25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

Tinggalkan Bayaran Rp18 Juta per Bulan

Hafiz Khairul Rijal, Mantan Pekerja PBB yang Jadi Pengusaha Es Dawet

Menjadi pengusaha adalah pilihan hidup Hafiz Khairul Rijal. Sejak masih duduk di bangku kuliah, dia berikrar menjadi entrepreneur, karena dendam terhadap kemiskinan. 

AGUNG PUTU ISKANDAR, Jakarta
Hafiz becermin dari almarhum ayahnya yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Kendati lulusan S-2 master of education dari Amerika Serikat (AS), mendiang AMS Iskandar tetap sulit menyekolahkan Hafiz. Untuk membayar uang kuliah putra sulungnya itu saja, dia sampai harus berutang. Bahkan, ayahnya tidak pernah punya sepeda motor.

Saat ayahanda meninggal pada 2002, ibunya, Ida Zuraida, memberanikan diri membuka usaha katering. Tak disangka, usaha tersebut sukses besar. Profit setahun sudah bisa dipakai untuk membeli mobil. Hafiz pun sadar. Masa depan ada di wirausaha. “Sejak saat itu saya bersumpah tidak akan pernah jadi PNS maupun pegawai swasta. Saya harus mandiri,” tegasnya saat ditemui di acara Pesta Wirausaha yang diadakan Komunitas Tangan Di Atas (TDA) di gedung Smesco UKM, Jalan Gatot Subroto, Jakarta lalu (29/1). Hafiz merupakan salah seorang pembicara dalam acara tersebut.

Sembari kuliah, Hafiz menjajal semua peluang usaha. Mulai laundry, jual beli ponsel, parfum, hingga sepatu. Total sekitar sepuluh usaha dia tekuni selama kuliah. Sayang, semuanya gagal. Tetapi, dia pantang menyerah. “Saya tidak pernah malu setiap berangkat kuliah bawa sepatu-sepatu cewek di tas,” katanya.

Hafiz bukannya tidak punya pilihan untuk berkarir cemerlang. Setelah lulus kuliah, dia pernah bekerja sebagai penerjemah di lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Uni Eropa di Aceh pada 2005. Saat itu lembaga internasional tersebut sedang memonitor Aceh pasca-tsunami dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

“Saya bekerja dengan gaji USD 1.500 (sekitar Rp13,5 juta) per bulan. Cukup banyak untuk anak yang baru lulus kuliah,” kata lelaki kelahiran Jakarta, 13 Agustus 1978 itu.

Hampir dua tahun bekerja, prestasi Hafiz cukup bagus. Bahkan, dia ditawari menggarap proyek di Timor Leste. Gajinya dinaikkan menjadi USD 2 ribu atau setara Rp18 juta per bulan. Namun, Hafiz, yang sejak kuliah sudah bermimpi menjadi pengusaha, menolak. Setelah bekerja hampir dua tahun di Aceh, dia merasa sudah saatnya untuk terjun serius di wirausaha. Keputusan yang sangat dia syukuri hingga saat ini.

Hafiz akhirnya memutuskan keluar pada 2007. Dia lantas memikirkan bisnis yang akan digeluti. Awalnya dia menekuni es cendol di tempat dia dibesarkan di Medan. Modalnya Rp 500 ribu. “Memulai bisnis tidak perlu memaksakan diri. Berapa pun modal yang kita miliki, jalani saja. Nanti terus bertambah seiring perkembangan bisnis kita,” tuturnya.

Uang tersebut dia gunakan untuk meminjam gerobak di salah seorang penjual es cendol yang sudah lumayan besar. Dia menjalankan sendiri gerobak tersebut. Banyak orang mencibir Hafiz. Sebab, sebagai sarjana, dia dianggap tidak pantas berjualan dengan mendorong gerobak. Namun, Hafiz tak mau termakan omongan orang-orang. Dia terus menjalankan usaha.

Ketika itu semua proses usaha dia jalani sendiri. Mulai proses produksi hingga pemasaran. Proses produksi seperti memotong daun suji (campuran warna hijau pada cendol atau dawet), memeras kelapa untuk santan, hingga mencampur semua bahan dengan tepung.
Setiap bulan Hafiz menyisihkan keuntungan untuk membuat gerobak. Hasilnya, tiap tiga bulan dia bisa menghasilkan satu gerobak. Proses itu terus dia lakukan hingga memiliki 19 gerobak. “Akhirnya mulai punya karyawan untuk bantu-bantu produksi dan jualan,” ucapnya

Suatu ketika pemilik gerobak yang dia pinjam menawari Hafiz untuk melanjutkan usahanya. Ongkosnya Rp 50 juta. Itu sudah termasuk rumah produksi di sebuah kontrakan, sepuluh gerobak, dan resep rahasia membuat dawet. (*/c10/ca/jpnn)

Hafiz Khairul Rijal, Mantan Pekerja PBB yang Jadi Pengusaha Es Dawet

Menjadi pengusaha adalah pilihan hidup Hafiz Khairul Rijal. Sejak masih duduk di bangku kuliah, dia berikrar menjadi entrepreneur, karena dendam terhadap kemiskinan. 

AGUNG PUTU ISKANDAR, Jakarta
Hafiz becermin dari almarhum ayahnya yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Kendati lulusan S-2 master of education dari Amerika Serikat (AS), mendiang AMS Iskandar tetap sulit menyekolahkan Hafiz. Untuk membayar uang kuliah putra sulungnya itu saja, dia sampai harus berutang. Bahkan, ayahnya tidak pernah punya sepeda motor.

Saat ayahanda meninggal pada 2002, ibunya, Ida Zuraida, memberanikan diri membuka usaha katering. Tak disangka, usaha tersebut sukses besar. Profit setahun sudah bisa dipakai untuk membeli mobil. Hafiz pun sadar. Masa depan ada di wirausaha. “Sejak saat itu saya bersumpah tidak akan pernah jadi PNS maupun pegawai swasta. Saya harus mandiri,” tegasnya saat ditemui di acara Pesta Wirausaha yang diadakan Komunitas Tangan Di Atas (TDA) di gedung Smesco UKM, Jalan Gatot Subroto, Jakarta lalu (29/1). Hafiz merupakan salah seorang pembicara dalam acara tersebut.

Sembari kuliah, Hafiz menjajal semua peluang usaha. Mulai laundry, jual beli ponsel, parfum, hingga sepatu. Total sekitar sepuluh usaha dia tekuni selama kuliah. Sayang, semuanya gagal. Tetapi, dia pantang menyerah. “Saya tidak pernah malu setiap berangkat kuliah bawa sepatu-sepatu cewek di tas,” katanya.

Hafiz bukannya tidak punya pilihan untuk berkarir cemerlang. Setelah lulus kuliah, dia pernah bekerja sebagai penerjemah di lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Uni Eropa di Aceh pada 2005. Saat itu lembaga internasional tersebut sedang memonitor Aceh pasca-tsunami dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

“Saya bekerja dengan gaji USD 1.500 (sekitar Rp13,5 juta) per bulan. Cukup banyak untuk anak yang baru lulus kuliah,” kata lelaki kelahiran Jakarta, 13 Agustus 1978 itu.

Hampir dua tahun bekerja, prestasi Hafiz cukup bagus. Bahkan, dia ditawari menggarap proyek di Timor Leste. Gajinya dinaikkan menjadi USD 2 ribu atau setara Rp18 juta per bulan. Namun, Hafiz, yang sejak kuliah sudah bermimpi menjadi pengusaha, menolak. Setelah bekerja hampir dua tahun di Aceh, dia merasa sudah saatnya untuk terjun serius di wirausaha. Keputusan yang sangat dia syukuri hingga saat ini.

Hafiz akhirnya memutuskan keluar pada 2007. Dia lantas memikirkan bisnis yang akan digeluti. Awalnya dia menekuni es cendol di tempat dia dibesarkan di Medan. Modalnya Rp 500 ribu. “Memulai bisnis tidak perlu memaksakan diri. Berapa pun modal yang kita miliki, jalani saja. Nanti terus bertambah seiring perkembangan bisnis kita,” tuturnya.

Uang tersebut dia gunakan untuk meminjam gerobak di salah seorang penjual es cendol yang sudah lumayan besar. Dia menjalankan sendiri gerobak tersebut. Banyak orang mencibir Hafiz. Sebab, sebagai sarjana, dia dianggap tidak pantas berjualan dengan mendorong gerobak. Namun, Hafiz tak mau termakan omongan orang-orang. Dia terus menjalankan usaha.

Ketika itu semua proses usaha dia jalani sendiri. Mulai proses produksi hingga pemasaran. Proses produksi seperti memotong daun suji (campuran warna hijau pada cendol atau dawet), memeras kelapa untuk santan, hingga mencampur semua bahan dengan tepung.
Setiap bulan Hafiz menyisihkan keuntungan untuk membuat gerobak. Hasilnya, tiap tiga bulan dia bisa menghasilkan satu gerobak. Proses itu terus dia lakukan hingga memiliki 19 gerobak. “Akhirnya mulai punya karyawan untuk bantu-bantu produksi dan jualan,” ucapnya

Suatu ketika pemilik gerobak yang dia pinjam menawari Hafiz untuk melanjutkan usahanya. Ongkosnya Rp 50 juta. Itu sudah termasuk rumah produksi di sebuah kontrakan, sepuluh gerobak, dan resep rahasia membuat dawet. (*/c10/ca/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/