusun Dayu berada di pelosok Sukoharjo. Dari pusat kota menuju dusun itu, perjalanan berkelok-kelok dan menerobos perbukitan yang lebat dengan pohon kapuk randu yang di kalangan masyarakat tradisional Jawa dikenal sebagai pohon tempat bersarangnya hantu.
“Tarman itu ulet. Dengan saya bisa dibilang tunggal sarung karena kami sering tidur bersama dengan selimut satu sarung,” ungkap Slamet Riyanto, teman sepermainan Sutarman, saat ditemui di rumahnya, sekitar 100 meter di belakang rumah keluarga Sutarman. Rumah Slamet sederhana, khas rumah di desa, dengan dinding kayu dan lantai berplester semen.
Sejak remaja Sutarman punya keinginan masuk Akabri (kini Akpol, Akademi Polisi). Dia lalu mencari jalan sendiri untuk mewujudkan cita-citanya itu. Apalagi, dia “hanya” anak petani biasa. Karena itu, mau tidak mau Sutarman harus bekerja keras untuk bisa tembus masuk Akabri.
Sebagaimana remaja desa, kata Slamet, Sutarman juga menjalankan aktivitasnya seperti kebanyakan orang desa. Misalnya, dia bertani di sawah, menggembala kerbau, mencari rumput, serta menjual bambu. “Pokoknya tidak beda dengan kami, orang desa,” tuturnya.
Sutarman menempuh pendidikan dasar di Madrasah Ibtidaiyah Ganggang, Sukoharjo. Lalu, melanjutkan ke SMP Muhammadiyah Cawas, Klaten, dan kemudian di sebuah STM di Sukoharjo (sekarang SMK Bina Patria I Sukoharjo) jurusan mesin.
“Tarman itu selalu patuh apa pun yang disampaikan atau diperintahkan bapaknya. Tidak pernah saya dengar dia membantah sekali pun,” ungkapnya.
Jika sedang menggembala kerbau, Sutarman kecil tidak akan makan sebelum kerbaunya kenyang. “Biasanya cari rumputnya dengan saya,” ujar bapak dua anak itu.
Yang juga rutin dilakukan Sutarman saat muda adalah tirakat dengan berjalan kaki di tengah malam. “Kami melekan untuk tirakatan. Pulangnya subuh. Kami sering tidur di hutan-hutan di kaki Gunung Taliwongso,” katanya.
Dusun Dayu memang dekat dengan kawasan perbukitan. Masyarakat menamai bukit-bukit itu dengan sebutan sendiri. Salah satunya Gunung Taliwongso karena banyak ular taliwongso yang hidup di bukit itu.
Ketika mendengar Sutarman dicalonkan menjadi Kapolri menggantikan Jenderal Timur Pradopo, orang-orang dekat Sutarman di kampung halaman melakukan laku prihatin dengan bertirakat. Setiap malam mereka memanjatkan doa agar putra terbaik Dusun Dayu itu diberi jalan lancar.
Sutarman merupakan anak mbarep (sulung) dari lima bersaudara. Adik laki-lakinya, Sutikno, kini menjadi guru di Blora. Lalu, tiga adik perempuannya, yakni Harmini dan Haryati, menjadi ibu rumah tangga dan menetap di Sukoharjo serta si bungsu, Siti Harwanti, menjadi dosen ilmu keperawatan di Purwokerto.
Saat kecil Sutarman juga mengikuti kebiasaan orang tuanya untuk menjalankan puasa Senin-Kamis. “Dia suka sekali puasa, ya Senin-Kamis. Sering pula puasa Daud (puasa ala Nabi Daud, sehari puasa, sehari tidak, Red),” katanya.
Lulus STM, Sutarman mencoba masuk Akabri bagian polisi seperti yang dia cita-citakan pada 1978, namun gagal. Dia lalu bekerja sebagai tukang mengaspal jalan di Semarang. Mantan Kapolda Metro Jaya itu juga pernah ikut orang berjualan tongseng di Jakarta. “Di Jakarta, dia ikut Kang Simin yang jualan tongseng,” ujar Slamet.
Usaha Sutarman masuk Polri memang habis-habisan. Untuk mempersiapkan fisiknya, dia menggembleng diri dengan berlari keliling sawah di desanya setiap habis subuh. Sampai akhirnya, dia ikut tes lagi di Akabri, Magelang (saat itu, Akpol masuk bergabung di Akabri, Red) dan dinyatakan lulus menjadi taruna pada 1979.
Slamet masih ingat, ketika Sutarman diterima menjadi taruna Akabri di Magelang, dirinya mencukur kepala teman sepermainannya itu sampai plontos. “Guntingnya masih saya simpan sampai sekarang,” tegasnya lantas beranjak masuk ke dalam kamar rumah.
“Ini Mas (guntingnya), sudah neyeng (berkarat, Red). Tapi, saya simpan karena saya yakin Tarman akan jadi orang sukses. Untuk kenang-kenangan,” ujarnya.
Meski kini Sutarman sudah menjadi orang besar, Slamet tidak pernah sekalipun mau diajak ke Jakarta. “Saya sudah senang melihat Tarman sukses menjadi orang gede. Tarman itu mengawalinya benar-benar dari nol, prihatin. Tidak seperti anak muda sekarang yang maunya langsung kepenak (enak),” ucapnya.
Jika sedang pulang kampung, Sutarman hampir selalu menemui Slamet. Dia tidak mau dikawal anak buahnya. “Saya bilang kamu ini jenderal kok koyo wong ilang (seperti orang hilang), ke mana-mana pakai sepeda onthel dan celana pendek,” katanya.
Rupanya, ajudan dan pengawal Sutarman dilarang masuk kampung. “Dia tidak suka diistimewakan,” ujar Slamet yang lebih tua dari Sutarman.
Sementara itu, Simin, 67, yang pernah mempekerjakan Sutarman saat berdagang tongseng di Jakarta juga sangat bangga karena mantan anak buahnya tersebut kini menjadi petinggi di kepolisian Indonesia. “Kalau ingat Pak Tarman jualan tongseng, hati saya bangga sekali,” ungkapnya saat ditemui di rumahnya, tepi Dusun Dayu.
Simin menceritakan, pada 1978-1979, dirinya mengadu nasib sebagai pedagang tongseng keliling di sekitar Pasar Gembrong, Jatinegara. Saat itulah Sutarman yang baru lulus STM ikut dirinya untuk berjualan. “Beliau ikut saya mikul tongseng keliling Jatinegara.”
Selama ikut Simin, Sutarman jarang mengeluh. “Beliau jujur. Soal uang, selalu setor kepada saya sak lakune (sesuai yang terjual). Semoga saat jadi Kapolri juga tetap jujur,” katanya. (*/c5/ari)