30 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Kampung Baru, Rumah Baru, Hidup Baru, Mejuah-juah…

Foto: Ramadhan Batubara/Sumut Pos Siosar, kampung baru bagi korban erupsi Gunung Sinabung, di Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, Sumut. Suhu udara mencapai 18 derajat C.
Foto: Ramadhan Batubara/Sumut Pos
Siosar, kampung baru bagi korban erupsi Gunung Sinabung, di Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, Sumut. Suhu udara mencapai 18 derajat C.

Biasanya jalan pulang itu lebih dekat, tapi kembali ke Desa Kacinambun dari Desa Lau Riman ternyata beda. Mungkin karena Kacinambun bukanlah tujuan sebab masih ada Siosar yang mau disasar.

Ramadhan Batubara, Karo

Tiba lagi di jambur di Kacinambun. Di sebuah simpang empat. Tujuannya, sesuai keterangan pasangan suami istri di ladang jeruk di Lau Riman, belok kiri. Sumut Pos lebih memilih untuk tidak segera berbelok. Mampir di warung pinggir simpang empat itu sembari bertanya kepada seorang bapak yang berada di sana. Keterangan darinya sama dengan warga Lau Riman tadi. Syukurlah, kali ini keyakinan tak tersasar menuju Siosar makin kuat.

Lepas simpang empat Kacinambun disambut jalanan menurun. Cantik. Di sisi kiri semacam kolam terpampang. Di sisi kanan kamar mandi masal terpajang. Air mengalir. Setelah itu, jalan kembali mendaki. Berkerikil dan berpecahan batu. Ban terasa tak lengket. Selip sedikit bisa langsung terseret. Jalanan tetap berliku dan curam.

Puncaknya, beberapa kilometer kemudian, Puncak 2.000. Dari kawasan ini, kabarnya, kalau udara terang dapat melihat Berastagi. Jadi, bisa bayangkan ketinggiannya? Masalahnya, ketinggiannya itulah yang membuat jalanan cukup berat. Sudut dakian ke puncak itu bisa dikatakan lebih dari 45 derajat. Cukup curam. Ditambah lagi jalanan belum aspal. Kerikil dan pecahan batu membuat laju sepeda motor tertahan. Yang duduk diboncengan terpaksa turun; berjalan hingga Puncak 2.000. Hal ini mau tak mau dilakukan karena risiko terperosok sangat besar.

Beruntung, begitu tiba di puncak, pemandangan cukup elok. Meski sedikit tertutup kabut, terlihat hamparan luas berbukitan. Pinus-pinus menari. Angin pun terasa menyapu raga. Di tengah puncak yang datar tersebut ada bangunan besar bercat putih. Bangunan itu bergaya kolonial, dua lantai, dan di bagian depannya ada tulisan cukup besar: Posko penanggulangan Bencana Erupsi Sinabung Kodam I/BB. Dan, gedung itu kosong. Tak ada aktivitas. Tak ada manusia.

Di tempat itu Sumut Pos memilih istirahat. Siosar tinggal beberapa kilometer lagi, paling tidak dua atau tiga kilometer lagi. Nasi bungkus yang telah disiapkan dari Berastagi dibuka. Saat itu, jam di tangan sudah menunjukkan pukul setengah empat petang.

Pukul empat, laju sepeda motor kembali digeber. Jalanan sedikit agak lebih baik – mungkin karena sudah menjalani medan Puncak 2.000 yang berat. Setelah beberapa kelokan, mulai tampak aktivitas beberapa orang pekerja. Mereka menebang pinus-pinus. Ada beberapa truk terparkir. Mobil itu mengangkut kayu-kayu pinus. Beberapa alat berat juga terlihat, mengangkat pinus-pinus.

Dan, tonggak kayu yang dijadikan gerbang terlihat. Dicat hitam. Selamat datang di Siosar. Lelah menjalani jalan berat sepanjang 8-10 kilometer dari Kacinambun pun terbayar. Lewat gerbang itu, ada semacam tugu tapi terbuat dari kayu yang ditata. Lumayan indah. Apalagi ada tulisan: Selamat Datang. Perkampungan Siosar. Perkampungan Baru. Rumah Baru. Hidup Baru. Mejuah-juah.

Ya, Siosar. Ratusan rumah bercat hijau terlihat jelas. Berbaris rapi. Layaknya komplek perumahan di kota-kota, kampung itu terlihat begitu mencolok. Sementara sisi lainnya, tampak tanah merah terbentang, batang-batang pinus yang telah ditebang, dan kabut yang mulai pekat. Mendadak baru terasa, dingin cukup mengigit tulang.

Foto: Ramadhan Batubara/Sumut Pos Siosar, kampung baru bagi korban erupsi Gunung Sinabung, di Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, Sumut. Suhu udara mencapai 18 derajat C.
Foto: Ramadhan Batubara/Sumut Pos
Siosar, kampung baru bagi korban erupsi Gunung Sinabung, di Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, Sumut. Suhu udara mencapai 18 derajat C.

Biasanya jalan pulang itu lebih dekat, tapi kembali ke Desa Kacinambun dari Desa Lau Riman ternyata beda. Mungkin karena Kacinambun bukanlah tujuan sebab masih ada Siosar yang mau disasar.

Ramadhan Batubara, Karo

Tiba lagi di jambur di Kacinambun. Di sebuah simpang empat. Tujuannya, sesuai keterangan pasangan suami istri di ladang jeruk di Lau Riman, belok kiri. Sumut Pos lebih memilih untuk tidak segera berbelok. Mampir di warung pinggir simpang empat itu sembari bertanya kepada seorang bapak yang berada di sana. Keterangan darinya sama dengan warga Lau Riman tadi. Syukurlah, kali ini keyakinan tak tersasar menuju Siosar makin kuat.

Lepas simpang empat Kacinambun disambut jalanan menurun. Cantik. Di sisi kiri semacam kolam terpampang. Di sisi kanan kamar mandi masal terpajang. Air mengalir. Setelah itu, jalan kembali mendaki. Berkerikil dan berpecahan batu. Ban terasa tak lengket. Selip sedikit bisa langsung terseret. Jalanan tetap berliku dan curam.

Puncaknya, beberapa kilometer kemudian, Puncak 2.000. Dari kawasan ini, kabarnya, kalau udara terang dapat melihat Berastagi. Jadi, bisa bayangkan ketinggiannya? Masalahnya, ketinggiannya itulah yang membuat jalanan cukup berat. Sudut dakian ke puncak itu bisa dikatakan lebih dari 45 derajat. Cukup curam. Ditambah lagi jalanan belum aspal. Kerikil dan pecahan batu membuat laju sepeda motor tertahan. Yang duduk diboncengan terpaksa turun; berjalan hingga Puncak 2.000. Hal ini mau tak mau dilakukan karena risiko terperosok sangat besar.

Beruntung, begitu tiba di puncak, pemandangan cukup elok. Meski sedikit tertutup kabut, terlihat hamparan luas berbukitan. Pinus-pinus menari. Angin pun terasa menyapu raga. Di tengah puncak yang datar tersebut ada bangunan besar bercat putih. Bangunan itu bergaya kolonial, dua lantai, dan di bagian depannya ada tulisan cukup besar: Posko penanggulangan Bencana Erupsi Sinabung Kodam I/BB. Dan, gedung itu kosong. Tak ada aktivitas. Tak ada manusia.

Di tempat itu Sumut Pos memilih istirahat. Siosar tinggal beberapa kilometer lagi, paling tidak dua atau tiga kilometer lagi. Nasi bungkus yang telah disiapkan dari Berastagi dibuka. Saat itu, jam di tangan sudah menunjukkan pukul setengah empat petang.

Pukul empat, laju sepeda motor kembali digeber. Jalanan sedikit agak lebih baik – mungkin karena sudah menjalani medan Puncak 2.000 yang berat. Setelah beberapa kelokan, mulai tampak aktivitas beberapa orang pekerja. Mereka menebang pinus-pinus. Ada beberapa truk terparkir. Mobil itu mengangkut kayu-kayu pinus. Beberapa alat berat juga terlihat, mengangkat pinus-pinus.

Dan, tonggak kayu yang dijadikan gerbang terlihat. Dicat hitam. Selamat datang di Siosar. Lelah menjalani jalan berat sepanjang 8-10 kilometer dari Kacinambun pun terbayar. Lewat gerbang itu, ada semacam tugu tapi terbuat dari kayu yang ditata. Lumayan indah. Apalagi ada tulisan: Selamat Datang. Perkampungan Siosar. Perkampungan Baru. Rumah Baru. Hidup Baru. Mejuah-juah.

Ya, Siosar. Ratusan rumah bercat hijau terlihat jelas. Berbaris rapi. Layaknya komplek perumahan di kota-kota, kampung itu terlihat begitu mencolok. Sementara sisi lainnya, tampak tanah merah terbentang, batang-batang pinus yang telah ditebang, dan kabut yang mulai pekat. Mendadak baru terasa, dingin cukup mengigit tulang.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/