Piening menegaskan, dia buang air kecil di gang sebagai pilihan terakhir. Ia menilai fasilitas untuk perempuan yang tersedia di kota-kota besar Eropa lain lebih baik dibandingkan yang ada di Amsterdam.
“Tidakkah fakta ini memalukan kota tujuan wisata seperti Amsterdam, bahwa perempuan tak memiliki pilihan,” ujar Peining.
“Saya tidak berniat menjadikan persoalan ini sebagai isu feminis yang besar. Tapi di sisi lain membicarakan persoalan ini merupakan hal yang bagus,” ucapnya kepada harian AD.
Pemerintahan di ibu kota Belanda menyediakan 35 toilet untuk laki-laki dan hanya tiga untuk perempuan. Hakim mengakui fakta tersebut. Namun ia menyatakan pemerintah kota tak wajib menyediakannya. Lagipula, sang hakim beralasan, perempuan jarang menggunakan fasilitas tersebut.
“Anda adalah perempuan kedua yang pernah saya lihat di pengadilan akibat kasus ini,” ujarnya.
Pemerintah kota Amsterdam menyebut tidak pernah menerbitkan kebijakan terkait toilet publik.
“Ada lebih banyak toilet untuk laki-laki bukanlah hal yang disengaja,” kata Peter Paul Ekker, juru bicara wakil wali kota.
“Ketersediaan fasilitas itu jelas harus seimbang dan setiap orang pasti sepakat persoalan ini dapat diperbaiki. Namun berapa anggaran yang dibutuhkan, apakah ada lahan kosong, dan apakah itu akan bermanfaat,” ujar Ekker.
Sebuah akun grup di Facebook dibuat untuk mendorong perempuan ikut memprotes ketidakadilan tersebut, pada Jumat (22/09) mendatang. Mereka mempersoalkan pernyataan hakim bahwa perempuan dapat menggunakan urinoir laki-laki.
Lebih dari lima orang hingga saat ini menunjukkan keinginan mereka mengikuti protes tersebut.
Penggagas aksi itu, Cathelijne Hornstra, menyebut dia ingin menunjukkan kepada publik keanehan membungkukkan badan sambil “menjorokkan bokong dalam keadaan setengah mabuk”. (bbc)