Dasar anak cerdas, dia tahu apa yang harus diperbuat di dokter jiwa. Jawaban apa yang harus diberikan. Bahkan, dia bisa menilai dokternya. Berkualitas atau tidak. Karena tidak ’’sembuh’’, Audrey dibawa ke dokter yang lain lagi. Yang berikutnya lagi. Bahkan, Audrey pun bisa membandingkan. Mana dokter yang kurang paham dan mana yang lebih kurang paham. Ketika ada dokter jiwa yang kemudian memberinya obat, Audrey pun kian merasa betapa sulit orang lain memahami dirinya. Bahkan dokter jiwa sekali pun.
Ketika kelas tiga SD, Audrey bikin kejutan lagi. Gak mau sekolah. Terlalu mudah. Orang tuanya mencarikan jalan keluar. Pindah sekolah. Memang dia bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan untuk kelas enam sekali pun. Audrey akhirnya bisa mendapat percepatan. Umur 12 tahun sudah kelas tiga SMA. Kesulitan muncul. Di mana ada universitas yang bisa menerima mahasiswa baru yang umurnya baru 13 tahun.
Dicarilah berbagai informasi. Di dalam negeri. Di luar negeri. Ketemu. Di Amerika Serikat. Di Negara Bagian Virginia. Di Kota Williamburg. Termasuk kota pertama dalam sejarah AS yang didarati bangsa Eropa. Saya tahu kota ini. Saya pernah ke sana.
Audrey tentu harus dites. Lulus. Dalam tes bahasa Inggris, tidak ada masalah. Bahkan, Audrey bisa bahasa Prancis. Rusia. Di William and Marry University ini, Audrey ambil mata kuliah yang wow: fisika murni. Dia pun lulus S-1 fisika murni hanya dalam waktu dua tahun. Dengan tingkat kelulusan summa cum laude pula.
Orang tuanya tentu gembira. Tapi sekaligus sedih. Marah. Sulit. Audrey tetap ingin masuk tentara. Jadi pejuang negara. Seperti pahlawan yang dikenalnya di foto-foto di dinding taman kanak-kanaknya.
Nasihat orang tuanya tidak pernah dia terima. Misalnya, nasihat untuk menyadari bahwa dirinya itu keluarga Tionghoa. Minoritas. Belum tentu bisa diterima baik oleh lingkungan yang luas. Kok mau masuk tentara. Jadi pejuang bangsa.
Sejak kecil Audrey terus dinasihati tentang sulitnya jadi minoritas. Tentang bahayanya menjadi golongan Tionghoa. Risiko bermata sipit. Berkulit kuning. Tentang risiko-risiko pergaulan. Kekerasan. Apalagi dia seorang wanita. Begitu protektif si ibu sampai-sampai saat ada tukang di rumahnya, Audrey tidak boleh keluar kamar.
Begitu ketatnya aturan yang harus dijalani seorang anak kecil bermata sipit membuat Audrey memberontak. Diam-diam. Dipendam. Dalam hati. Dia berusaha menghitamkan kulitnya. Tapi setiap bercermin, dia mengakui matanya masih sipit. Dia bertekad tidak mau berbahasa Mandarin. Dia berhenti kursus Mandarin. Bahkan, dia bertekad tidak akan mau menikah dengan pemuda Tionghoa.
Dia tidak percaya soal perbedaan ras tidak bisa diatasi. Dia percaya pada Pancasila. Yang ajarannya mulia. Tidak membeda-bedakan warga negara. Dia tahu dalam kenyataan bahwa pembedaan itu ada. Justru itu harus diperjuangkan. Agar Pancasila bisa dilaksanakan.
Dia tidak mau kaya raya. Tidak mau jadi pengusaha. Dia juga masih melihat banyak golongan Tionghoa yang tidak melaksanakan Pancasila. Di tengah bangsa yang masih begini miskinnya. Tapi, dia juga kecewa. Bahwa golongan Tionghoa masih diperlakukan tidak adil dan beradab. Oleh golongan lainnya. Dia kecewa dalam hal ini Pancasila baru di bibir saja.
Mengapa saat berumur empat tahun Audrey sudah mempertanyakan arti kehidupan dan ke mana perginya rasa bahagia?