26 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Pelayan Level Read and React

Azrul Ananda

Dalam perjalanan hidup saya, ada satu hal yang sekarang sangat saya syukuri. Yaitu pernah menjadi pelayan di restoran.

***

Gara-gara krismon waktu kuliah di Amerika dulu, saya terpaksa jadi pelayan restoran. Dengan upah minimum per jam, yang kalau ditotal sebulan tidak cukup untuk membayar biaya apartemen, tapi cukup untuk mengurangi beban kiriman dari orang tua.

Siapa bilang jadi pelayan itu gampang? Dulu harus ada tahapannya, tidak boleh langsung bertemu customer. Harus cuci piring dulu, bersih-bersih meja dan lantai dulu, tukang angkut makanan dan minuman dulu, membantu koki dulu, baru level tertinggi: Melayani customer.

Dasar waktu itu masih bau kencur, sempat heran juga kenapa begitu njelimet tahapannya. Kan ”cuman” jadi pelayan restoran?

Ternyata itu ada logikanya.

Bagaimana bisa dengan baik melayani customer kalau tidak hafal seluk beluk restoran dan menu-menunya. Plus, bagaimana bisa memaksimalkan revenue dan keuntungan restoran kalau tidak hafal seluk beluk menu restoran dan mampu menebak/membaca keinginan customer.

Jadi pelayan ternyata benar-benar level tertinggi, ujung tombak pemasukan restoran.

Belajar dari pengalaman kuliah itu, plus sering makan di luar (he he he), saya menyimpulkan ada tiga level kemampuan pelayan.

Pertama, level tanpa sistem. Kedua, level robot. Dan ketiga, meminjam istilah basket: Level read and react.

Level pertama biasanya di tempat-tempat tradisional. Saya pernah memutuskan untuk tidak makan selama tiga bulan di sebuah depot soto dan nasi goreng karena level tanpa sistem itu.

Memang kasihan sih, pelayannya pasti tidak pernah mendapat pelajaran customer service, dan pemilik depotnya mungkin juga tidak pernah belajar bagaimana melayani secara sistematis.

Azrul Ananda

Dalam perjalanan hidup saya, ada satu hal yang sekarang sangat saya syukuri. Yaitu pernah menjadi pelayan di restoran.

***

Gara-gara krismon waktu kuliah di Amerika dulu, saya terpaksa jadi pelayan restoran. Dengan upah minimum per jam, yang kalau ditotal sebulan tidak cukup untuk membayar biaya apartemen, tapi cukup untuk mengurangi beban kiriman dari orang tua.

Siapa bilang jadi pelayan itu gampang? Dulu harus ada tahapannya, tidak boleh langsung bertemu customer. Harus cuci piring dulu, bersih-bersih meja dan lantai dulu, tukang angkut makanan dan minuman dulu, membantu koki dulu, baru level tertinggi: Melayani customer.

Dasar waktu itu masih bau kencur, sempat heran juga kenapa begitu njelimet tahapannya. Kan ”cuman” jadi pelayan restoran?

Ternyata itu ada logikanya.

Bagaimana bisa dengan baik melayani customer kalau tidak hafal seluk beluk restoran dan menu-menunya. Plus, bagaimana bisa memaksimalkan revenue dan keuntungan restoran kalau tidak hafal seluk beluk menu restoran dan mampu menebak/membaca keinginan customer.

Jadi pelayan ternyata benar-benar level tertinggi, ujung tombak pemasukan restoran.

Belajar dari pengalaman kuliah itu, plus sering makan di luar (he he he), saya menyimpulkan ada tiga level kemampuan pelayan.

Pertama, level tanpa sistem. Kedua, level robot. Dan ketiga, meminjam istilah basket: Level read and react.

Level pertama biasanya di tempat-tempat tradisional. Saya pernah memutuskan untuk tidak makan selama tiga bulan di sebuah depot soto dan nasi goreng karena level tanpa sistem itu.

Memang kasihan sih, pelayannya pasti tidak pernah mendapat pelajaran customer service, dan pemilik depotnya mungkin juga tidak pernah belajar bagaimana melayani secara sistematis.

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/