25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Anak-anaknya Trauma, Meiliana Sering Menangis

TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
SIDANG: Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Meliana mengikuti persidangan di Pengadilan Negeri Medan, Selasa (24/7) lalu.

MEDAN – Meiliana mengaku tertekan batin. Ibu empat anak itu juga sering menangis di Rutan Tanjunggusta, Medan. Meiliana masih syok dengan bola liar yang menimpanya. Ia tidak merasa pernah menista agama lain.

“Kondisi ibu Meiliana baik-baik saja. Hanya saja dia masih sering menangis. Secara fisik dia sehat-sehat, tapi batinnya masih tertekan,” ujar Penasehat Hukum Meiliana, Ranto Sibarani kepada Sumut Pos, Jumat (24/8).

Meiliana kerap menangis mengingat kasus yang menimpa dirinya, yang berbuntut kerusuhan SARA di Tanjungbalai, kota tempatnya tinggal. Apalagi gara-gara kasus itu, anak-anaknya hingga saat ini masih trauma. “Anak-anaknya masih trauma, apalagi melihat orang banyak. Dan sekarang, dia harus berpisah dengan suami dan anak-anaknya,” tambah Ranto, yang dihubungi pascavonis penjara 18 bulan untuk Meiliana, oleh Hakim PN Medan, Selasa (21/8) lalu.

Meiliana dipenjara karena kalimatnya kepada tetangga, yang meminta agar volume toa masjid di samping rumahnya dikecilkan, berujung menjadi kerusuhan massa di Tanjungbalai  tahun 2016 lalu. Ia sendiri kemudian dijerat dengan pasal penistaan agama, dan divonis 18 bulan.

Semenjak kasus itu, keluarga Meliana pindah dari Tanjungbalai. Karena rumahnya telah dirusak oleh massa. Mereka juga takut dengan ancaman keselamatan. “Meiliana harus berhenti dari pekerjaannya. Anak-anaknya berhenti dari sekolah karena harus pindah,” ungkap Ranto.

Kasus Meiliana menjadi perhatian publik, pascavonis 18 bulan yang diterimanya. Tokoh-tokoh nasional ikut memberi tanggapan. Wapres Jusuf Kalla misalnya, menyebut Mieliana tidak sepatutnya dihukum. Karena permintaannya mengecilkan volume toa tidak termasuk penistaan agama.

Sejumlah dukungan dari publik juga mengalir kepada Meiliana. Wanita berusia 44 tahun itu menurut Ranto, berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah memperhatikan kasusnya.

“Dukungan dari masyarakat sedikit menguatkan batin Meiliana. Dia berharap agar kasus seperti ini tidak terulang lagi di masa mendatang. Cukup dia menjadi korban,” kata Ranto.

Menurutnya, Meiliana masih gamang dengan kasusnya. “Apalagi sampai vonis dijatuhkan, bukti Ibu Meiliana pernah menista agama, tidak pernah dihadirkan di persidangan,” kata Ranto.

Tim Kuasa Hukum Meiliana menegaskan akan melakukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi. “Kita masih menunggu salinan putusan kemarin. Katanya Senin. Kita lihat saja nanti,” paparnya.

Ranto mengucapkan terima kasih atas dukungan terhadap Meiliana. Dukungan itu menurutnya akan menambah motivasi Tim Kuasa Hukum.

Sebelumnya, Meiliana dalam pledoi yang ditulisnya di selembar kertas, pada sidang di PN Medan 13 Agustus baru lalu, mengatakan semenjak ditahan di rutan/lapas, dirinya merasa sedih karena meninggalkan anak-anak saya dan keluarga.

“Semenjak saya ditahan, saya kehilangan pekerjaan dan pendapatan untuk anak-anak saya. Di Medan saya tidak bisa bekerja. Suami pun tidak bisa bekerja seperti biasa. Saya ketakutan setiap saat dan anak-anak saya pun merasakan ketakutan asal ada keramaian,” katanya

Meiliana mengaku sedih karena merasa tidak bersalah. “Saya tidak bersalah karena saya tidak pernah melakukan itu. Saya hanya berbicara spontan saja pada teman saya Kak Uwok. Tidak ada maksud menjelek-jelekkan agama orang lain, karena saudara saya pun ada yang beragama Islam. Itu adalah bagian dari saya. Harapan saya ingin bebas,” cetusnya.

Jangan Perang Opini

Terpisah, Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Tanjungbalai, Datmi Irwan, meminta masyarakat agar cermat melihat kondisi kasus Meiliana. Ia meminta kasus ini jangan sampai menganggu keamanan di Kota Kerang –sebutan untuk Kota Tanjungbalai– itu.

“Saya khawatir hal-hal begini menggores luka lama yang ada di Tanjungbalai dan mengganggu kondisi di Tanjungbalai yang sudah kondusif. Bisa tidak baik bagi masyarakat Tanjung Balai, dan lebih luas lagi masyarakat Indonesia,” tutur Irwan kepada wartawan di Medan, Jumat (24/8).

Ia mengimbau seluruh pihak dan masyarakat menghargai keputusan dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan. “Itu ‘kan produk hukum positif di negara kita. Marilah kita hormati keputusan pengadilan,” jelas Datmi.

Datmin mengatakan, pihaknya akan menerima putusan banding di tingkat Pengadilan Tinggi (PT) Medan, meskipun putusan itu misalnya membebaskan Meiliani. “Tapi proses hukum harus dilakukan sesuai prosedur,” katanya.

Ia meminta semua pihak tidak mudah berkomentar hanya berdasarkan teks tertulis mengenai kejadian itu. Menurutnya, perasaan, latar belakang, intonasi, mimik wajah saat penyampaian protes suara toa, tidak bisa serta-merta tertuang dalam teks yang beredar soal peristiwa itu.

Ia meminta gugatan terhadap putusan pengadilan, agar melalui jalur hukum. Jangan melalui opini-opini.” Nanti yang lain juga beropini. Itu yang membuat masyarakat terpecah,” katanya.

Senada dengan Datmin, pakar hukum pidana dari Universitas Sumatera Utara (USU), DR Mahmud Muliadi, juga menilai kasus Meliana agar dilihat sesuai prosedur hukum. “Jangan memberikan komentar tidak melihat duduk sebenarnya kasus tersebut,” katanya.

“Saya belum mendapat salinan putusannya. Jadi saya tidak bisa menilai secara detail. Tapi ketika divonis, berarti hakim menyatakan dia bersalah. Belum tau saya apa pertimbangannya,” tutur Muliadi kepada wartawan di Medan, kemarin.

Upaya banding dari pihak Meiliana, diharapkan dapat menghadirkan bukti baru ke pengadilan. “Saran saya, Meiliana menghadirkan saksi ahli bahasa yang diperiksa penyidik dalam kasus ini. Supaya jadi faktor pertimbangan. Bisa saja ada koreksi,” ungkapnya.

Ia juga meminta agar masyarakat Kota Tanjungbalai jangan terpancing dengan komentar bersifat provokatif, yang dilontarkan publik. Karena masyarakat sudah hidup tenang dan tenteram sejak kerusuhan dua tahun lalu yang menghanguskan sejumlah kuil, vihara, dan kantor yayasan.

KY Minta Jangan Ada Intervensi

Masih terkait kasus Meiliani, Komisi Yudisial (KY) meminta seluruh pihak agar menghargai putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan, Selasa (21/8).

Juru Bicara KY, Farid Wajdi, mengungkapkan seluruh materi dalam persidangan merupakan otoritas hakim untuk dapat memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang menjerat terdakwa. “Majelis hakim telah menjatuhkan vonis 18 bulan untuk Meiliana. Oleh karena itu, KY mengimbau semua pihak menghormati proses dan putusan hakim,” tutur Farid dalam keterangan pers diterima Sumut Pos, Jumat (24/8).

Farid mengungkapkan, KY tidak akan masuk dalam ranah teknis yudisial menyangkut pertimbangan yuridis dan substansi putusan hakim. Namun KY tetap objektif terkait kasus ini.

Bila ada pelanggaran kode etik yang dilakukan majelis hakim dalam mengadili dan memeriksa perkara, barulah KY melakukan tindak sesuai dengan prosedur yang ada.

“KY juga meminta kepada semua pihak untuk menggunakan jalur yang tersedia melalui upaya hukum. Semua pihak selayaknya bersikap proporsional dalam memandang hasil putusan pengadilan. Tidak terlalu prejudice terhadap majelis. Teruslah percaya kepada sistem peradilan kita,” kata Farid.

Seminggu sebelum vonis dijatuhkan terhadap Meiliana, Aliansi Ormas Islam Peduli Kasus Penodaan Agama menyambangi Ketua Pengadilan Negeri (PN) Medan, Marsudin Nainggolan, mendesak vonis bersalah atas terdakwa.

Usai vonis, Forum Umat Islam menyatakan, hukuman terhadap Meiliana terlalu ringan. Ancaman hukuman maksimal terhadap penista agama adalah lima tahun. (gus/dek/mea)

TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
SIDANG: Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Meliana mengikuti persidangan di Pengadilan Negeri Medan, Selasa (24/7) lalu.

MEDAN – Meiliana mengaku tertekan batin. Ibu empat anak itu juga sering menangis di Rutan Tanjunggusta, Medan. Meiliana masih syok dengan bola liar yang menimpanya. Ia tidak merasa pernah menista agama lain.

“Kondisi ibu Meiliana baik-baik saja. Hanya saja dia masih sering menangis. Secara fisik dia sehat-sehat, tapi batinnya masih tertekan,” ujar Penasehat Hukum Meiliana, Ranto Sibarani kepada Sumut Pos, Jumat (24/8).

Meiliana kerap menangis mengingat kasus yang menimpa dirinya, yang berbuntut kerusuhan SARA di Tanjungbalai, kota tempatnya tinggal. Apalagi gara-gara kasus itu, anak-anaknya hingga saat ini masih trauma. “Anak-anaknya masih trauma, apalagi melihat orang banyak. Dan sekarang, dia harus berpisah dengan suami dan anak-anaknya,” tambah Ranto, yang dihubungi pascavonis penjara 18 bulan untuk Meiliana, oleh Hakim PN Medan, Selasa (21/8) lalu.

Meiliana dipenjara karena kalimatnya kepada tetangga, yang meminta agar volume toa masjid di samping rumahnya dikecilkan, berujung menjadi kerusuhan massa di Tanjungbalai  tahun 2016 lalu. Ia sendiri kemudian dijerat dengan pasal penistaan agama, dan divonis 18 bulan.

Semenjak kasus itu, keluarga Meliana pindah dari Tanjungbalai. Karena rumahnya telah dirusak oleh massa. Mereka juga takut dengan ancaman keselamatan. “Meiliana harus berhenti dari pekerjaannya. Anak-anaknya berhenti dari sekolah karena harus pindah,” ungkap Ranto.

Kasus Meiliana menjadi perhatian publik, pascavonis 18 bulan yang diterimanya. Tokoh-tokoh nasional ikut memberi tanggapan. Wapres Jusuf Kalla misalnya, menyebut Mieliana tidak sepatutnya dihukum. Karena permintaannya mengecilkan volume toa tidak termasuk penistaan agama.

Sejumlah dukungan dari publik juga mengalir kepada Meiliana. Wanita berusia 44 tahun itu menurut Ranto, berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah memperhatikan kasusnya.

“Dukungan dari masyarakat sedikit menguatkan batin Meiliana. Dia berharap agar kasus seperti ini tidak terulang lagi di masa mendatang. Cukup dia menjadi korban,” kata Ranto.

Menurutnya, Meiliana masih gamang dengan kasusnya. “Apalagi sampai vonis dijatuhkan, bukti Ibu Meiliana pernah menista agama, tidak pernah dihadirkan di persidangan,” kata Ranto.

Tim Kuasa Hukum Meiliana menegaskan akan melakukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi. “Kita masih menunggu salinan putusan kemarin. Katanya Senin. Kita lihat saja nanti,” paparnya.

Ranto mengucapkan terima kasih atas dukungan terhadap Meiliana. Dukungan itu menurutnya akan menambah motivasi Tim Kuasa Hukum.

Sebelumnya, Meiliana dalam pledoi yang ditulisnya di selembar kertas, pada sidang di PN Medan 13 Agustus baru lalu, mengatakan semenjak ditahan di rutan/lapas, dirinya merasa sedih karena meninggalkan anak-anak saya dan keluarga.

“Semenjak saya ditahan, saya kehilangan pekerjaan dan pendapatan untuk anak-anak saya. Di Medan saya tidak bisa bekerja. Suami pun tidak bisa bekerja seperti biasa. Saya ketakutan setiap saat dan anak-anak saya pun merasakan ketakutan asal ada keramaian,” katanya

Meiliana mengaku sedih karena merasa tidak bersalah. “Saya tidak bersalah karena saya tidak pernah melakukan itu. Saya hanya berbicara spontan saja pada teman saya Kak Uwok. Tidak ada maksud menjelek-jelekkan agama orang lain, karena saudara saya pun ada yang beragama Islam. Itu adalah bagian dari saya. Harapan saya ingin bebas,” cetusnya.

Jangan Perang Opini

Terpisah, Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Tanjungbalai, Datmi Irwan, meminta masyarakat agar cermat melihat kondisi kasus Meiliana. Ia meminta kasus ini jangan sampai menganggu keamanan di Kota Kerang –sebutan untuk Kota Tanjungbalai– itu.

“Saya khawatir hal-hal begini menggores luka lama yang ada di Tanjungbalai dan mengganggu kondisi di Tanjungbalai yang sudah kondusif. Bisa tidak baik bagi masyarakat Tanjung Balai, dan lebih luas lagi masyarakat Indonesia,” tutur Irwan kepada wartawan di Medan, Jumat (24/8).

Ia mengimbau seluruh pihak dan masyarakat menghargai keputusan dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan. “Itu ‘kan produk hukum positif di negara kita. Marilah kita hormati keputusan pengadilan,” jelas Datmi.

Datmin mengatakan, pihaknya akan menerima putusan banding di tingkat Pengadilan Tinggi (PT) Medan, meskipun putusan itu misalnya membebaskan Meiliani. “Tapi proses hukum harus dilakukan sesuai prosedur,” katanya.

Ia meminta semua pihak tidak mudah berkomentar hanya berdasarkan teks tertulis mengenai kejadian itu. Menurutnya, perasaan, latar belakang, intonasi, mimik wajah saat penyampaian protes suara toa, tidak bisa serta-merta tertuang dalam teks yang beredar soal peristiwa itu.

Ia meminta gugatan terhadap putusan pengadilan, agar melalui jalur hukum. Jangan melalui opini-opini.” Nanti yang lain juga beropini. Itu yang membuat masyarakat terpecah,” katanya.

Senada dengan Datmin, pakar hukum pidana dari Universitas Sumatera Utara (USU), DR Mahmud Muliadi, juga menilai kasus Meliana agar dilihat sesuai prosedur hukum. “Jangan memberikan komentar tidak melihat duduk sebenarnya kasus tersebut,” katanya.

“Saya belum mendapat salinan putusannya. Jadi saya tidak bisa menilai secara detail. Tapi ketika divonis, berarti hakim menyatakan dia bersalah. Belum tau saya apa pertimbangannya,” tutur Muliadi kepada wartawan di Medan, kemarin.

Upaya banding dari pihak Meiliana, diharapkan dapat menghadirkan bukti baru ke pengadilan. “Saran saya, Meiliana menghadirkan saksi ahli bahasa yang diperiksa penyidik dalam kasus ini. Supaya jadi faktor pertimbangan. Bisa saja ada koreksi,” ungkapnya.

Ia juga meminta agar masyarakat Kota Tanjungbalai jangan terpancing dengan komentar bersifat provokatif, yang dilontarkan publik. Karena masyarakat sudah hidup tenang dan tenteram sejak kerusuhan dua tahun lalu yang menghanguskan sejumlah kuil, vihara, dan kantor yayasan.

KY Minta Jangan Ada Intervensi

Masih terkait kasus Meiliani, Komisi Yudisial (KY) meminta seluruh pihak agar menghargai putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan, Selasa (21/8).

Juru Bicara KY, Farid Wajdi, mengungkapkan seluruh materi dalam persidangan merupakan otoritas hakim untuk dapat memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang menjerat terdakwa. “Majelis hakim telah menjatuhkan vonis 18 bulan untuk Meiliana. Oleh karena itu, KY mengimbau semua pihak menghormati proses dan putusan hakim,” tutur Farid dalam keterangan pers diterima Sumut Pos, Jumat (24/8).

Farid mengungkapkan, KY tidak akan masuk dalam ranah teknis yudisial menyangkut pertimbangan yuridis dan substansi putusan hakim. Namun KY tetap objektif terkait kasus ini.

Bila ada pelanggaran kode etik yang dilakukan majelis hakim dalam mengadili dan memeriksa perkara, barulah KY melakukan tindak sesuai dengan prosedur yang ada.

“KY juga meminta kepada semua pihak untuk menggunakan jalur yang tersedia melalui upaya hukum. Semua pihak selayaknya bersikap proporsional dalam memandang hasil putusan pengadilan. Tidak terlalu prejudice terhadap majelis. Teruslah percaya kepada sistem peradilan kita,” kata Farid.

Seminggu sebelum vonis dijatuhkan terhadap Meiliana, Aliansi Ormas Islam Peduli Kasus Penodaan Agama menyambangi Ketua Pengadilan Negeri (PN) Medan, Marsudin Nainggolan, mendesak vonis bersalah atas terdakwa.

Usai vonis, Forum Umat Islam menyatakan, hukuman terhadap Meiliana terlalu ringan. Ancaman hukuman maksimal terhadap penista agama adalah lima tahun. (gus/dek/mea)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/