25 C
Medan
Tuesday, May 21, 2024

Cum Laude Melalui Clearing House Model Ketut

INILAH salah satu BUMN yang membuat saya selalu waswas: PT Pos Indonesia. Sebuah perusahaan yang praktis kehilangan seluruh basis bisnisnya: pengiriman surat dan pengiriman uang.

Surat sudah digantikan email atau handphone. Kartu Lebaran sudah digantikan SMS. Pengiriman uang sudah tidak lagi dengan wesel. Sudah digantikan dengan hanya satu klik di jasa perbankan atau satu sentuhan di handphone.

Bisakah Pos Indonesia mentransformasikan dirinya dari ancaman kematian? Berhasilkah direktur utamanya, I Ketut Mardjana, mengomandani perubahan arah yang begitu drastic? Bisakah karyawan yang sudah telanjur mencapai 25.000 orang itu memahami kenyataan baru? Ataukah kapal induk Pos Indonesia itu harus kehilangan arah di lautan luas untuk kemudian tenggelam ke dasarnya? Sungguh misi yang beratnya tak tepermanaikan.

Dan hasilnya adalah: Ketut Mardjana lulus dengan predikat summa cum laude! Mungkin saya berlebihan, tapi saya memang suka terharumelihatorangyangberhasilkeluardarikesulitan.

Apalagi dalam suasana lingkungan birokrasi yang tidak bisa fleksibel seperti BUMN.

Di swasta sering terjadi perusahaan berhasil keluar dari krisis dengan melakukan perubahan yang drastis. Perubahanitubisadilakukandenganlebihmudahkarenafleksibilitas swasta yang hampir tak terbatas.

Sedangkan di BUMN kungkungan peraturannya sering menakutkan. Sungguh tidak mudah melakukan transformasi besar di sebuah BUMN.

Kini masa-masa kritis transformasi itu sudah lewat.

Badai yang menerpa Pos Indonesia sudah berlalu.

Gelombang laut sudah reda. Hujan pun tinggal rintikrintik.

Sesekali saya masih menerima SMS dari lingkungan dalam Pos Indonesia. Tapi, isinya sudah lebih memberikan harapan.

Tentu saya kagum dengan anak buah yang tabah, teguh, dan ngotot seperti Ketut Mardjana itu. Saya melihat kian lama kian banyak Dirut BUMN yang memiliki keteguhan, ketabahan, dan kengototan seperti itu. Praktis kini saya hanya lebih banyak memuji secara terang-terangan daripada memaki di dalam hati.

Kunciutamanya, saat mulaimenakhodaikapalbocorPos Indonesia yang lagi oleng itu, Ketut tidak ikut mabuk. Dia tetapbisaberpikirjernihbagianmanayangharusditangani dulu. “Modernisasi sistem komunikasi,” ujar Ketut yang aslinya orang dengan darah keuangan tersebut.

“Semua kantor pos serentak saya hubungkan dengan satelit. Yang tidak bisa ditangani sistem telekomunikasi biasa saya pasangi visat,” tambahnya.

Memang “awak kapal” Pos Indonesia sempat “berontak”.

Lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Keuangan Jakarta yang meraih doktor ekonomi dari Monash University Melbourne ini dianggap melakukan pemborosan besar-besaran.

Langkahnya dinilai bisa menguras keuangan perusahaan yang sudah mulai mengering. Tapi, Ketut tidak mundur. Dia sudah telanjur basah.

Ketut sudah telanjur memutuskan pensiun dini dari statusnya sebagai pegawai negeri dengan jabatan yang sudah sempat mencapai setingkat direktur di Kemenkeu. “Saya harus berhasil,” katanya. “Bayangkan,” kisah Ketut kepada saya, “dulunya untuk membayar gaji saja harus jualan aset,” ungkapnya. “Orang mau menguangkan wesel tidak ada uangnya,” tambahnya.

Tentu saya bisa membayangkannya. Untung hal itu tidak terjadi di zaman awal-awal saya menjadi wartawan. Ketika saya masih menggantungkan hidup dari penghasilan saya menulis berita di koran-koran. Waktu itu, setiap minggu, saya menerima wesel dari Jakarta. Kadang dari Tempo, kadang dari Kompas. Atau dari media lain.

Setiapkalimenerimaweselpos, sayalangsungnaikbemo ke kantor pos di Kebon Rojo, Surabaya, untuk menguangkannya.

Kadang berboncengan dengan istri karena uangnya akan langsung dipakai membeli beras.

Waktu itu kantor pos masih jaya. Selalu ada uang untuk membayar kiriman wesel untuk saya. Alhamdulillah, Pos Indonesia kembali jaya. Tidak saja sudah menemukan jalanyangbenar, tapijuga sudahmenemukanjalantolyang lebar.

Yang membuat Ketut mendapatkan summa cum laude adalah ini: berhasil mengidentifikasi kekuatan Pos Indonesia yang paling kuat. Apakah itu? “Trust!” katanya. Kepercayaan.

Saya menyetujuinya 100 persen.

Tidak saja menemukan, Ketut juga akan menggunakan kekuatan utamanya itu untuk landasan bisnisnya di masa depan. Memang Pos Indonesia juga memiliki kekuatan utama lainnya: network yang luas.

Tapi, network saja tidak cukup. Gabungan network dan trust itulah yang akan digunakan Ketut untuk masa depan cerah Pos Indonesia.

Bagi saya kombinasi network dan trust tersebut sekaligusmerupakansumbanganbesaruntukIndonesiasebagai negara. Itu akan bisa menutupi salah satu kelemahan republik ini di bidang ekonomi: tidak adanya lembaga yang berfungsi sebagai clearing house. Akibatnya, bisnis e-commerce tidak begitu berjalan di Indonesia.

Orang masih takut membeli barang melalui internet.

Takut nomor kartu kreditnya disalahgunakan orang lain.

Takutpenjualnyatidakbenar-benarmengirimbarangyang dibelinya. Takut uangnya hilang begitu saja.

Ketut akan mengatasi tiga ketakutan tersebut sekaligus.

Pos Indonesia akan membangun mal secara besar-besaran: Plaza Pos Indonesia. Lokasinya di langit internet.

Orang bisa membeli barang di Plaza Pos Indonesia. Melakukan pembayaran secara online. Uangnya ditahan di Pos Indonesia sampai penjualnya benar-benar kirim barangnya.

Kalau barang tidak dikirim, pembeli bisa mengambil kembali uangnya di kantor pos atau via rekening bank.

Sebaliknya, penjual juga merasa aman karena dijamin Pos Indonesia. Inilah bisnis kepercayaan. Pembeli percaya ke kantor pos, penjual percaya ke kantor pos. Ketut tidak akan mengambil jasa di transaksi keuangannya. Pos Indonesia hanya mengharapkan dari jasa pengiriman barangnya.

Kalau program Ketut ini berjalan, inilah momentum besar bagi pengusaha kecil yang serius. Yang mampu membuat produk yang bermutu dengan harga bersaing.

Tidak perlu sewa mal dan tidak perlu takut tertipu pembayarannya!

Bangkitlah Plaza Pos Indonesia! Bangkitlah UKM kita! (*)

INILAH salah satu BUMN yang membuat saya selalu waswas: PT Pos Indonesia. Sebuah perusahaan yang praktis kehilangan seluruh basis bisnisnya: pengiriman surat dan pengiriman uang.

Surat sudah digantikan email atau handphone. Kartu Lebaran sudah digantikan SMS. Pengiriman uang sudah tidak lagi dengan wesel. Sudah digantikan dengan hanya satu klik di jasa perbankan atau satu sentuhan di handphone.

Bisakah Pos Indonesia mentransformasikan dirinya dari ancaman kematian? Berhasilkah direktur utamanya, I Ketut Mardjana, mengomandani perubahan arah yang begitu drastic? Bisakah karyawan yang sudah telanjur mencapai 25.000 orang itu memahami kenyataan baru? Ataukah kapal induk Pos Indonesia itu harus kehilangan arah di lautan luas untuk kemudian tenggelam ke dasarnya? Sungguh misi yang beratnya tak tepermanaikan.

Dan hasilnya adalah: Ketut Mardjana lulus dengan predikat summa cum laude! Mungkin saya berlebihan, tapi saya memang suka terharumelihatorangyangberhasilkeluardarikesulitan.

Apalagi dalam suasana lingkungan birokrasi yang tidak bisa fleksibel seperti BUMN.

Di swasta sering terjadi perusahaan berhasil keluar dari krisis dengan melakukan perubahan yang drastis. Perubahanitubisadilakukandenganlebihmudahkarenafleksibilitas swasta yang hampir tak terbatas.

Sedangkan di BUMN kungkungan peraturannya sering menakutkan. Sungguh tidak mudah melakukan transformasi besar di sebuah BUMN.

Kini masa-masa kritis transformasi itu sudah lewat.

Badai yang menerpa Pos Indonesia sudah berlalu.

Gelombang laut sudah reda. Hujan pun tinggal rintikrintik.

Sesekali saya masih menerima SMS dari lingkungan dalam Pos Indonesia. Tapi, isinya sudah lebih memberikan harapan.

Tentu saya kagum dengan anak buah yang tabah, teguh, dan ngotot seperti Ketut Mardjana itu. Saya melihat kian lama kian banyak Dirut BUMN yang memiliki keteguhan, ketabahan, dan kengototan seperti itu. Praktis kini saya hanya lebih banyak memuji secara terang-terangan daripada memaki di dalam hati.

Kunciutamanya, saat mulaimenakhodaikapalbocorPos Indonesia yang lagi oleng itu, Ketut tidak ikut mabuk. Dia tetapbisaberpikirjernihbagianmanayangharusditangani dulu. “Modernisasi sistem komunikasi,” ujar Ketut yang aslinya orang dengan darah keuangan tersebut.

“Semua kantor pos serentak saya hubungkan dengan satelit. Yang tidak bisa ditangani sistem telekomunikasi biasa saya pasangi visat,” tambahnya.

Memang “awak kapal” Pos Indonesia sempat “berontak”.

Lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Keuangan Jakarta yang meraih doktor ekonomi dari Monash University Melbourne ini dianggap melakukan pemborosan besar-besaran.

Langkahnya dinilai bisa menguras keuangan perusahaan yang sudah mulai mengering. Tapi, Ketut tidak mundur. Dia sudah telanjur basah.

Ketut sudah telanjur memutuskan pensiun dini dari statusnya sebagai pegawai negeri dengan jabatan yang sudah sempat mencapai setingkat direktur di Kemenkeu. “Saya harus berhasil,” katanya. “Bayangkan,” kisah Ketut kepada saya, “dulunya untuk membayar gaji saja harus jualan aset,” ungkapnya. “Orang mau menguangkan wesel tidak ada uangnya,” tambahnya.

Tentu saya bisa membayangkannya. Untung hal itu tidak terjadi di zaman awal-awal saya menjadi wartawan. Ketika saya masih menggantungkan hidup dari penghasilan saya menulis berita di koran-koran. Waktu itu, setiap minggu, saya menerima wesel dari Jakarta. Kadang dari Tempo, kadang dari Kompas. Atau dari media lain.

Setiapkalimenerimaweselpos, sayalangsungnaikbemo ke kantor pos di Kebon Rojo, Surabaya, untuk menguangkannya.

Kadang berboncengan dengan istri karena uangnya akan langsung dipakai membeli beras.

Waktu itu kantor pos masih jaya. Selalu ada uang untuk membayar kiriman wesel untuk saya. Alhamdulillah, Pos Indonesia kembali jaya. Tidak saja sudah menemukan jalanyangbenar, tapijuga sudahmenemukanjalantolyang lebar.

Yang membuat Ketut mendapatkan summa cum laude adalah ini: berhasil mengidentifikasi kekuatan Pos Indonesia yang paling kuat. Apakah itu? “Trust!” katanya. Kepercayaan.

Saya menyetujuinya 100 persen.

Tidak saja menemukan, Ketut juga akan menggunakan kekuatan utamanya itu untuk landasan bisnisnya di masa depan. Memang Pos Indonesia juga memiliki kekuatan utama lainnya: network yang luas.

Tapi, network saja tidak cukup. Gabungan network dan trust itulah yang akan digunakan Ketut untuk masa depan cerah Pos Indonesia.

Bagi saya kombinasi network dan trust tersebut sekaligusmerupakansumbanganbesaruntukIndonesiasebagai negara. Itu akan bisa menutupi salah satu kelemahan republik ini di bidang ekonomi: tidak adanya lembaga yang berfungsi sebagai clearing house. Akibatnya, bisnis e-commerce tidak begitu berjalan di Indonesia.

Orang masih takut membeli barang melalui internet.

Takut nomor kartu kreditnya disalahgunakan orang lain.

Takutpenjualnyatidakbenar-benarmengirimbarangyang dibelinya. Takut uangnya hilang begitu saja.

Ketut akan mengatasi tiga ketakutan tersebut sekaligus.

Pos Indonesia akan membangun mal secara besar-besaran: Plaza Pos Indonesia. Lokasinya di langit internet.

Orang bisa membeli barang di Plaza Pos Indonesia. Melakukan pembayaran secara online. Uangnya ditahan di Pos Indonesia sampai penjualnya benar-benar kirim barangnya.

Kalau barang tidak dikirim, pembeli bisa mengambil kembali uangnya di kantor pos atau via rekening bank.

Sebaliknya, penjual juga merasa aman karena dijamin Pos Indonesia. Inilah bisnis kepercayaan. Pembeli percaya ke kantor pos, penjual percaya ke kantor pos. Ketut tidak akan mengambil jasa di transaksi keuangannya. Pos Indonesia hanya mengharapkan dari jasa pengiriman barangnya.

Kalau program Ketut ini berjalan, inilah momentum besar bagi pengusaha kecil yang serius. Yang mampu membuat produk yang bermutu dengan harga bersaing.

Tidak perlu sewa mal dan tidak perlu takut tertipu pembayarannya!

Bangkitlah Plaza Pos Indonesia! Bangkitlah UKM kita! (*)

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

Terpopuler

Artikel Terbaru

/