25 C
Medan
Tuesday, May 21, 2024

Dari Dianggap Gila hingga Meraih Kalpataru

Tak mudah menyulap Taman Eden 100 menjadi objek wisata. Butuh kerja keras dan pengorbanan yang dilakukan oleh Marandus Sirait (46). Mulai dari menjual barang-barang berharga hingga depresi. Tapi dari itu semua, dia berhasil meraih penghargaan Kalpataru.

Syahbani, Medan

GERBANG: Susana  Gapura Taman Eden 100 saat difoto belum lama ini.//Syahbani/sumut pos
GERBANG: Susana di Gapura Taman Eden 100 saat difoto belum lama ini.//Syahbani/sumut pos

Marandus Sirait merupakan anak pertaman dari Leas Sirait. Saat ditemui, Marandus tampak bangga menceritakan pengalaman saat menerima Kalpataru dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Bogor pada 2005 lalu. Saat itu, Marandus meraih kalpataru marintis. Hal itu diberikan padanya karena dianggap sebagai tokoh yang menyulap bukit dan tanaman di kawasan tersebut menjadi berarti. “Yang masuk nominasi ada 20 orang, kemudian diseleksi menjadi 10 orang. Yang mendapatkan penghargaan dari Sumut, Jambi, Sumbawa, dan Bali,” ucap suami dari  Ernalem Yohana Sitepu (40).

Dalam perjuangannya membangun Taman Eden 100, Marandus mengaku sempat sakit. Konsentrasinya habis memikirkan rencana membangun taman tersebut, pun soal sosialisai dengan penduduk setempat. Belum lagi pada saat itu keluarga belum memahami konsep yang dibuatnya. Bahkan, sebagian dari masyarakat di sekitar menganngapnya gila. “Karena saat itu saya sudah memikirkan 20 tahun kedepan,” ucapnya.

Untuk menyukseskan ide ‘gilanya’ itu, tidak hanya dibutuhkan ide, tenaga, dan waktu saja. Marandus juga harus mati-matian dari sisi materi. Dia pun menjual satu per satu alat-alat musik kesayangannya seperti gitar, drum, piano dan perangkat lainnya. “Selain itu saya juga menjual kulkas, televisi, tempat masak dan lainnya. Ini semata-mata untuk Taman Eden lebih baik lagi,” ucapnya.

Pekerjaan ini di mulainya sejak 1999 sampai 2002. Artinya, sudah puluhan juta dia habiskan untuk mempercantik tanah warisan orangtuanya itu. “Setelah itu, mulai 2003 pengunjung mulai banyak mendatangi taman ini,” ucapnya.

Sejatinya, menurut Marandus, dia sama sekali tidak menghincar kalpataru. Dalam otaknya yang ada hanya untuk memperindah tanah seluas 40 hektare tersebut. “Ada warga Medan yang telah mendapatkan Kalpataru pada 2003 menyarankan agar saya juga ikut serta,” ucapnya.

Tanpa pikir panjang, Marandus ikut seleksi pada 2004. Ternyata tidak sia-sia, dia terpilih. Dari 20 orang nominasi hingga dikerucutkan menjadi 10 orang, dia terus terpilih. “Singkat cerita kita diberitahukan bahwasanya telah lulus,” ucapnya.

Maka, dalam kondisi sakit, Marandus pun menerima kalpataru pada 2005. “Sejak itu lah wisatawan semakin kenal dengan Taman Eden,” ucapnya.
Selain wisatawan lokal, wisatawan mancanegara juga banyak yang datang ke taman ini. Selain untuk menikmati keindahan alam, beberapa dari mereka melakukan riset. Taman Eden 100 pun sering mendapat bantuan tak mengikat dari pemerintah dan pihak swasta. “Ada yang memberi pembibitan, sarana prasarana seperti pondokan, aula dan tempat jualan aksesoris. Ada juga yang memberikan alat musik karena taman ini juga berbasis musik,” ucapnya.
Seiring permbangan, Taman Eden 100 akhirnya menetapkan diri sebagai agrowisata rohani yang berbasis lingkungan. Pasalnya di tempat ini ada gua, taman Tarzan air terjun dan ada Gunung Pangulubao.

Ke depannya, kata Marandus, akan dibuat gua-gua rohani, outbond, panjat tebing, penginapan alami, perpustakaan, ternak hewan, jual sovenir berbasis alam, dan kolam pancing. “Kita berharap ada kerja sama baik dengan swasta maupun pemerintah karena untuk membangun Taman Eden 100 ini menjadi jauh lebih baik dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Taman ini sangat prospek menjadi destinasi andalan di Tobasa (Toba Samosir) dan hal itu bisa mendatangkan wisatawan lokal maupun mancanegara dalam jumlah yang banyak,” pungkasnya. (*)

Tak mudah menyulap Taman Eden 100 menjadi objek wisata. Butuh kerja keras dan pengorbanan yang dilakukan oleh Marandus Sirait (46). Mulai dari menjual barang-barang berharga hingga depresi. Tapi dari itu semua, dia berhasil meraih penghargaan Kalpataru.

Syahbani, Medan

GERBANG: Susana  Gapura Taman Eden 100 saat difoto belum lama ini.//Syahbani/sumut pos
GERBANG: Susana di Gapura Taman Eden 100 saat difoto belum lama ini.//Syahbani/sumut pos

Marandus Sirait merupakan anak pertaman dari Leas Sirait. Saat ditemui, Marandus tampak bangga menceritakan pengalaman saat menerima Kalpataru dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Bogor pada 2005 lalu. Saat itu, Marandus meraih kalpataru marintis. Hal itu diberikan padanya karena dianggap sebagai tokoh yang menyulap bukit dan tanaman di kawasan tersebut menjadi berarti. “Yang masuk nominasi ada 20 orang, kemudian diseleksi menjadi 10 orang. Yang mendapatkan penghargaan dari Sumut, Jambi, Sumbawa, dan Bali,” ucap suami dari  Ernalem Yohana Sitepu (40).

Dalam perjuangannya membangun Taman Eden 100, Marandus mengaku sempat sakit. Konsentrasinya habis memikirkan rencana membangun taman tersebut, pun soal sosialisai dengan penduduk setempat. Belum lagi pada saat itu keluarga belum memahami konsep yang dibuatnya. Bahkan, sebagian dari masyarakat di sekitar menganngapnya gila. “Karena saat itu saya sudah memikirkan 20 tahun kedepan,” ucapnya.

Untuk menyukseskan ide ‘gilanya’ itu, tidak hanya dibutuhkan ide, tenaga, dan waktu saja. Marandus juga harus mati-matian dari sisi materi. Dia pun menjual satu per satu alat-alat musik kesayangannya seperti gitar, drum, piano dan perangkat lainnya. “Selain itu saya juga menjual kulkas, televisi, tempat masak dan lainnya. Ini semata-mata untuk Taman Eden lebih baik lagi,” ucapnya.

Pekerjaan ini di mulainya sejak 1999 sampai 2002. Artinya, sudah puluhan juta dia habiskan untuk mempercantik tanah warisan orangtuanya itu. “Setelah itu, mulai 2003 pengunjung mulai banyak mendatangi taman ini,” ucapnya.

Sejatinya, menurut Marandus, dia sama sekali tidak menghincar kalpataru. Dalam otaknya yang ada hanya untuk memperindah tanah seluas 40 hektare tersebut. “Ada warga Medan yang telah mendapatkan Kalpataru pada 2003 menyarankan agar saya juga ikut serta,” ucapnya.

Tanpa pikir panjang, Marandus ikut seleksi pada 2004. Ternyata tidak sia-sia, dia terpilih. Dari 20 orang nominasi hingga dikerucutkan menjadi 10 orang, dia terus terpilih. “Singkat cerita kita diberitahukan bahwasanya telah lulus,” ucapnya.

Maka, dalam kondisi sakit, Marandus pun menerima kalpataru pada 2005. “Sejak itu lah wisatawan semakin kenal dengan Taman Eden,” ucapnya.
Selain wisatawan lokal, wisatawan mancanegara juga banyak yang datang ke taman ini. Selain untuk menikmati keindahan alam, beberapa dari mereka melakukan riset. Taman Eden 100 pun sering mendapat bantuan tak mengikat dari pemerintah dan pihak swasta. “Ada yang memberi pembibitan, sarana prasarana seperti pondokan, aula dan tempat jualan aksesoris. Ada juga yang memberikan alat musik karena taman ini juga berbasis musik,” ucapnya.
Seiring permbangan, Taman Eden 100 akhirnya menetapkan diri sebagai agrowisata rohani yang berbasis lingkungan. Pasalnya di tempat ini ada gua, taman Tarzan air terjun dan ada Gunung Pangulubao.

Ke depannya, kata Marandus, akan dibuat gua-gua rohani, outbond, panjat tebing, penginapan alami, perpustakaan, ternak hewan, jual sovenir berbasis alam, dan kolam pancing. “Kita berharap ada kerja sama baik dengan swasta maupun pemerintah karena untuk membangun Taman Eden 100 ini menjadi jauh lebih baik dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Taman ini sangat prospek menjadi destinasi andalan di Tobasa (Toba Samosir) dan hal itu bisa mendatangkan wisatawan lokal maupun mancanegara dalam jumlah yang banyak,” pungkasnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/