28 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Pilkada Siantar Makin Tak Jelas

sengketa pilkada

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Para calon kepala daerah yang akan bertarung dalam pemilihan Walikota Siantar, disarankan tetap melakukan kampanye, meski ada larangan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tengah penundaan pelaksanaan pemungutan suara yang hingga saat ini belum juga memperoleh kejelasan.

“Saya bilang kampanye saja. Kalau nanti diberi sanksi oleh penyelenggara, ya berdebat saja. Atas dasar apa, karena substansi (larangan penundaan,red) dengan aturan yang ada enggak ketemu,” ujar Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jerry Sumampouw saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (17/4).

Menurut Jeirry, sikap menghentikan seluruh proses begitu saja, sangat merugikan masyarakat termasuk para calon kepala daerah. Sementara pengadilan juga tak memberi kepastian berapa lama putusan dapat diterbitkan. “Saya selalu kritik, dalam pilkada berhenti begitu saja calon tak diberi kewenangan melakukan sesuatu selama ini. Masa calon diam-diam saja selama berbulan-bulan. Ini kan sudah lima bulan penundaan pilkada Siantar,” ujarnya.

Jeirry mengemukakan pendapatnya, karena kalau ditanya kapan pilkada Siantar dapat dilaksanakan, sampai saat ini tidak ada yang tahu. Semua pihak masih menunggu putusan pengadilan. Namun sayangnya, pengadilan tak didisain punya perasaan dan ketergesaan agar pilkada segera dilaksanakan. Pengadilan kata Jeirry, selama ini menangani kasus pilkada sama dengan kasus-kasus biasa lainnya. Jadi terkesan tidak peduli akibat yang ditimbulkan dari berlama-lamanya proses yang terjadi.

“Pengadilan tidak mau peduli apakah pilkada berjalan atau tidak, bagaimana suasana hati masyarakat akibat pilkada terktung-katung. Itu tidak jadi pertimbangan pengadilan. Jadi menurut saya, menyerahkan pilkada pada lembaga yang enggak punya pertimbangan dan pikiran untuk pilkada berlangsung dengan baik, sangat rawan. Karena pilkada akan menjadi ketidakpastian,” ujarnya.

Karena itu Jeirry menyarankan dalam revisi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, penting ada penegasan. Antara lain, partai bersengketa sebaiknya tak diperbolehkan mengusung calon. Langkah tersebut dapat dijadikan sebagai hukuman. sehingga partai dapat segera melakukan rekonsiliasi.

“Hal lain, penting diatur pengajuan sengketa, apakah masih diperlukan pengajuan ke PTUN. Jadi perlu ada klausul dalam undang-undang pilkada, menyatakan tidak perlu ke PTUN. Intinya, harus dipikirkan bagaimana itu diselesaikan. Karena memberi ruang ke PTUN punya risiko seperti yang sekarang ini dialami,” ujar Jeirry. Selain itu, dalam revisi juga perlu ditegaskan peran KPU untuk meluruskan, kalau ada putusan pengadilan yang bertentangan dengan UU Pilkada. “Jadi dia diberi kewenangan untuk memutuskan. Nah dalam kasus ini punya kewenangan meluruskannya lewat UU Pilkada yang akan direvisi,” ujar Jeirry.(gir/deo)

sengketa pilkada

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Para calon kepala daerah yang akan bertarung dalam pemilihan Walikota Siantar, disarankan tetap melakukan kampanye, meski ada larangan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tengah penundaan pelaksanaan pemungutan suara yang hingga saat ini belum juga memperoleh kejelasan.

“Saya bilang kampanye saja. Kalau nanti diberi sanksi oleh penyelenggara, ya berdebat saja. Atas dasar apa, karena substansi (larangan penundaan,red) dengan aturan yang ada enggak ketemu,” ujar Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jerry Sumampouw saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (17/4).

Menurut Jeirry, sikap menghentikan seluruh proses begitu saja, sangat merugikan masyarakat termasuk para calon kepala daerah. Sementara pengadilan juga tak memberi kepastian berapa lama putusan dapat diterbitkan. “Saya selalu kritik, dalam pilkada berhenti begitu saja calon tak diberi kewenangan melakukan sesuatu selama ini. Masa calon diam-diam saja selama berbulan-bulan. Ini kan sudah lima bulan penundaan pilkada Siantar,” ujarnya.

Jeirry mengemukakan pendapatnya, karena kalau ditanya kapan pilkada Siantar dapat dilaksanakan, sampai saat ini tidak ada yang tahu. Semua pihak masih menunggu putusan pengadilan. Namun sayangnya, pengadilan tak didisain punya perasaan dan ketergesaan agar pilkada segera dilaksanakan. Pengadilan kata Jeirry, selama ini menangani kasus pilkada sama dengan kasus-kasus biasa lainnya. Jadi terkesan tidak peduli akibat yang ditimbulkan dari berlama-lamanya proses yang terjadi.

“Pengadilan tidak mau peduli apakah pilkada berjalan atau tidak, bagaimana suasana hati masyarakat akibat pilkada terktung-katung. Itu tidak jadi pertimbangan pengadilan. Jadi menurut saya, menyerahkan pilkada pada lembaga yang enggak punya pertimbangan dan pikiran untuk pilkada berlangsung dengan baik, sangat rawan. Karena pilkada akan menjadi ketidakpastian,” ujarnya.

Karena itu Jeirry menyarankan dalam revisi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, penting ada penegasan. Antara lain, partai bersengketa sebaiknya tak diperbolehkan mengusung calon. Langkah tersebut dapat dijadikan sebagai hukuman. sehingga partai dapat segera melakukan rekonsiliasi.

“Hal lain, penting diatur pengajuan sengketa, apakah masih diperlukan pengajuan ke PTUN. Jadi perlu ada klausul dalam undang-undang pilkada, menyatakan tidak perlu ke PTUN. Intinya, harus dipikirkan bagaimana itu diselesaikan. Karena memberi ruang ke PTUN punya risiko seperti yang sekarang ini dialami,” ujar Jeirry. Selain itu, dalam revisi juga perlu ditegaskan peran KPU untuk meluruskan, kalau ada putusan pengadilan yang bertentangan dengan UU Pilkada. “Jadi dia diberi kewenangan untuk memutuskan. Nah dalam kasus ini punya kewenangan meluruskannya lewat UU Pilkada yang akan direvisi,” ujar Jeirry.(gir/deo)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/