31 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Pro dan Kontra Pembubaran BP Migas

Mahkamah Konstitusi (MK) Minggu lalu mengeluarkan keputusan pembubaran Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BPMigas)
dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Alasannya badan ini dianggap bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pro dan kontra keputusan ini pun muncul. Berikut ulasannya.

BUBAR: BP Migas dibubarkan sesuai  keputusan MK.
BUBAR: BP Migas dibubarkan sesuai dengan keputusan MK.

Keputusan pembubaran BP Migas ini bermula dari pengajuan Judicial Review UU No 22/2001 tentang Migas yang diajukan oleh sejumlah organisasi dan perorangan. Mereka terdiri atas tokoh-tokoh nasional dan aktivis. Antara lain PP Muhammadiyah, Komaruddin Hidayat, Marwan Batubara, Adhie Massardi, dan M Hatta Taliwang. Para penggugat ini juga menghadirkan sejumlah saksi ahli, di antaranya mantan Menko Perekonomian Dr Rizal Ramli, Kwik Kian Gie, pakar migas Dr Kurtubi, pakar hukum tata negara Dr Margarito Kamis, dan lainnya.

Para penggugat dan saksi ahlinya berpendapat, BP Migas tidak banyak memberi manfaat bagi negara dan rakyat Indonesia. Menurut penggugat, ada praktiknya, BP Migas justru lebih banyak menguntungkan kontraktor-kontraktor asing. Lewat perannya yang tidak jelas, BP Migas justru menjadi ‘kepanjangan tangan’ kontraktor asing, khususnya dalam soal persetujuan pembayaran cost recovery yang jumlahnya amat besar.

Pakar Migas Kurtubi melihat kehadiran BP Migas telah menggerogoti kedaulatan negara. Menurutnya, BP Migas tidak punya aset. Dengan demikian aset BP Migas adalah aset pemerintah. Di sisi lain, BP Migas mewakili pemerintah dalam menandatangani kontrak Migas dengan perusahaan asing dalam pola business to government (B to G). Artinya, kedudukan pemerintah dan kontraktor asing jadi setara. Jika terjadi sengketa hukum, bisa membahayakan negara.

“UU Migas mengarah untuk melegalkan penguasaan kekayaan migas nasional oleh perusahaan asing/swasta. Hal ini tampak pada pasal 12 ayat 3, yang menyatakan Kuasa Pertambangan oleh menteri diserahkan kepada perusahaan asing/swasta. Sementara itu, implementasi kepemilikan atas sumber daya migas alam (SDA) migas sengaja dikaburkan dengan tidak adanya pihak yang membukukannya karena BP Migas tidak punya neraca. Pendeknya, dengan kehadiran BP Migas, tata kelola migas Indonesia menjadi yang paling buruk di Asia Oceania. Hal ini ditandai dengan produksi anjlok, cost recovery melonjak, karyawan BP Migas melonjak 10 kali lipat, merugikan negara dan melanggar Konstitusi,” papar Kurtubi.

Menanggapi hal ini, Anggota Komisi VII DPR Satya W Yudha mempunyai pendapat berlawanan. Menurutnya, MK dan para penggugat tidak sabaran terhadap proses revisi UU Migas yang tengah digodok di DPR.

“Kami sedang membahas agar pengelolaan migas lebih efisien, untuk itu perlu ditetapkan secara konsisten siapa yang akan memegang Kuasa Pertambangan Migas,” jelas Satya. Dia mengatakan, saat ini sebenarnya Kuasa Pertambangan (KP) bukanlah wewenang BP Migas, tapi wewenang Presiden/Menteri ESDM. Peranan BP Migas hanya sebagai pelaksana, yang menurut Satya memang terkesan ‘banci’, karena yang melakukan tender blok adalah Ditjen Migas, tetapi yang berkontrak dengan para investor/KKKS (kontraktor kontrak kerjasama) adalah BP Migas.

“Untuk itu DPR tengah bekerja mendiskusikan apakah kuasa pertambangan akan tetap di ESDM atau diberikan langsung kepada BP Migas. Ini yang dikhawatirkan oleh banyak pihak kalau KP diberikan oleh negara kepada BP Migas, sehingga BP Migas bisa melakukan tender sekaligus berkontrak dengan KKKS. Kuncinya ada pada siapa pemegang KP itu,” kata Satya.

Lanjut Satya, penguasaan asing yang menggarap ladang migas di Indonesia yang selama ini diributkan bukan terletak pada BP Migas-nya, tetapi pada tipe kontrak yang ada yaitu kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC). “Tipe kontrak ini sudah ada dan dilakukan puluhan tahun sejak Pertamina melalui BPPKA (Badan Pembinaan dan Pengusahaan Kontraktor Asing) melakukan kontrak dengan para KKKS,” kata Satya.

Bahkan tipe kontrak PSC ala Indonesia jadi percontohan di dunia. Di mana pemerintah mengontrol semua aktifitas eksplorasi dan eskploitasi migas melalui pengawasan baik, kalau dulu lewat Pertamina dan sekarang di BP Migas.

“Sedangkan asing hanya mendapatkan bagi hasilnya apabila mereka berhasil menemukan migasnya yang selanjutnya dibagi keuntungannya setelah ongkos yang dikeluarkan untuk menemukan dan memproduksi migas itu tergantikan, ini yang selanjutnya disebut Cost Recovery. Sehingga peranan BP Migas sebagai polisi yang mengontrol agar penghitungan cost recovery tepat dan tidak dipermainkan pihak asing,” tegas Satya. Jadi apabila peranan BP Migas dikembalikan ke ESDM, lanjut Satya, bukan berarti kita akan terhindar dari ‘penguasaan’ asing terhadap ladang migas Indonesia, kalau tipe kontraknya masih sama.

“Jadi kalau disimpulkan, seakan akan kita di bawah asing itu perlu diluruskan pemahamannya. Kalau ESDM atau BP Migas kuat, hal semacam ini tidak perlu dikawatirkan. Justru di dalam revisi UU Migas ini kita akan sempurnakan institusi yang melakukan pengawasan ini agar dia bisa berkontrak dengan kontraktor asing ataupun dalam negeri dengan lebih baik, dengan memperbaiki bentuk badan atau institusi ini. Kita minta masyarakat dan industri migas untuk tenang supaya tugas pembuatan/revisi UU yang sedang dilakukan DPR ini berjalan dengan baik demi kepentingan bangsa ke depan,” ungkap Satya.
Di tempat terpisah, Guru Besar Ilmu Hukum UI Hikmahanto Juwana juga mengatakan, dirinya menyayangkan pembubaran BP Migas ini. Karena jika BP Migas dianggap inefisien atau boros dan membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan, pembubaran BP Migas menjadi keputusan yang tidak tepat. Hikmahanto dalam keterangannya yang dikutip menjelaskan ada tiga alasan keputusan ini sangat disayangkan.

Pertama, MK bisa diibaratkan telah membakar lumbung, dan bukan tikus, ketika menganggap BP Migas inefisien dan membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan. Menurut MK keberadaan BP Migas sangat berpotensi untuk terjadinya inefisiensi dan diduga, dalam praktiknya, telah membuka peluang untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

Kedua mengapa putusan tersebut disayangkan? Menurut Hikmahanto sangat aneh bila ukuran inefisiensi dan potensi penyalahgunaan suatu lembaga dianggap sebagai tidak konstitusional. “Di Indonesia saat ini banyak lembaga yang tidak efisien, dan apakah berdasarkan inefisiensi dan potensi penyalahgunaan kekuasaan tersebut lembaga yang ada serta merta dianggap tidak konstitusional? Bukankah konstitusional tidaknya suatu lembaga harus dirujuk pada pasal dalam UUD?” tegas Hikmahanto.

Alasan ketiga mengapa putusan ini patut disayangkan, Hikmahanto menjelaskan MK menganggap BP Migas sebagai suatu lembaga yang benar-benar terpisah dari negara. Seolah BP Migas mendapat ‘outsource’ dari negara untuk menjalankan kewenangannya.
MK berpendapat untuk menghindari hubungan yang demikian (hubungan antara BP Migas dengan negara) negara dapat membentuk atau menunjuk BUMN yang diberikan konsesi untuk mengelola Migas di Wilayah hukum Pertambangan Indonesia atau di Wilayah Kerja sehingga. BUMN tersebut yang melakukan KKS dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap sehingga hubungannya tidak lagi antara negara dengan Badan Usaha atau BUT tetapi antara Badan Usaha dengan BU atau BUT.

“Kalau memang demikian, maka BUMN yang ditunjuk akan mempunyai fungsi yang sama dengan BP Migas. Kondisi ini yang hendak mengembalikan posisi masa lalu di mana Pertamina bertindak sebagai regulator. Padahal berdasarkan UU Migas saat ini, fungsi regulasi dan kewenangan untuk memberi Wilayah Kerja berada di Direktorat Jenderal Migas. Sementara BP Migas hanya berperan sebagai pihak yang mewakili negara ketika mengadakan Kontrak Kerja Sama (KKS) dengan Badan Usaha dan Badan Usaha Tetap,” tutur Himahanto.

Penunjukan BUMN akan tetap ‘merendahkan’ posisi negara karena konstelasinya tidak berbeda dengan BP Migas. Kerepotan lain dengan penunjukan BUMN sebagai regulator adalah pada saat mereka berperan sebagai regulator maka mereka juga mencari keuntungan, bila dalam bentuk perseroan terbatas, atau berhak mendapatkan subsisdi bila dalam bentuk perusahaan umum (perum).

Padahal Pertamina sebelum diberlakukan UU Migas bukanlah BUMN yang diatur dalam UU BUMN, melainkan sebuah lembaga yang berdiri berdasarkan UU yaitu UU No 8 Tahun 1971. “Putusan MK ini tidak akan mengeluarkan Indonesia dalam pengelolaan sumber daya alam yang efisien dan untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” tegas Hikmahanto. Meski begitu, saat ini BP Migas tinggal sejarah. Peran BP Migas saat ini dialihkan kepada Kementerian ESDM di bawah sebuah unit khusus. Pemerintah disibukkan oleh pengalihan seribu lebih pegawai BP Migas ke Kementerian ESDM.

Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, Muhammadiyah tengah mendapat banyak kado ulang tahun di usia 100 tahun itu. Din mengatakan, kado terindah itu adalah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). “Permohonan judicial review UU BP Migas telah dikabulkan oleh MK (Mahkamah Konstitusi). Ini perjuangan jihad konstitusi untuk harkat dan martabat negara, dan sebagai kado dari ulang tahun yang kami rasakan,” kata Din di Kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat.
Menurut Din, hal itu telah dilakukan dengan pengkajian panjang pada tahun 2009-2010. Sidangnya pun telah dilakukan berbulan-bulan di MK. Din mengatakan, ada 21 pasal yang dikabulkan untuk dibatalkan oleh MK. Menurutnya, hal itu bukan hanya mengenai keberadaan BP Migas, tetapi lebih luas dari itu. “Bahkan yang menarik, pasal yang tidak kita minta untuk diamandemen, justru dikabulkan oleh MK,” kata Din. Din menambahkan, dalam undang-undang tentang migas itu terdapat makna pemerintah disejajarkan dengan pihak asing dalam kontrak kerja sama. Hal ini disinyalir dapat merugikan negara.

Pada Selasa (13/11), Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau BP Migas bertentangan dengan UUD 1945 alias inskonstitusional. Keputusan tersebut berdampak pada pembubaran badan tersebut saat Mahkamah Konstitusi memutuskan uji materi UU Migas. Selain kado pembubaran BP Migas, Din menyebut kado lain, yakni prestasi SMK Muhammadiyah 1 Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, yang meluncurkan bus panggung. Kado lainnya adalah prestasi SMK Muhammadiyah di Malang, Jawa Timur, yang berhasil membuat mobil bertenaga surya. (bbs/net/jpnn)

Mahkamah Konstitusi (MK) Minggu lalu mengeluarkan keputusan pembubaran Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BPMigas)
dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Alasannya badan ini dianggap bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pro dan kontra keputusan ini pun muncul. Berikut ulasannya.

BUBAR: BP Migas dibubarkan sesuai  keputusan MK.
BUBAR: BP Migas dibubarkan sesuai dengan keputusan MK.

Keputusan pembubaran BP Migas ini bermula dari pengajuan Judicial Review UU No 22/2001 tentang Migas yang diajukan oleh sejumlah organisasi dan perorangan. Mereka terdiri atas tokoh-tokoh nasional dan aktivis. Antara lain PP Muhammadiyah, Komaruddin Hidayat, Marwan Batubara, Adhie Massardi, dan M Hatta Taliwang. Para penggugat ini juga menghadirkan sejumlah saksi ahli, di antaranya mantan Menko Perekonomian Dr Rizal Ramli, Kwik Kian Gie, pakar migas Dr Kurtubi, pakar hukum tata negara Dr Margarito Kamis, dan lainnya.

Para penggugat dan saksi ahlinya berpendapat, BP Migas tidak banyak memberi manfaat bagi negara dan rakyat Indonesia. Menurut penggugat, ada praktiknya, BP Migas justru lebih banyak menguntungkan kontraktor-kontraktor asing. Lewat perannya yang tidak jelas, BP Migas justru menjadi ‘kepanjangan tangan’ kontraktor asing, khususnya dalam soal persetujuan pembayaran cost recovery yang jumlahnya amat besar.

Pakar Migas Kurtubi melihat kehadiran BP Migas telah menggerogoti kedaulatan negara. Menurutnya, BP Migas tidak punya aset. Dengan demikian aset BP Migas adalah aset pemerintah. Di sisi lain, BP Migas mewakili pemerintah dalam menandatangani kontrak Migas dengan perusahaan asing dalam pola business to government (B to G). Artinya, kedudukan pemerintah dan kontraktor asing jadi setara. Jika terjadi sengketa hukum, bisa membahayakan negara.

“UU Migas mengarah untuk melegalkan penguasaan kekayaan migas nasional oleh perusahaan asing/swasta. Hal ini tampak pada pasal 12 ayat 3, yang menyatakan Kuasa Pertambangan oleh menteri diserahkan kepada perusahaan asing/swasta. Sementara itu, implementasi kepemilikan atas sumber daya migas alam (SDA) migas sengaja dikaburkan dengan tidak adanya pihak yang membukukannya karena BP Migas tidak punya neraca. Pendeknya, dengan kehadiran BP Migas, tata kelola migas Indonesia menjadi yang paling buruk di Asia Oceania. Hal ini ditandai dengan produksi anjlok, cost recovery melonjak, karyawan BP Migas melonjak 10 kali lipat, merugikan negara dan melanggar Konstitusi,” papar Kurtubi.

Menanggapi hal ini, Anggota Komisi VII DPR Satya W Yudha mempunyai pendapat berlawanan. Menurutnya, MK dan para penggugat tidak sabaran terhadap proses revisi UU Migas yang tengah digodok di DPR.

“Kami sedang membahas agar pengelolaan migas lebih efisien, untuk itu perlu ditetapkan secara konsisten siapa yang akan memegang Kuasa Pertambangan Migas,” jelas Satya. Dia mengatakan, saat ini sebenarnya Kuasa Pertambangan (KP) bukanlah wewenang BP Migas, tapi wewenang Presiden/Menteri ESDM. Peranan BP Migas hanya sebagai pelaksana, yang menurut Satya memang terkesan ‘banci’, karena yang melakukan tender blok adalah Ditjen Migas, tetapi yang berkontrak dengan para investor/KKKS (kontraktor kontrak kerjasama) adalah BP Migas.

“Untuk itu DPR tengah bekerja mendiskusikan apakah kuasa pertambangan akan tetap di ESDM atau diberikan langsung kepada BP Migas. Ini yang dikhawatirkan oleh banyak pihak kalau KP diberikan oleh negara kepada BP Migas, sehingga BP Migas bisa melakukan tender sekaligus berkontrak dengan KKKS. Kuncinya ada pada siapa pemegang KP itu,” kata Satya.

Lanjut Satya, penguasaan asing yang menggarap ladang migas di Indonesia yang selama ini diributkan bukan terletak pada BP Migas-nya, tetapi pada tipe kontrak yang ada yaitu kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC). “Tipe kontrak ini sudah ada dan dilakukan puluhan tahun sejak Pertamina melalui BPPKA (Badan Pembinaan dan Pengusahaan Kontraktor Asing) melakukan kontrak dengan para KKKS,” kata Satya.

Bahkan tipe kontrak PSC ala Indonesia jadi percontohan di dunia. Di mana pemerintah mengontrol semua aktifitas eksplorasi dan eskploitasi migas melalui pengawasan baik, kalau dulu lewat Pertamina dan sekarang di BP Migas.

“Sedangkan asing hanya mendapatkan bagi hasilnya apabila mereka berhasil menemukan migasnya yang selanjutnya dibagi keuntungannya setelah ongkos yang dikeluarkan untuk menemukan dan memproduksi migas itu tergantikan, ini yang selanjutnya disebut Cost Recovery. Sehingga peranan BP Migas sebagai polisi yang mengontrol agar penghitungan cost recovery tepat dan tidak dipermainkan pihak asing,” tegas Satya. Jadi apabila peranan BP Migas dikembalikan ke ESDM, lanjut Satya, bukan berarti kita akan terhindar dari ‘penguasaan’ asing terhadap ladang migas Indonesia, kalau tipe kontraknya masih sama.

“Jadi kalau disimpulkan, seakan akan kita di bawah asing itu perlu diluruskan pemahamannya. Kalau ESDM atau BP Migas kuat, hal semacam ini tidak perlu dikawatirkan. Justru di dalam revisi UU Migas ini kita akan sempurnakan institusi yang melakukan pengawasan ini agar dia bisa berkontrak dengan kontraktor asing ataupun dalam negeri dengan lebih baik, dengan memperbaiki bentuk badan atau institusi ini. Kita minta masyarakat dan industri migas untuk tenang supaya tugas pembuatan/revisi UU yang sedang dilakukan DPR ini berjalan dengan baik demi kepentingan bangsa ke depan,” ungkap Satya.
Di tempat terpisah, Guru Besar Ilmu Hukum UI Hikmahanto Juwana juga mengatakan, dirinya menyayangkan pembubaran BP Migas ini. Karena jika BP Migas dianggap inefisien atau boros dan membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan, pembubaran BP Migas menjadi keputusan yang tidak tepat. Hikmahanto dalam keterangannya yang dikutip menjelaskan ada tiga alasan keputusan ini sangat disayangkan.

Pertama, MK bisa diibaratkan telah membakar lumbung, dan bukan tikus, ketika menganggap BP Migas inefisien dan membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan. Menurut MK keberadaan BP Migas sangat berpotensi untuk terjadinya inefisiensi dan diduga, dalam praktiknya, telah membuka peluang untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

Kedua mengapa putusan tersebut disayangkan? Menurut Hikmahanto sangat aneh bila ukuran inefisiensi dan potensi penyalahgunaan suatu lembaga dianggap sebagai tidak konstitusional. “Di Indonesia saat ini banyak lembaga yang tidak efisien, dan apakah berdasarkan inefisiensi dan potensi penyalahgunaan kekuasaan tersebut lembaga yang ada serta merta dianggap tidak konstitusional? Bukankah konstitusional tidaknya suatu lembaga harus dirujuk pada pasal dalam UUD?” tegas Hikmahanto.

Alasan ketiga mengapa putusan ini patut disayangkan, Hikmahanto menjelaskan MK menganggap BP Migas sebagai suatu lembaga yang benar-benar terpisah dari negara. Seolah BP Migas mendapat ‘outsource’ dari negara untuk menjalankan kewenangannya.
MK berpendapat untuk menghindari hubungan yang demikian (hubungan antara BP Migas dengan negara) negara dapat membentuk atau menunjuk BUMN yang diberikan konsesi untuk mengelola Migas di Wilayah hukum Pertambangan Indonesia atau di Wilayah Kerja sehingga. BUMN tersebut yang melakukan KKS dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap sehingga hubungannya tidak lagi antara negara dengan Badan Usaha atau BUT tetapi antara Badan Usaha dengan BU atau BUT.

“Kalau memang demikian, maka BUMN yang ditunjuk akan mempunyai fungsi yang sama dengan BP Migas. Kondisi ini yang hendak mengembalikan posisi masa lalu di mana Pertamina bertindak sebagai regulator. Padahal berdasarkan UU Migas saat ini, fungsi regulasi dan kewenangan untuk memberi Wilayah Kerja berada di Direktorat Jenderal Migas. Sementara BP Migas hanya berperan sebagai pihak yang mewakili negara ketika mengadakan Kontrak Kerja Sama (KKS) dengan Badan Usaha dan Badan Usaha Tetap,” tutur Himahanto.

Penunjukan BUMN akan tetap ‘merendahkan’ posisi negara karena konstelasinya tidak berbeda dengan BP Migas. Kerepotan lain dengan penunjukan BUMN sebagai regulator adalah pada saat mereka berperan sebagai regulator maka mereka juga mencari keuntungan, bila dalam bentuk perseroan terbatas, atau berhak mendapatkan subsisdi bila dalam bentuk perusahaan umum (perum).

Padahal Pertamina sebelum diberlakukan UU Migas bukanlah BUMN yang diatur dalam UU BUMN, melainkan sebuah lembaga yang berdiri berdasarkan UU yaitu UU No 8 Tahun 1971. “Putusan MK ini tidak akan mengeluarkan Indonesia dalam pengelolaan sumber daya alam yang efisien dan untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” tegas Hikmahanto. Meski begitu, saat ini BP Migas tinggal sejarah. Peran BP Migas saat ini dialihkan kepada Kementerian ESDM di bawah sebuah unit khusus. Pemerintah disibukkan oleh pengalihan seribu lebih pegawai BP Migas ke Kementerian ESDM.

Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, Muhammadiyah tengah mendapat banyak kado ulang tahun di usia 100 tahun itu. Din mengatakan, kado terindah itu adalah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). “Permohonan judicial review UU BP Migas telah dikabulkan oleh MK (Mahkamah Konstitusi). Ini perjuangan jihad konstitusi untuk harkat dan martabat negara, dan sebagai kado dari ulang tahun yang kami rasakan,” kata Din di Kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat.
Menurut Din, hal itu telah dilakukan dengan pengkajian panjang pada tahun 2009-2010. Sidangnya pun telah dilakukan berbulan-bulan di MK. Din mengatakan, ada 21 pasal yang dikabulkan untuk dibatalkan oleh MK. Menurutnya, hal itu bukan hanya mengenai keberadaan BP Migas, tetapi lebih luas dari itu. “Bahkan yang menarik, pasal yang tidak kita minta untuk diamandemen, justru dikabulkan oleh MK,” kata Din. Din menambahkan, dalam undang-undang tentang migas itu terdapat makna pemerintah disejajarkan dengan pihak asing dalam kontrak kerja sama. Hal ini disinyalir dapat merugikan negara.

Pada Selasa (13/11), Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau BP Migas bertentangan dengan UUD 1945 alias inskonstitusional. Keputusan tersebut berdampak pada pembubaran badan tersebut saat Mahkamah Konstitusi memutuskan uji materi UU Migas. Selain kado pembubaran BP Migas, Din menyebut kado lain, yakni prestasi SMK Muhammadiyah 1 Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, yang meluncurkan bus panggung. Kado lainnya adalah prestasi SMK Muhammadiyah di Malang, Jawa Timur, yang berhasil membuat mobil bertenaga surya. (bbs/net/jpnn)

Artikel Terkait

Rekening Gendut Akil dari Sumut?

Pedagang Emas Kian Ketar-ketir

Selalu Menghargai Sesama

Dahlan Iskan & Langkanya Daging Sapi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/