Makin banyak orang yang berolahraga. Alangkah menyenangkannya! Pertanyaan selanjutnya: Untuk apa? Senang rasanya. Melihat makin banyak orang berolahraga. Semakin banyak yang bersepeda, semakin menggila yang berlari, dan terus ada yang main sepak bola, bulu tangkis, basket, dan lain sebagainya.
Senang rasanya. Melihat orang makin bergerak. Makin memikirkan kesehatan, makin memikirkan kehidupan yang lebih aktif.
Saya jadi ingat, ada kenalan saya yang ukuran badannya plus plus plus, sampai-sampai keluarganya khawatir. Sang istri bahkan sampai bilang: “Pa, kamu kelak ingin melihat cucu atau tidak?”
Kita harus ingat, negara kita ini sebenarnya tidak pernah membudayakan berolahraga secara serius.
Di sekolah, olahraga hanya seminggu sekali. Plus mungkin ekstrakurikuler. Beda dengan di Amerika, misalnya, yang kalau SMA pelajaran olahraga itu setiap hari, plus latihan tim olahraga (basket, voli, atletik, dll) saat sore sepulang sekolah.
Mens sana in corpore sano itu sepertinya hanya sebatas teori.
Ya, di kantor-kantor digalakkan senam bersama. Ya, banyak yang senamnya serius dan melelahkan. Tapi, kebanyakan masih sangat-sangat ringan, masih tidak sebanding dengan banyaknya jumlah makanan yang disantap saat sarapan atau setelah senam.
Lalu, ada yang rutin bikin jalan sehat.
Nah, buat saya, ini agak bikin geleng-geleng.
Jalan Sehat? Itu berarti, saking jarangnya kita berjalan, sampai harus dibuatkan kegiatan berjalan bersama.
Dan yang sering saya lihat, jalannya ya pelan-pelan. Tidak cukup untuk menaikkan detak jantung dan membakar kalori dengan cukup. Sekali lagi, kalori yang dibakar saat berjalan mungkin masih kalah dengan kalori yang didapat dari konsumsi yang disediakan!
Lalu, ada Fun Bike. Ayo jujur, mau ikut bersepedanya atau mengejar undiannya? Toh, bersepedanya sangat pendek jaraknya, dengan kecepatan sangat pelan. Sementara itu hadiahnya superheboh, ratusan buah dengan puncak mobil atau rumah.
***
Kalau dipikir-pikir, memang tidak ada insentif yang konkret untuk berolahraga lebih ‘benar’. Lihat saja sekeliling, fasilitas olahraga sangat minimal. Waktu saya kecil, masih ada banyak lapangan untuk main sepak bola. Sekarang? Anak saya bingung harus main bola di mana di dekat rumah.
Mau jadi atlet? Lebih repot lagi.
Bila tidak ada fasilitas, bagaimana mau berlatih dengan benar? Bila tidak ada insentif kompetisi yang jelas dan rutin, buat apa berlatih habis-habisan?
Buntutnya berputar lagi. Kalau tidak ada yang mau jadi atlet, dan tidak ada kompetisi yang jelas dan rutin, maka tidak ada yang bisa ‘menghidupi’ fasilitas-fasilitas yang dibangun. Tapi, soal atlet dan olahraga nasional, ini topik yang berbeda lagi.
Kembali ke urusan olahraga sehari-hari, senaaang rasanya melihat masyarakat yang makin aktif.
Banyak teman yang kini sangat aktif berolahraga. Entah itu bersepeda seperti saya, lari, atau nge-gym. Andai lutut kanan saya bukan hasil rekonstruksi (cedera sepak bola lama), mungkin saya juga ikut lari. Wong dulu waktu SMA di Amrik ikut tim cross country dan atletik (kebagian tugas lari jarak jauh).
Paling senang melihat mereka yang memang serius berolahraga. Tidak perlu sampai ekstrem, tapi berani menguji batas kemampuan sendiri.
Hari ini lari 3 km, bulan depan 5 km, setelah itu 10 km, lalu half marathon, dan akhirnya full marathon ikut even-even seru.
Berolahraga, sekarang, resmi menjadi tren. Hanya, selalu ada dua sisi koin. Ketika ada orang yang serius berolahraga demi kesehatan dan performance, ada pula yang berolahraga untuk sekadar eksis, untuk bahan foto dan Instagram.
Beberapa waktu lalu saya ngopi di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta. Kebetulan, kalau malam, banyak komunitas lari yang berkumpul di sana. Beberapa tampak seperti pelari serius. Beberapa lagi tampak seperti lari ‘ikut-ikutan’. Lebih heboh foto-fotonya, pemanasan tidak jelas, lalu lari. Padahal, mereka ini bajunya lebih ngejreng, sepatunya lebih top-end.
Lalu, Minggu pagi di Jakarta, saya juga sering melihat orang-orang berbaju olahraga nongkrong di kafe-kafe. Saya sebut ‘berbaju olahraga’ karena kayaknya kok enggak olahraga, ya? Tidak kelihatan capek, tidak kelihatan berkeringat. Duduk lama ngobrol sambil terus merokok.
Mobilnya pun diparkir di dekat kafe itu. Jadi, datang ke sana naik mobil, lalu entah olahraga apa, lantas naik mobil lagi pulang.
Banyak pula ibu-ibu (atau mungkin belum menikah?) berdandan olahraga heboh. Baju matching atas sampai bawah, tapi lebih banyak ngobrolnya. Baru berkeringat atau kepanasan sedikit saja sudah heboh tidak keruan.
Dan segala ‘olahraga’ itu lantas dibuktikan; dengan foto-foto di medsos. Lihat saja sekeliling, banyak kan yang begitu? Atau, jangan-jangan Anda juga begitu?
Tentu saja, sudah jadi hak mereka untuk serius berolahraga atau tidak. Bahwa mereka sudah mau keluar pagi-pagi, mencoba beraktivitas dan bergerak, itu sudah lebih baik daripada tidak sama sekali.
Tapi, itu kembali membuktikan bahwa negara kita ini memang penuh dengan ironi. Bahwa kelihatan berolahraga bisa lebih penting daripada berolahraga beneran. Bahwa kelihatan berbuat bisa lebih penting daripada berbuat beneran. Bahwa kelihatan bekerja bisa lebih penting daripada bekerja beneran! (*)