30 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Perempuan, oh, Perempuan

Azrul Ananda

Sebentar lagi Hari Kartini. Harinya perempuan. Hari yang semangatnya mengobarkan semangat perempuan untuk mengejar kesetaraan dengan laki-laki.

Dan dalam konteks dunia modern, di mana laki-laki dan perempuan mungkin sudah dipersepsikan setara, mungkin Hari Kartini perlu repositioning sebagai hari untuk mengobarkan semangat perempuan untuk terus tancap gas, meninggalkan laki-laki dalam berbagai bidang dan kemampuan.

Why not?
Di dunia modern, isunya kan bukan lagi laki-laki atau perempuan. Melainkan siapa yang lebih unggul, siapa yang lebih kompetitif, siapa yang lebih lihai dalam meraih sesuatu. Laki-laki atau perempuan tidak lagi relevan.

Karena laki-laki versus perempuan bukan lagi isu besar untuk dibicarakan (kuno sekali Anda kalau masih membicarakan itu), maka pembicaraan gender yang tidak akan pernah habis pada dasarnya hanya tinggal satu: Yaitu bagaimana laki-laki memahami perempuan dan vice versa (asumsi: hubungan konvensional).

Karena mungkin inilah yang sebenarnya memutar roda dunia, bukan? Bagaimana laki-laki mendapatkan perempuan dan vice versa (asumsi: hubungan konvensional).

Sejak masih sangat muda dan mulai punya rasa ketertarikan, sampai masa aktif mencari pasangan, sampai masa bereksperimen gonta-ganti pasangan, sampai masa kelewatan untuk mencari pasangan, dan sampai masa setelah mendapatkan pasangan. Semua sama: Bagaimana laki-laki memahami perempuan dan vice versa (asumsi: hubungan konvensional).

Saat ini banyak orang mengaku saling memahami dengan pasangannya. Padahal, mungkin istilah yang paling akurat bukanlah ”memahami”, melainkan ”menoleransi” (bener nggak?).

***
Saya akan melanjutkan tulisan ini dari sudut pandang laki-laki, jadi yang perempuan tolong jangan emosi saat membacanya. Tolong memahami dulu, minimal menoleransi, sudut pandang saya ini he he he…
Saya mencoba memahami, mengapa perempuan kalau mengemudikan kendaraan kadang bikin sekelilingnya deg-degan.

Rasanya saya juga tidak sendirian. Pernah ada teman saya yang memasang status hapenya begini: ”Ya Tuhan, tolong lindungilah perjalanan saya hari ini. Lindungilah saya dari ibu-ibu pengemudi yang lampu seinnya menyala sebelah kiri, tapi beloknya ke kanan…”
Dalam hal ini, saya selalu berusaha untuk tidak menstereotipekan semua perempuan begitu. Karena faktanya tetap ada banyak perempuan yang pengemudi hebat. Lebih hebat dari saya.

Saya juga mencoba memahami, kenapa perempuan kalau belanja bisa betah makan waktu begitu lama. Ada mal begitu besar, baru masuk sudah langsung tertahan sekian jam di satu toko, lalu tertahan sekian jam lagi di toko berikutnya, dan begitu seterusnya.

Kalau sedang ada banyak waktu tidak masalah. Kalau hanya punya waktu dua atau tiga jam, maka perempuan lantas mengomel, karena tidak sempat mengelilingi semua bagian mal.

Kebetulan, saya laki-laki yang sangat percaya duit tidak akan dibawa mati, jadi suka belanja. Kalau sedang keliling ke kota atau negara lain, saya sangat suka pergi ke mal. Dan sebagai lulusan marketing, saya menganggap kegiatan belanja saya itu juga merangkap sebagai aktivitas ”riset buyer behavior” wkwkwkwk…
Karena waktu saya selalu tidak banyak, maka saya punya trik supaya tetap bisa belanja seru, tapi bisa melihat seluruh bagian mal.

Begitu masuk mal yang baru itu, saya tidak akan masuk ke toko apa pun. Saya akan langsung jalan keliling ke semua pelosoknya. Selalu menahan godaan untuk mampir masuk ke toko yang kelihatan menarik.

Setelah selesai ”skimming” mal itu, baru saya memutuskan, mau masuk ke toko yang mana saja.

Ketika masuk ke toko pilihan, saya juga tidak langsung berhenti di barang pertama yang memikat. Saya keliling lagi ke seluruh bagian toko itu, melihat sekilas semua barang yang ditawarkan.

Setelah selesai skimming isi toko itu, baru saya memutuskan mau meluangkan waktu terbanyak di barang yang mana. Baru kemudian memutuskan beli atau tidak.

Karena saya juga suka pergi belanja ke supermarket, saya menerapkan strategi yang sama kalau belanja grocery. Masuk ke supermarket, saya mendorong troli melewati semua lorong secara urut dari ujung satu ke ujung yang lain. Hanya mengambil barang yang memang sudah pasti dibutuhkan untuk dibeli. Baru setelah selesai skimming semua lorong, kembali ke lorong-lorong tertentu untuk memperhatikan produk yang mungkin menarik untuk ikut dibeli.

Kalau belum pernah mencoba teknik ”skimming” ini, silakan mencoba. Siapa tahu berguna. Kalau merasa tidak, ya sudah, tiap orang beda-beda wkwkwkwk…
Tentu saja, kalau di balik, ada banyak hal yang dilakukan laki-laki, yang membuat perempuan heran. Dan kira-kira tingkat ”kesepeleannya” sama.

Saya bukan perempuan, jadi mohon maaf, tidak ada contohnya di sini. Lebih lanjut lagi, apa pun masalah pemahaman/toleransi ini, sifatnya saya rasa akan abadi. Dari zaman dahulu kala, sampai zaman Star Wars jadi kenyataan kelak (kalau belum kiamat), problem saling memahami antara laki-laki dan perempuan rasanya akan terus berlanjut.

Karena solusinya rasanya bukan lewat diajari, lewat diomongkan, atau ditulis dan dibaca. Melainkan harus dijalani masing-masing individu (very personal experience).

Benarkah begitu? Entahlah. Saya tidak mau sok tahu. Saya bukan pakarnya wkwkwk…

***
Menulis tema laki-laki vs perempuan ini, saya jadi ingat materi-materi stand-up comedy atau film komedi yang membahasnya.

Jerry Seinfeld pernah menyampaikan satu kata yang bisa menyimpulkan apa itu yang dipikirkan laki-laki. Yaitu ”Nothing”. Alias laki-laki sebenarnya tidak mikir! Wkwkwk…
Kalau Chris Rock omongannya agak lebih tegas, walau mungkin lebih vulgar. Saya mencoba ”melunakkannya” dalam tulisan ini. Chris Rock bilang: ”Laki-laki hanya menginginkan tiga hal dari perempuan: Beri aku makan. Beri aku (kenikmatan). Jangan mengomel.”
Wkwkwkwk…
Tolong jangan tersinggung, konteksnya kan humor.

Kalau film, silakan mencari film tahun 2000, judulnya What Women Want. Di film itu, Nick Marshall (diperankan Mel Gibson) merupakan laki-laki yang ”sangat laki-laki”. Pada suatu saat, pekerjaannya di dunia creative advertising menuntutnya untuk lebih bisa menjual produk ke perempuan. Kalau tidak berhasil, dia terancam digeser perempuan (Darcy McGuire, diperankan Helen Hunt).

Berusaha memahami perempuan, Marshall melakukan banyak hal, tapi menemui jalan buntu. Ketika buntu itu, dia mendapatkan berkah. Dia tersetrum saat mandi. Ketika sadarkan diri, dia diberi kemampuan bisa mendengarkan isi pikiran perempuan.

Mampu mendengarkan ternyata belum tentu mampu memahami. Marshall butuh waktu untuk belajar meresapi semua yang dia dengarkan, sehingga kemudian menjadi sebuah pemahaman.

Dengan kemampuan memahami itu, dia akhirnya tidak hanya bisa menyelamatkan pekerjaan, tapi juga menemukan cinta…
Anyway, terima kasih sudah menoleransi tulisan ini. Selamat Hari Kartini. Hidup perempuan! Hidup laki-laki! Selamat terus bertarung secara abadi. Bukan lagi untuk mencapai kesetaraan, melainkan untuk saling memahami dan menoleransi.

Wkwkwkwk… Happy Wednesday! (*)

Azrul Ananda

Sebentar lagi Hari Kartini. Harinya perempuan. Hari yang semangatnya mengobarkan semangat perempuan untuk mengejar kesetaraan dengan laki-laki.

Dan dalam konteks dunia modern, di mana laki-laki dan perempuan mungkin sudah dipersepsikan setara, mungkin Hari Kartini perlu repositioning sebagai hari untuk mengobarkan semangat perempuan untuk terus tancap gas, meninggalkan laki-laki dalam berbagai bidang dan kemampuan.

Why not?
Di dunia modern, isunya kan bukan lagi laki-laki atau perempuan. Melainkan siapa yang lebih unggul, siapa yang lebih kompetitif, siapa yang lebih lihai dalam meraih sesuatu. Laki-laki atau perempuan tidak lagi relevan.

Karena laki-laki versus perempuan bukan lagi isu besar untuk dibicarakan (kuno sekali Anda kalau masih membicarakan itu), maka pembicaraan gender yang tidak akan pernah habis pada dasarnya hanya tinggal satu: Yaitu bagaimana laki-laki memahami perempuan dan vice versa (asumsi: hubungan konvensional).

Karena mungkin inilah yang sebenarnya memutar roda dunia, bukan? Bagaimana laki-laki mendapatkan perempuan dan vice versa (asumsi: hubungan konvensional).

Sejak masih sangat muda dan mulai punya rasa ketertarikan, sampai masa aktif mencari pasangan, sampai masa bereksperimen gonta-ganti pasangan, sampai masa kelewatan untuk mencari pasangan, dan sampai masa setelah mendapatkan pasangan. Semua sama: Bagaimana laki-laki memahami perempuan dan vice versa (asumsi: hubungan konvensional).

Saat ini banyak orang mengaku saling memahami dengan pasangannya. Padahal, mungkin istilah yang paling akurat bukanlah ”memahami”, melainkan ”menoleransi” (bener nggak?).

***
Saya akan melanjutkan tulisan ini dari sudut pandang laki-laki, jadi yang perempuan tolong jangan emosi saat membacanya. Tolong memahami dulu, minimal menoleransi, sudut pandang saya ini he he he…
Saya mencoba memahami, mengapa perempuan kalau mengemudikan kendaraan kadang bikin sekelilingnya deg-degan.

Rasanya saya juga tidak sendirian. Pernah ada teman saya yang memasang status hapenya begini: ”Ya Tuhan, tolong lindungilah perjalanan saya hari ini. Lindungilah saya dari ibu-ibu pengemudi yang lampu seinnya menyala sebelah kiri, tapi beloknya ke kanan…”
Dalam hal ini, saya selalu berusaha untuk tidak menstereotipekan semua perempuan begitu. Karena faktanya tetap ada banyak perempuan yang pengemudi hebat. Lebih hebat dari saya.

Saya juga mencoba memahami, kenapa perempuan kalau belanja bisa betah makan waktu begitu lama. Ada mal begitu besar, baru masuk sudah langsung tertahan sekian jam di satu toko, lalu tertahan sekian jam lagi di toko berikutnya, dan begitu seterusnya.

Kalau sedang ada banyak waktu tidak masalah. Kalau hanya punya waktu dua atau tiga jam, maka perempuan lantas mengomel, karena tidak sempat mengelilingi semua bagian mal.

Kebetulan, saya laki-laki yang sangat percaya duit tidak akan dibawa mati, jadi suka belanja. Kalau sedang keliling ke kota atau negara lain, saya sangat suka pergi ke mal. Dan sebagai lulusan marketing, saya menganggap kegiatan belanja saya itu juga merangkap sebagai aktivitas ”riset buyer behavior” wkwkwkwk…
Karena waktu saya selalu tidak banyak, maka saya punya trik supaya tetap bisa belanja seru, tapi bisa melihat seluruh bagian mal.

Begitu masuk mal yang baru itu, saya tidak akan masuk ke toko apa pun. Saya akan langsung jalan keliling ke semua pelosoknya. Selalu menahan godaan untuk mampir masuk ke toko yang kelihatan menarik.

Setelah selesai ”skimming” mal itu, baru saya memutuskan, mau masuk ke toko yang mana saja.

Ketika masuk ke toko pilihan, saya juga tidak langsung berhenti di barang pertama yang memikat. Saya keliling lagi ke seluruh bagian toko itu, melihat sekilas semua barang yang ditawarkan.

Setelah selesai skimming isi toko itu, baru saya memutuskan mau meluangkan waktu terbanyak di barang yang mana. Baru kemudian memutuskan beli atau tidak.

Karena saya juga suka pergi belanja ke supermarket, saya menerapkan strategi yang sama kalau belanja grocery. Masuk ke supermarket, saya mendorong troli melewati semua lorong secara urut dari ujung satu ke ujung yang lain. Hanya mengambil barang yang memang sudah pasti dibutuhkan untuk dibeli. Baru setelah selesai skimming semua lorong, kembali ke lorong-lorong tertentu untuk memperhatikan produk yang mungkin menarik untuk ikut dibeli.

Kalau belum pernah mencoba teknik ”skimming” ini, silakan mencoba. Siapa tahu berguna. Kalau merasa tidak, ya sudah, tiap orang beda-beda wkwkwkwk…
Tentu saja, kalau di balik, ada banyak hal yang dilakukan laki-laki, yang membuat perempuan heran. Dan kira-kira tingkat ”kesepeleannya” sama.

Saya bukan perempuan, jadi mohon maaf, tidak ada contohnya di sini. Lebih lanjut lagi, apa pun masalah pemahaman/toleransi ini, sifatnya saya rasa akan abadi. Dari zaman dahulu kala, sampai zaman Star Wars jadi kenyataan kelak (kalau belum kiamat), problem saling memahami antara laki-laki dan perempuan rasanya akan terus berlanjut.

Karena solusinya rasanya bukan lewat diajari, lewat diomongkan, atau ditulis dan dibaca. Melainkan harus dijalani masing-masing individu (very personal experience).

Benarkah begitu? Entahlah. Saya tidak mau sok tahu. Saya bukan pakarnya wkwkwk…

***
Menulis tema laki-laki vs perempuan ini, saya jadi ingat materi-materi stand-up comedy atau film komedi yang membahasnya.

Jerry Seinfeld pernah menyampaikan satu kata yang bisa menyimpulkan apa itu yang dipikirkan laki-laki. Yaitu ”Nothing”. Alias laki-laki sebenarnya tidak mikir! Wkwkwk…
Kalau Chris Rock omongannya agak lebih tegas, walau mungkin lebih vulgar. Saya mencoba ”melunakkannya” dalam tulisan ini. Chris Rock bilang: ”Laki-laki hanya menginginkan tiga hal dari perempuan: Beri aku makan. Beri aku (kenikmatan). Jangan mengomel.”
Wkwkwkwk…
Tolong jangan tersinggung, konteksnya kan humor.

Kalau film, silakan mencari film tahun 2000, judulnya What Women Want. Di film itu, Nick Marshall (diperankan Mel Gibson) merupakan laki-laki yang ”sangat laki-laki”. Pada suatu saat, pekerjaannya di dunia creative advertising menuntutnya untuk lebih bisa menjual produk ke perempuan. Kalau tidak berhasil, dia terancam digeser perempuan (Darcy McGuire, diperankan Helen Hunt).

Berusaha memahami perempuan, Marshall melakukan banyak hal, tapi menemui jalan buntu. Ketika buntu itu, dia mendapatkan berkah. Dia tersetrum saat mandi. Ketika sadarkan diri, dia diberi kemampuan bisa mendengarkan isi pikiran perempuan.

Mampu mendengarkan ternyata belum tentu mampu memahami. Marshall butuh waktu untuk belajar meresapi semua yang dia dengarkan, sehingga kemudian menjadi sebuah pemahaman.

Dengan kemampuan memahami itu, dia akhirnya tidak hanya bisa menyelamatkan pekerjaan, tapi juga menemukan cinta…
Anyway, terima kasih sudah menoleransi tulisan ini. Selamat Hari Kartini. Hidup perempuan! Hidup laki-laki! Selamat terus bertarung secara abadi. Bukan lagi untuk mencapai kesetaraan, melainkan untuk saling memahami dan menoleransi.

Wkwkwkwk… Happy Wednesday! (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/