26 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Skenario Khayalan

Cerpen  Teguh Bagus Surya

Anton terjaga dari tidurnya. Ia mengerjapkan mata. Ruangan kerjanya terasa seperti berkabut. Anton mengucek matanya, berusaha menyingkirkan kabut tersebut. Alunan musik klasik masih terdengar dari sepasang speaker kecilnya. Sementara, halaman Microsoft Word laptopnya dipenuhi gelembung-gelembung screensaver. Jam dinding telah berdentang tiga kali sejak tengah malam.

Dengan pandangan yang masih buram, ia melihat sesosok wanita di depan pintu. Wanita itu lalu melangkah mendekatinya. Sebatang rokok menyala di tangan kanannya. Kepulan asap keluar dari bibir ranum wanita itu. Aroma parfum Coeur de Fleur segera membelai hidung Anton.

“Hei, Anton. Baru bangun. Kau tertidur lagi ya di meja kerjamu? Dasar tukang begadang !”

Wanita itu berseru lembut. Wajah cantiknya terlihat gersang. Untuk terakhir kali, kepulan asap keluar. Puntung rokok dimasukkannya ke cangkir kopi Anton yang telah kosong di atas meja.
Lamat-lamat Anton mulai bisa melihat sekelilingnya. Ia terhenyak. Sekarang ia baru sadar ada seorang wanita cantik di ruang kerjanya dini hari.
“Maaf, Anda siapa ya? Kenapa tiba-tiba masuk di ruangan saya?” Anton bertanya penasaran.

Wanita itu tertawa kecil. Ia menautkan kedua alisnya lalu memandang Anton dengan tatapan tajam.
“Kau tidak mengenaliku, Anton ?”

Anton mencoba mengingat-ingat kembali. Ia merasa memang belum pernah melihat wanita itu, apalagi mengenalnya. Akan tetapi, entah kenapa perawakan dan pembawaan wanita itu sangat familiar dalam pandangannya.
“Maaf, sepertinya saya belum pernah mengenal Anda. Sebenarnya, Anda siapa dan kenapa masuk sembarangan di ruangan saya?” Tanya Anton berusaha sopan.
Tiba-tiba wanita itu mendekatkan wajahnya persis di depan wajah Anton. Hembusan nafasnya menabrak hidung Anton. Lalu Ia setengah berbisik berkata.

“Kau sungguh tidak mengenalku, Anton ? Coba ingat, kita pernah menghabiskan malam-malam bersama dua tahun yang lalu. Secepat itukah kau melupakanku ?”

Anton sedikit terdesak ke belakang. Ia terlalu terkejut menerima perlakuan berani wanita itu. Rasa khawatir mulai hinggap. Akan jadi apa bila istrinya masuk dan mendapatinya berduaan dengan seorang wanita asing. Anton mencoba memutar balik waktunya. Seingatnya, dua tahun lalu ia sangat sibuk. Siang malam ia berkutat dengan naskah-naskah skenario yang harus segera dirampungkan untuk sebuah sinetron kejar tayang. Istrinya pun kewalahan menghadapi Anton yang lebih sibuk mengurung diri di ruang kerja. Anak-anak Anton juga menjadi jarang dijemput ayahnya dari sekolah. Bagaimana pula Anton bisa bertemu dan menghabiskan malam bersama wanita itu.
Sekalipun pernah bertemu, pasti sulit bagi Anton untuk melupakan wanita secantik itu. Suara rendah, mata bening yang tajam, dan aroma parfum itu adalah kesan tersendiri baginya. Sekarang ia benar-benar yakin tidak pernah bertemu wanita itu.

“Maaf, saya benar-benar tidak kenal Anda. Sekarang, tolong Anda keluar dari sini. Istri saya bisa salah paham.” Anton berusaha menarik wanita itu keluar.
“Hei, jangan terlalu emosional, bung!” Sergah wanita berambut hitam terurai itu. Tangannya menampik tarikan Anton.
“Baik, aku akan menjelaskan siapa aku sebenarnya. Kau masih ingat dengan Diandra Anita ?

Akulah Diandra Anita, tokoh antagonis utama dalam sinetron Kembara Cinta. Aku adalah tokoh yang kau ciptakan dalam skenariomu !”

Anton ternganga. Alisnya terlipat. Diandra yang diciptakannya adalah seorang wanita yang cantik dan menggoda tetapi culas dan angkuh. Ia wanita high class yang haus harta dan cinta. Diandra tak segan-segan melakukan hal ternista sekalipun untuk mencapai keinginannya. Termasuk membunuh. Ingatannya melayang ke dua tahun lalu. Sinetron Kembara Cinta yang skenarionya ia tulis adalah sinetron dengan rating yang tinggi. Bahkan, saking tingginya minat pemirsa, sinetron itu ditayangkan dalam dua sekuel.

“Kau ??? Diandra Anita ? Bagaimana mungkin ? Dia fiksi, karangan, bukan manusia ! Dan Kau ?” Anton mencoba menyadarkan diri dari ketidakmengertian.
“Dan aku sekarang di depanmu. Kau jangan heran. Aku ke sini punya maksud baik.”

Anton mengalami disorientasi realitas. Logikanya berputar. Namun semua terasa begitu nyata.
“Jadi, apa maumu ?” Anton bertanya lirih. Ia berusaha mengendalikan emosi dan pikirannya.
“Nah, akhirnya sekarang kita tidak perlu berbasa-basi lagi.” Diandra tersenyum simpul. “Aku ingin menjadi manusia biasa, yang punya hati, yang bisa bersedih dan berempati, dan yang takut akan dosa. Aku ingin menikmati hidup tanpa dikejar hasrat duniawi. Kau tahu Anton, sebenarnya aku lelah dengan semua ini.”

“Tidak mungkin. Kau sudah tercipta, Diandra. Memang demikianlah dirimu. Jika tidak begitu, penonton tidak akan tertarik. Justru karaktermu itu yang membuat Kembara Cinta mendapat rating yang tinggi.” Anton menimpali.
“Kalau begitu, berhentilah membuat Diandra-Diandra baru. Aku ingin kau lebih realistis. Manusia juga punya nurani.”
“Apa, kau bercanda ? Ini pekerjaanku. Karaktermu menarik minat pemirsa. Mereka puas jika melihat tokoh-tokoh sepertimu kalah.”
“Jangan membual, Anton ! Selama ini kau hanya menjual mimpi dan khayalan. Kau rasuki jiwa masyarakat dengan rasa benci, kemewahan, keserakahan, dan nafsu duniawi. Hidup bukan sekadar perebutan harta warisan dan konspirasi balas dendam. Tak ada manusia yang terlalu jahat dan terlalu baik.”

“Ini hanya hiburan bagi mereka. Tontonan yang sekadar melepas penat dan mengendurkan saraf. Kau tahu, Diandra, manusia suka mengetahui masalah. Apalagi masalah orang lain. Karakter sepertimu membuat masalah di sinetronku menjadi lebih hidup.”

“Begitukah caramu ? Kau bisa ‘kan membuat cerita yang lebih idealis. Memberi jalan keluar, Membangun moral !”

“Kau naif sekali, Diandra. Siapa yang akan menonton sinetron macam itu. Tidak ada orang yang suka digurui. Sponsor pun tak mau membayari sinetron begitu.”
“Kau terlalu berorientasi pada uang, Anton.”

Diandra mengambil sebuah foto yang tergantung di dinding kamar. Foto anak-anak Anton.
“Mereka manis-manis. Berapa umur mereka?”

“Si sulung, Satria, dua belas tahun dan adiknya, Rena, lima tahun.” Jawab Anton.

“Kasihan. Dua belas dan lima tahun kau cekoki dengan uang hasil meracuni pikiran orang.”
“Ini halal, Diandra ! Aku hanya berusaha menghibur masyarakat.” Sergah Anton.
“Tutup matamu, Anton.” Seru Diandra tiba-tiba.
“Apa, untuk apa ?” Anton heran.

“Tutup kubilang !” Diandra memaksa Anton menutup mata.  Anton hanya melihat gelap. Sejurus kemudian Diandra kembali berseru.
“Buka matamu !”

Perlahan Anton membuka mata. Alisnya bertaut. Ia sekarang berada di sebuah kamar yang entah di mana. Di kamar itu, ia melihat sepasang remaja saling berdekapan. Ia tidak mengenal si pemuda, tetapi ia mengenal si gadis. Wajah oval, kulit putih, dan mata coklat bening yang dihias alis lentik itu sangat dikenalinya. Itu semua milik Rena, putrinya. Sejenak Anton kagum, betapa jelita putrinya saat menjelang dewasa. Akan tetapi, sedang apa mereka berdua di kamar ini ?
“Aku mencintaimu, Rena.” Ujar pemuda itu.

“Aku juga.” Balas Rena manja sambil menyandarkan kepalanya di bahu pemuda itu.
“Aku berjanji bulan depan aku akan melamarmu, sayang. Aku tak akan menyakitimu. Kau adalah pelabuhan cinta terakhirku.”
“Benarkah, kau berjanji ?”

“Ya, tentu. Maukah kau menjadi milikku ?”
“Ayah pernah bilang, cinta adalah segalanya. Dengan cinta, hidup menjadi lebih indah. Ayah sering menulis tentang cinta dalam skenario-skenarionya. Bagiku, cinta itu adalah dirimu. Tentu saja aku mau menjadi milikmu.” Ujar Rena dengan sedikit tersipu.

“Rena…” Pemuda itu berbisik lembut di telinga Rena. “Ya…”
Anton tidak dapat lagi menahan emosi ketika melihat yang selanjutnya terjadi. Ia ingin mencegah pemuda itu. Namun, langkahnya terhenti. Tubuhnya bergetar dan berpilin. Lalu, sekelilingnya terlihat berwarna campur aduk. Dunia terasa berputar. Ia melihat wajah Diandra menyeringai di antara mozaik-mozaik tanpa bentuk. Tiba-tiba Anton berada di sebuah pesta. Ia melihat banyak orang berpakaian parlente dan mewah. Prasmanan terhidang di sudut kanan kiri gedung. Di antara puluhan orang, Anton melihat satu wajah yang sangat dikenalinya : Satria. Ia terlihat jauh lebih dewasa sekarang. usianya menjelang tiga puluh.

“Wah, Pak Satria kelihatan makin sukses saja ya sekarang.” Ujar seorang pria sambil menepuk bahu Satria. “Yah, beginilah, Pak.” Satria tersenyum pada pria itu.

“Saya yakin, kalau hanya dari profesi Pak Satria sekarang, bapak tidak akan semakmur ini. Ada bisnis sampingan ya Pak.” Pria yang lain menimpali sambil tertawa.
“Cuma hobi. Lumayan menguntungkan. Ayah saya dulu pernah bilang, cari uang itu yang gampang tapi untungnya besar. Beliau dulu hanya menulis skenario sinetron, tapi kami bisa hidup berkecukupan.” Balas Satria tenang.
Seorang pria datang menghampiri Satria. Ia membisikkan sesuatu. Seketika raut wajah Satria berubah. Teman-teman bicaranya tadi pun heran.
“Bapak-bapak, sebentar ya. Saya ada urusan sebentar.”

Satria melangkah ke pintu masuk. Di sana, tiga orang polisi berseragam lengkap telah menunggunya.
“Pak Satria, sekarang kami minta Anda ikut ke kantor. Anda kami tangkap atas tuduhan pencucian uang, penyelundupan barang antik, dan pembunuhan terhadap seorang wartawan.” Ujar seorang polisi lugas. “Ini surat penangkapan Anda.”
Satria berusaha tenang. Ia berfikir sejenak.

“Maaf, boleh saya minta waktu lima menit ke dalam ? Saya ingin pamit pada istri saya.”

Polisi itu saling berpandangan. Mereka menyetujui. Salah seorang polisi mengikuti Satria dari belakang. Perhatian para hadirin sekarang tertuju pada Satria.
Tiba-tiba, Satria meluncur ke sebuah pintu di sudut gedung. Polisi yang mengawalnya tidak menyangka. Dengan cepat satria melesat keluar. Ia langsung masuk ke mobil dan berusaha melarikan diri.
“Hei..!!! Jangan Lari !” Polisi itu berteriak.

“Satria, jangan lari. Menyerah sajalah !” Anton berteriak. Tak ada yang mendengarnya.
Tiga Polisi itu segera keluar. Mereka mengeluarkan pistol.

“Tang…tang…tang…” Beberapa proyektil menghujam kap dan ban belakang mobil Satria.
“Satria !!!” Anton kembali berteriak.

Mobil Satria oleng, terguling, lalu berputar-putar di sepanjang jalan. Naas, sebuah truk gandeng menubruk mobil itu. Dan…
“Duuarrr….!”

Ledakan itu menghempas tubuh Anton. Ia terbatuk-batuk. Tubuhnya bergetar dan berpilin. Dunia kembali berputar. Ia sekarang berada lagi di ruangannya. Di depannya sudah ada Diandra. Wanita itu melipat tangan di dada dengan santai.
“Ck…ck…ck… Adegan yang dramatis. Seperti yang kau suka, ‘kan ?”
“Hentikan semua ini. Apa maumu sekarang ?

“Berhenti menulis khayalan dan jadikan aku orang biasa.”
“Aku tidak bisa, Diandra. Kau sudah tercipta demikian.”

“Kau lupa satu hal, Anton. Aku paling tidak suka ditolak. Kau tahu apa yang akan aku lakukan.” Ujar Diandra dingin.

Pintu tersentak. Seseorang menyeruak masuk. Istri Anton sedang ditelikung Bondan, kaki tangan Diandra. Sebilah belati melintang di leher istrinya.
Bondan bertubuh kekar. Wajahnya pucat dan kepalanya botak. Ia seorang yang kejam dan tak segan-segan menyakiti orang.
“Mas Anton, tolong mas. Mas…Mas Anton…” Teriak istrinya. “Bondan, bawa dia. Kau tahu apa yang mesti kau lakukan.” Perintah Diandra.
“Jangan !!! Diandra, hentikan dia!” Anton berteriak khawatir. Diandra hanya tertawa.
“Mas Anton… Tolong mas… Mas… Maaasss…!”

“Tidaaak !” Anton berusaha mengejar, tetapi langkahnya terasa berat sekali.
“Mas Anton… Mas, bangun Mas. Mas kenapa ? Istrighfar Mas. Sudah adzan subuh.” Istri Anton mengguncang-guncang bahu suaminya.
Anton tersentak bangun. Ia beristighfar berkali-kali. Peluh membasahi wajah dan tubuhnya.
“Anak-anak di mana ?” Tanya Anton. Nafasnya memburu.

“Di kamar. Mas saja yang bangunkan. Seharian mereka nggak ketemu Mas.”

Anton melihat sekeliling. Alunan musik klasik masih terdengar dari speaker kecilnya. Halaman Microsoft Word laptopnya dipenuhi gelembung. Tidak ada puntung rokok di cangkirnya.
Ia melihat lagi skenario yang ditulisnya tadi malam. Sejenak ia befikir lalu mengatupkan kedua mata. Wajah Diandra dan Bondan yang membayang. Begitu juga dengan suara manja Rena, dan mobil satria yang meledak.

“Do you want to save the changes to ‘Episode110’ ? “
“No.”

Medan, Januari 2013

Cerpen  Teguh Bagus Surya

Anton terjaga dari tidurnya. Ia mengerjapkan mata. Ruangan kerjanya terasa seperti berkabut. Anton mengucek matanya, berusaha menyingkirkan kabut tersebut. Alunan musik klasik masih terdengar dari sepasang speaker kecilnya. Sementara, halaman Microsoft Word laptopnya dipenuhi gelembung-gelembung screensaver. Jam dinding telah berdentang tiga kali sejak tengah malam.

Dengan pandangan yang masih buram, ia melihat sesosok wanita di depan pintu. Wanita itu lalu melangkah mendekatinya. Sebatang rokok menyala di tangan kanannya. Kepulan asap keluar dari bibir ranum wanita itu. Aroma parfum Coeur de Fleur segera membelai hidung Anton.

“Hei, Anton. Baru bangun. Kau tertidur lagi ya di meja kerjamu? Dasar tukang begadang !”

Wanita itu berseru lembut. Wajah cantiknya terlihat gersang. Untuk terakhir kali, kepulan asap keluar. Puntung rokok dimasukkannya ke cangkir kopi Anton yang telah kosong di atas meja.
Lamat-lamat Anton mulai bisa melihat sekelilingnya. Ia terhenyak. Sekarang ia baru sadar ada seorang wanita cantik di ruang kerjanya dini hari.
“Maaf, Anda siapa ya? Kenapa tiba-tiba masuk di ruangan saya?” Anton bertanya penasaran.

Wanita itu tertawa kecil. Ia menautkan kedua alisnya lalu memandang Anton dengan tatapan tajam.
“Kau tidak mengenaliku, Anton ?”

Anton mencoba mengingat-ingat kembali. Ia merasa memang belum pernah melihat wanita itu, apalagi mengenalnya. Akan tetapi, entah kenapa perawakan dan pembawaan wanita itu sangat familiar dalam pandangannya.
“Maaf, sepertinya saya belum pernah mengenal Anda. Sebenarnya, Anda siapa dan kenapa masuk sembarangan di ruangan saya?” Tanya Anton berusaha sopan.
Tiba-tiba wanita itu mendekatkan wajahnya persis di depan wajah Anton. Hembusan nafasnya menabrak hidung Anton. Lalu Ia setengah berbisik berkata.

“Kau sungguh tidak mengenalku, Anton ? Coba ingat, kita pernah menghabiskan malam-malam bersama dua tahun yang lalu. Secepat itukah kau melupakanku ?”

Anton sedikit terdesak ke belakang. Ia terlalu terkejut menerima perlakuan berani wanita itu. Rasa khawatir mulai hinggap. Akan jadi apa bila istrinya masuk dan mendapatinya berduaan dengan seorang wanita asing. Anton mencoba memutar balik waktunya. Seingatnya, dua tahun lalu ia sangat sibuk. Siang malam ia berkutat dengan naskah-naskah skenario yang harus segera dirampungkan untuk sebuah sinetron kejar tayang. Istrinya pun kewalahan menghadapi Anton yang lebih sibuk mengurung diri di ruang kerja. Anak-anak Anton juga menjadi jarang dijemput ayahnya dari sekolah. Bagaimana pula Anton bisa bertemu dan menghabiskan malam bersama wanita itu.
Sekalipun pernah bertemu, pasti sulit bagi Anton untuk melupakan wanita secantik itu. Suara rendah, mata bening yang tajam, dan aroma parfum itu adalah kesan tersendiri baginya. Sekarang ia benar-benar yakin tidak pernah bertemu wanita itu.

“Maaf, saya benar-benar tidak kenal Anda. Sekarang, tolong Anda keluar dari sini. Istri saya bisa salah paham.” Anton berusaha menarik wanita itu keluar.
“Hei, jangan terlalu emosional, bung!” Sergah wanita berambut hitam terurai itu. Tangannya menampik tarikan Anton.
“Baik, aku akan menjelaskan siapa aku sebenarnya. Kau masih ingat dengan Diandra Anita ?

Akulah Diandra Anita, tokoh antagonis utama dalam sinetron Kembara Cinta. Aku adalah tokoh yang kau ciptakan dalam skenariomu !”

Anton ternganga. Alisnya terlipat. Diandra yang diciptakannya adalah seorang wanita yang cantik dan menggoda tetapi culas dan angkuh. Ia wanita high class yang haus harta dan cinta. Diandra tak segan-segan melakukan hal ternista sekalipun untuk mencapai keinginannya. Termasuk membunuh. Ingatannya melayang ke dua tahun lalu. Sinetron Kembara Cinta yang skenarionya ia tulis adalah sinetron dengan rating yang tinggi. Bahkan, saking tingginya minat pemirsa, sinetron itu ditayangkan dalam dua sekuel.

“Kau ??? Diandra Anita ? Bagaimana mungkin ? Dia fiksi, karangan, bukan manusia ! Dan Kau ?” Anton mencoba menyadarkan diri dari ketidakmengertian.
“Dan aku sekarang di depanmu. Kau jangan heran. Aku ke sini punya maksud baik.”

Anton mengalami disorientasi realitas. Logikanya berputar. Namun semua terasa begitu nyata.
“Jadi, apa maumu ?” Anton bertanya lirih. Ia berusaha mengendalikan emosi dan pikirannya.
“Nah, akhirnya sekarang kita tidak perlu berbasa-basi lagi.” Diandra tersenyum simpul. “Aku ingin menjadi manusia biasa, yang punya hati, yang bisa bersedih dan berempati, dan yang takut akan dosa. Aku ingin menikmati hidup tanpa dikejar hasrat duniawi. Kau tahu Anton, sebenarnya aku lelah dengan semua ini.”

“Tidak mungkin. Kau sudah tercipta, Diandra. Memang demikianlah dirimu. Jika tidak begitu, penonton tidak akan tertarik. Justru karaktermu itu yang membuat Kembara Cinta mendapat rating yang tinggi.” Anton menimpali.
“Kalau begitu, berhentilah membuat Diandra-Diandra baru. Aku ingin kau lebih realistis. Manusia juga punya nurani.”
“Apa, kau bercanda ? Ini pekerjaanku. Karaktermu menarik minat pemirsa. Mereka puas jika melihat tokoh-tokoh sepertimu kalah.”
“Jangan membual, Anton ! Selama ini kau hanya menjual mimpi dan khayalan. Kau rasuki jiwa masyarakat dengan rasa benci, kemewahan, keserakahan, dan nafsu duniawi. Hidup bukan sekadar perebutan harta warisan dan konspirasi balas dendam. Tak ada manusia yang terlalu jahat dan terlalu baik.”

“Ini hanya hiburan bagi mereka. Tontonan yang sekadar melepas penat dan mengendurkan saraf. Kau tahu, Diandra, manusia suka mengetahui masalah. Apalagi masalah orang lain. Karakter sepertimu membuat masalah di sinetronku menjadi lebih hidup.”

“Begitukah caramu ? Kau bisa ‘kan membuat cerita yang lebih idealis. Memberi jalan keluar, Membangun moral !”

“Kau naif sekali, Diandra. Siapa yang akan menonton sinetron macam itu. Tidak ada orang yang suka digurui. Sponsor pun tak mau membayari sinetron begitu.”
“Kau terlalu berorientasi pada uang, Anton.”

Diandra mengambil sebuah foto yang tergantung di dinding kamar. Foto anak-anak Anton.
“Mereka manis-manis. Berapa umur mereka?”

“Si sulung, Satria, dua belas tahun dan adiknya, Rena, lima tahun.” Jawab Anton.

“Kasihan. Dua belas dan lima tahun kau cekoki dengan uang hasil meracuni pikiran orang.”
“Ini halal, Diandra ! Aku hanya berusaha menghibur masyarakat.” Sergah Anton.
“Tutup matamu, Anton.” Seru Diandra tiba-tiba.
“Apa, untuk apa ?” Anton heran.

“Tutup kubilang !” Diandra memaksa Anton menutup mata.  Anton hanya melihat gelap. Sejurus kemudian Diandra kembali berseru.
“Buka matamu !”

Perlahan Anton membuka mata. Alisnya bertaut. Ia sekarang berada di sebuah kamar yang entah di mana. Di kamar itu, ia melihat sepasang remaja saling berdekapan. Ia tidak mengenal si pemuda, tetapi ia mengenal si gadis. Wajah oval, kulit putih, dan mata coklat bening yang dihias alis lentik itu sangat dikenalinya. Itu semua milik Rena, putrinya. Sejenak Anton kagum, betapa jelita putrinya saat menjelang dewasa. Akan tetapi, sedang apa mereka berdua di kamar ini ?
“Aku mencintaimu, Rena.” Ujar pemuda itu.

“Aku juga.” Balas Rena manja sambil menyandarkan kepalanya di bahu pemuda itu.
“Aku berjanji bulan depan aku akan melamarmu, sayang. Aku tak akan menyakitimu. Kau adalah pelabuhan cinta terakhirku.”
“Benarkah, kau berjanji ?”

“Ya, tentu. Maukah kau menjadi milikku ?”
“Ayah pernah bilang, cinta adalah segalanya. Dengan cinta, hidup menjadi lebih indah. Ayah sering menulis tentang cinta dalam skenario-skenarionya. Bagiku, cinta itu adalah dirimu. Tentu saja aku mau menjadi milikmu.” Ujar Rena dengan sedikit tersipu.

“Rena…” Pemuda itu berbisik lembut di telinga Rena. “Ya…”
Anton tidak dapat lagi menahan emosi ketika melihat yang selanjutnya terjadi. Ia ingin mencegah pemuda itu. Namun, langkahnya terhenti. Tubuhnya bergetar dan berpilin. Lalu, sekelilingnya terlihat berwarna campur aduk. Dunia terasa berputar. Ia melihat wajah Diandra menyeringai di antara mozaik-mozaik tanpa bentuk. Tiba-tiba Anton berada di sebuah pesta. Ia melihat banyak orang berpakaian parlente dan mewah. Prasmanan terhidang di sudut kanan kiri gedung. Di antara puluhan orang, Anton melihat satu wajah yang sangat dikenalinya : Satria. Ia terlihat jauh lebih dewasa sekarang. usianya menjelang tiga puluh.

“Wah, Pak Satria kelihatan makin sukses saja ya sekarang.” Ujar seorang pria sambil menepuk bahu Satria. “Yah, beginilah, Pak.” Satria tersenyum pada pria itu.

“Saya yakin, kalau hanya dari profesi Pak Satria sekarang, bapak tidak akan semakmur ini. Ada bisnis sampingan ya Pak.” Pria yang lain menimpali sambil tertawa.
“Cuma hobi. Lumayan menguntungkan. Ayah saya dulu pernah bilang, cari uang itu yang gampang tapi untungnya besar. Beliau dulu hanya menulis skenario sinetron, tapi kami bisa hidup berkecukupan.” Balas Satria tenang.
Seorang pria datang menghampiri Satria. Ia membisikkan sesuatu. Seketika raut wajah Satria berubah. Teman-teman bicaranya tadi pun heran.
“Bapak-bapak, sebentar ya. Saya ada urusan sebentar.”

Satria melangkah ke pintu masuk. Di sana, tiga orang polisi berseragam lengkap telah menunggunya.
“Pak Satria, sekarang kami minta Anda ikut ke kantor. Anda kami tangkap atas tuduhan pencucian uang, penyelundupan barang antik, dan pembunuhan terhadap seorang wartawan.” Ujar seorang polisi lugas. “Ini surat penangkapan Anda.”
Satria berusaha tenang. Ia berfikir sejenak.

“Maaf, boleh saya minta waktu lima menit ke dalam ? Saya ingin pamit pada istri saya.”

Polisi itu saling berpandangan. Mereka menyetujui. Salah seorang polisi mengikuti Satria dari belakang. Perhatian para hadirin sekarang tertuju pada Satria.
Tiba-tiba, Satria meluncur ke sebuah pintu di sudut gedung. Polisi yang mengawalnya tidak menyangka. Dengan cepat satria melesat keluar. Ia langsung masuk ke mobil dan berusaha melarikan diri.
“Hei..!!! Jangan Lari !” Polisi itu berteriak.

“Satria, jangan lari. Menyerah sajalah !” Anton berteriak. Tak ada yang mendengarnya.
Tiga Polisi itu segera keluar. Mereka mengeluarkan pistol.

“Tang…tang…tang…” Beberapa proyektil menghujam kap dan ban belakang mobil Satria.
“Satria !!!” Anton kembali berteriak.

Mobil Satria oleng, terguling, lalu berputar-putar di sepanjang jalan. Naas, sebuah truk gandeng menubruk mobil itu. Dan…
“Duuarrr….!”

Ledakan itu menghempas tubuh Anton. Ia terbatuk-batuk. Tubuhnya bergetar dan berpilin. Dunia kembali berputar. Ia sekarang berada lagi di ruangannya. Di depannya sudah ada Diandra. Wanita itu melipat tangan di dada dengan santai.
“Ck…ck…ck… Adegan yang dramatis. Seperti yang kau suka, ‘kan ?”
“Hentikan semua ini. Apa maumu sekarang ?

“Berhenti menulis khayalan dan jadikan aku orang biasa.”
“Aku tidak bisa, Diandra. Kau sudah tercipta demikian.”

“Kau lupa satu hal, Anton. Aku paling tidak suka ditolak. Kau tahu apa yang akan aku lakukan.” Ujar Diandra dingin.

Pintu tersentak. Seseorang menyeruak masuk. Istri Anton sedang ditelikung Bondan, kaki tangan Diandra. Sebilah belati melintang di leher istrinya.
Bondan bertubuh kekar. Wajahnya pucat dan kepalanya botak. Ia seorang yang kejam dan tak segan-segan menyakiti orang.
“Mas Anton, tolong mas. Mas…Mas Anton…” Teriak istrinya. “Bondan, bawa dia. Kau tahu apa yang mesti kau lakukan.” Perintah Diandra.
“Jangan !!! Diandra, hentikan dia!” Anton berteriak khawatir. Diandra hanya tertawa.
“Mas Anton… Tolong mas… Mas… Maaasss…!”

“Tidaaak !” Anton berusaha mengejar, tetapi langkahnya terasa berat sekali.
“Mas Anton… Mas, bangun Mas. Mas kenapa ? Istrighfar Mas. Sudah adzan subuh.” Istri Anton mengguncang-guncang bahu suaminya.
Anton tersentak bangun. Ia beristighfar berkali-kali. Peluh membasahi wajah dan tubuhnya.
“Anak-anak di mana ?” Tanya Anton. Nafasnya memburu.

“Di kamar. Mas saja yang bangunkan. Seharian mereka nggak ketemu Mas.”

Anton melihat sekeliling. Alunan musik klasik masih terdengar dari speaker kecilnya. Halaman Microsoft Word laptopnya dipenuhi gelembung. Tidak ada puntung rokok di cangkirnya.
Ia melihat lagi skenario yang ditulisnya tadi malam. Sejenak ia befikir lalu mengatupkan kedua mata. Wajah Diandra dan Bondan yang membayang. Begitu juga dengan suara manja Rena, dan mobil satria yang meledak.

“Do you want to save the changes to ‘Episode110’ ? “
“No.”

Medan, Januari 2013

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/