30 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Kampanye Cuma Boleh di Kampus

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy’ari menyatakan, pihaknya segera merevisi peraturan KPU (PKPU) Nomor 15 Tahun 2023 tentang kampanye Pemilu. Revisi ini sebagai konsekuensi dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang membolehkan kampanye di lembaga pendidikan.

“Kami akan melakukan revisi PKPU terutama tentang larangan kampanye di tempat ibadah, kemudian dibolehkan kampanye di tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah,” kata Hasyim di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin (30/9).

Menurutnya, revisi PKPU itu saat ini sedang dalam penyusunan draft. Selain itu, KPU harus mendiskusikan dengan berbagai pihak seperti kementerian pendidikan, kementerian agama, partai politik, dan lembaga terkait. “Nantinya, PKPU itu akan dikonsultasikan dengan Komisi II DPR,” sebutnya.

Hasyim juga menegaskan, KPU akan mengatur lembaga pendidikan yang boleh dijadikan tempat kampanye Pemilu hanya perguruan tinggi. Alasannya, kata Hasyim, perguruan tinggi merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang seluruh civitasnya sudah mempunyai hak pilih dalam pemilu.

Ia juga menegaskan hal itu sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang (UU) tentang Pemilu, yang melarang pelibatan warga negara yang belum masuk kategori pemilih dalam acara kampanye. “Kalau di Sekolah Menengah Atas (SMA) ‘kan masih sebagian di bawah 17 tahun, dan sebagian sudah 17 ke atas,” tandasnya.

PDI Perjuangan Kota Medan menyambut positif putusan MK yang membolehkan kampanye di lemabag pendidikan. Bendahara DPC PDI Perjuangan Kota Medan, Boydo HK Panjaitan menilai, keputusan tersebut memiliki nilai plus bagi masyarakat dan dia belum menemukan nilai minus dari keputusan MK tersebut. “Bisa dibilang keputusan MK ini memiliki nilai plus dan tidak ada minusnya,” kata Boydo kepada Sumut Pos, Rabu (30/8).

Dikatakan Boydo, dengan diperbolehkannya lembaga pendidikan sebagai tempat berkampanye, maka lembaga pendidikan akan menjadi fungsi kontrol terhadap proses kampanye itu sendiri. “Lembaga pendidikan juga akan sebagai alat untuk meneliti dan menganalisa apa sebenarnya arah kampanye tiap partai politik. Bahkan lembaga pendidikan bisa jadi fungsi kontrol dan fungsi analis dari kampanye-kampanye partai politik tersebut,” ujarnya.

Mantan Anggota DPRD Medan itu juga menyebutkan, putusan tersebut merupakan putusan yang positif dan sangat tepat, sebab putusan tersebut akan mempermudah proses sampainya pendidikan politik yang sehat kepada masyarakat. “Khususnya bagi orang-orang yang masih melaksanakan kegiatan pendidikan, baik di kampus-kampus ataupun di lembaga-lembaga sekolah. Sangat penting sebenarnya menyampaikan pendidikan politik yang sehat kepada seluruh masyarakat,” katanya.

Pasalnya, jelas Boydo, selama ini cukup banyak terjadi pembodohan-pembodohan politik di tengah-tengah masyarakat, bahwa politik itu banya sekedar untuk memuluskan kepentingan sesaat para pelaku politik. Padahal, politik yang sehat akan sangat berpengaruh terhadap masa depan bangsa.

“Makanya banyak parpol yang melalukan pembodohan-pembodohan terhadap masyarakat dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah. Untuk itulah, mereka yang berpendidikan atau yang sedang menjalani pendidikan harus lebib dicerdaskan tentang politik. Harapannya, mereka juga bisa menyampaikan politik yang sehat itu kepada masyarakat lainnya,” jelasnya.

Dilanjutkan Boydo, yang paling penting dalam sebuah kampanye adalah sampainya visi dan misi parpol ataupun calon yang diajukan untuk membangun bangsa yang lebih baik. “Itulah pentingnya pendidikan politik kepada masyarakat yang berpendidikan, yaitu agar mereka bisa lebih kritis dalam menilai dan mempelajari apa sebenarnya tujuan dari kampanye politik tersebut,” ungkapnya.

Terpisah, Ketua Bawaslu Sumut Aswin Diapari Lubis menghargai putusan MK tersebut. “Putusan MK itu harus diikuti dan dilaksanakan. Namun kita masih menunggu perubahan peraturan terkait kampanye di lembaga pendidikan ini,” kata Aswin.

Namun menurutnya, kampanye di lembaga pendidikan itu harus mendapatkan izin dari pengelola lembaga pendidikan tersebut. “Dan harus diingat, yang tidak boleh berkampanye di lembaga pendidikan itu membawa atribut partai dan memaparkan visi dan misi. Yang dibolehkan hanya sosialisasi dirinya,” sebutnya.

Aswin juga mengingatkan kepada peserta Pemilu, jangan menciptakan gesekan antar peserta didik apakah itu mahasiswa atau pelajar. “Penyampaian kampanye bersifat soft atau lembut, tidak boleh terjadi polarisasi,” imbaunya.

Dia pun memastikan, Bawaslu Sumut akan menyosialisasikan aturan berkampanye di lembaga pendidikan sehingga pihak sekolah dan kampus serta peserta Pemilu dapat menaati aturan yang sudah ditetapkan.

Sementara Ketua KPU Sumut, Herdensi Adnin mengatakan, putusan MK tersebut masih dalam diskusi di internal KPU. Sehingga belum bisa disikapi dan dikomentari. “Masih diskusi,” kata Herdensi singkat.

Pengamat Politik Sumatera Utara, Arifin Saleh Siregar menilai, keputusan MK yang memperbolehkan lembaga pendidikan sebagai tempat kampanye adalah hal yang sah-sah saja. “Sah-sah saja, tentunya MK punya pertimbangan yang memperbolehkan dengan berbagai ketentuan,” ucap Arifin kepada Sumut Pos, Rabu (30/8).

Akan tetapi, kata Arifin, perlu dipahami bahwa keputusan MK hanya bersifat ‘memperbolehkan’, bukan ‘mewajibkan’. Artinya, pihak pengelola berhak menolak agar sekolah ataupun kampus yang dikelolanya tidak dijadikan sebagai tempat kampanye. “Namun perlu diketahui bahwa pihak pengelola berhak menolak agar kampus atau sekolah yang dikelolanya tidak dijadikan tempat kampanye. Karena bunyi putusan MK tersebut hanya memperbolehkan, bukan mewajibkan,” ujarnya.

Arifin pun mengatakan, penolakan pihak sekolah ataupun kampus harus bisa diterima oleh pihak yang ingin berkampanye. “Sebab berkampanye di kampus atau sekolah adalah bagian demokrasi. Namun, menolak kampanye di lokasi sekolah ataupun kampus juga bagian dari demokrasi,” katanya.

Lantas, adakah nilai plus dari putusan MK tersebut? Arifin mengatakan bahwa putusan MK tersebut tentunya membuat panggung para kandidat caleg menjadi lebih luas. Namun, setiap kandidat caleg juga harus memperhatikan apa yang menjadi urgensi sehingga kegiatan kampanye harus dilakukan di satuan pendidikan.

“Misalnya kalau di kampus, karena pasti mahasiswa sudah berusia 17 tahun ke atas. Begitu juga dengan tingkat SMA, mungkin targetnya untuk pemilih pemula. Namun untuk tingkat SMP ke bawah, saya fikir tidak perlu lah, tidak urgensinya meskipun diperbolehkan sesuai putusan MK,” pungkasnya.

Seperti diketahui, MK memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan (sekolah dan kampus) sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye. Hal itu merupakan bunyi Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa (15/8).

Putusan tersebut bermula dari permohonan uji materi yang diajukan dua warga negara, Handrey Mantiri dan Ong Yenni, karena menilai ada inkonsistensi norma terkait larangan kampanye dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 280 ayat 1 huruf h melarang kampanye di tempat ibadah, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah. Sedangkan, dalam bagian Penjelasan beleid itu terdapat kelonggaran terkait larangan tersebut.

“Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan,” demikian bunyi bagian Penjelasan itu.

MK dalam amar putusannya menyatakan, bagian Penjelasan itu tidak berkekuatan hukum mengikat karena menciptakan ambiguitas. Kendati demikian, MK memasukkan bunyi bagian Penjelasan itu ke dalam norma pokok Pasal 280 ayat 1 huruf h, kecuali frasa ‘tempat ibadah’. (map/gus/adz)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy’ari menyatakan, pihaknya segera merevisi peraturan KPU (PKPU) Nomor 15 Tahun 2023 tentang kampanye Pemilu. Revisi ini sebagai konsekuensi dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang membolehkan kampanye di lembaga pendidikan.

“Kami akan melakukan revisi PKPU terutama tentang larangan kampanye di tempat ibadah, kemudian dibolehkan kampanye di tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah,” kata Hasyim di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin (30/9).

Menurutnya, revisi PKPU itu saat ini sedang dalam penyusunan draft. Selain itu, KPU harus mendiskusikan dengan berbagai pihak seperti kementerian pendidikan, kementerian agama, partai politik, dan lembaga terkait. “Nantinya, PKPU itu akan dikonsultasikan dengan Komisi II DPR,” sebutnya.

Hasyim juga menegaskan, KPU akan mengatur lembaga pendidikan yang boleh dijadikan tempat kampanye Pemilu hanya perguruan tinggi. Alasannya, kata Hasyim, perguruan tinggi merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang seluruh civitasnya sudah mempunyai hak pilih dalam pemilu.

Ia juga menegaskan hal itu sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang (UU) tentang Pemilu, yang melarang pelibatan warga negara yang belum masuk kategori pemilih dalam acara kampanye. “Kalau di Sekolah Menengah Atas (SMA) ‘kan masih sebagian di bawah 17 tahun, dan sebagian sudah 17 ke atas,” tandasnya.

PDI Perjuangan Kota Medan menyambut positif putusan MK yang membolehkan kampanye di lemabag pendidikan. Bendahara DPC PDI Perjuangan Kota Medan, Boydo HK Panjaitan menilai, keputusan tersebut memiliki nilai plus bagi masyarakat dan dia belum menemukan nilai minus dari keputusan MK tersebut. “Bisa dibilang keputusan MK ini memiliki nilai plus dan tidak ada minusnya,” kata Boydo kepada Sumut Pos, Rabu (30/8).

Dikatakan Boydo, dengan diperbolehkannya lembaga pendidikan sebagai tempat berkampanye, maka lembaga pendidikan akan menjadi fungsi kontrol terhadap proses kampanye itu sendiri. “Lembaga pendidikan juga akan sebagai alat untuk meneliti dan menganalisa apa sebenarnya arah kampanye tiap partai politik. Bahkan lembaga pendidikan bisa jadi fungsi kontrol dan fungsi analis dari kampanye-kampanye partai politik tersebut,” ujarnya.

Mantan Anggota DPRD Medan itu juga menyebutkan, putusan tersebut merupakan putusan yang positif dan sangat tepat, sebab putusan tersebut akan mempermudah proses sampainya pendidikan politik yang sehat kepada masyarakat. “Khususnya bagi orang-orang yang masih melaksanakan kegiatan pendidikan, baik di kampus-kampus ataupun di lembaga-lembaga sekolah. Sangat penting sebenarnya menyampaikan pendidikan politik yang sehat kepada seluruh masyarakat,” katanya.

Pasalnya, jelas Boydo, selama ini cukup banyak terjadi pembodohan-pembodohan politik di tengah-tengah masyarakat, bahwa politik itu banya sekedar untuk memuluskan kepentingan sesaat para pelaku politik. Padahal, politik yang sehat akan sangat berpengaruh terhadap masa depan bangsa.

“Makanya banyak parpol yang melalukan pembodohan-pembodohan terhadap masyarakat dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah. Untuk itulah, mereka yang berpendidikan atau yang sedang menjalani pendidikan harus lebib dicerdaskan tentang politik. Harapannya, mereka juga bisa menyampaikan politik yang sehat itu kepada masyarakat lainnya,” jelasnya.

Dilanjutkan Boydo, yang paling penting dalam sebuah kampanye adalah sampainya visi dan misi parpol ataupun calon yang diajukan untuk membangun bangsa yang lebih baik. “Itulah pentingnya pendidikan politik kepada masyarakat yang berpendidikan, yaitu agar mereka bisa lebih kritis dalam menilai dan mempelajari apa sebenarnya tujuan dari kampanye politik tersebut,” ungkapnya.

Terpisah, Ketua Bawaslu Sumut Aswin Diapari Lubis menghargai putusan MK tersebut. “Putusan MK itu harus diikuti dan dilaksanakan. Namun kita masih menunggu perubahan peraturan terkait kampanye di lembaga pendidikan ini,” kata Aswin.

Namun menurutnya, kampanye di lembaga pendidikan itu harus mendapatkan izin dari pengelola lembaga pendidikan tersebut. “Dan harus diingat, yang tidak boleh berkampanye di lembaga pendidikan itu membawa atribut partai dan memaparkan visi dan misi. Yang dibolehkan hanya sosialisasi dirinya,” sebutnya.

Aswin juga mengingatkan kepada peserta Pemilu, jangan menciptakan gesekan antar peserta didik apakah itu mahasiswa atau pelajar. “Penyampaian kampanye bersifat soft atau lembut, tidak boleh terjadi polarisasi,” imbaunya.

Dia pun memastikan, Bawaslu Sumut akan menyosialisasikan aturan berkampanye di lembaga pendidikan sehingga pihak sekolah dan kampus serta peserta Pemilu dapat menaati aturan yang sudah ditetapkan.

Sementara Ketua KPU Sumut, Herdensi Adnin mengatakan, putusan MK tersebut masih dalam diskusi di internal KPU. Sehingga belum bisa disikapi dan dikomentari. “Masih diskusi,” kata Herdensi singkat.

Pengamat Politik Sumatera Utara, Arifin Saleh Siregar menilai, keputusan MK yang memperbolehkan lembaga pendidikan sebagai tempat kampanye adalah hal yang sah-sah saja. “Sah-sah saja, tentunya MK punya pertimbangan yang memperbolehkan dengan berbagai ketentuan,” ucap Arifin kepada Sumut Pos, Rabu (30/8).

Akan tetapi, kata Arifin, perlu dipahami bahwa keputusan MK hanya bersifat ‘memperbolehkan’, bukan ‘mewajibkan’. Artinya, pihak pengelola berhak menolak agar sekolah ataupun kampus yang dikelolanya tidak dijadikan sebagai tempat kampanye. “Namun perlu diketahui bahwa pihak pengelola berhak menolak agar kampus atau sekolah yang dikelolanya tidak dijadikan tempat kampanye. Karena bunyi putusan MK tersebut hanya memperbolehkan, bukan mewajibkan,” ujarnya.

Arifin pun mengatakan, penolakan pihak sekolah ataupun kampus harus bisa diterima oleh pihak yang ingin berkampanye. “Sebab berkampanye di kampus atau sekolah adalah bagian demokrasi. Namun, menolak kampanye di lokasi sekolah ataupun kampus juga bagian dari demokrasi,” katanya.

Lantas, adakah nilai plus dari putusan MK tersebut? Arifin mengatakan bahwa putusan MK tersebut tentunya membuat panggung para kandidat caleg menjadi lebih luas. Namun, setiap kandidat caleg juga harus memperhatikan apa yang menjadi urgensi sehingga kegiatan kampanye harus dilakukan di satuan pendidikan.

“Misalnya kalau di kampus, karena pasti mahasiswa sudah berusia 17 tahun ke atas. Begitu juga dengan tingkat SMA, mungkin targetnya untuk pemilih pemula. Namun untuk tingkat SMP ke bawah, saya fikir tidak perlu lah, tidak urgensinya meskipun diperbolehkan sesuai putusan MK,” pungkasnya.

Seperti diketahui, MK memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan (sekolah dan kampus) sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye. Hal itu merupakan bunyi Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa (15/8).

Putusan tersebut bermula dari permohonan uji materi yang diajukan dua warga negara, Handrey Mantiri dan Ong Yenni, karena menilai ada inkonsistensi norma terkait larangan kampanye dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 280 ayat 1 huruf h melarang kampanye di tempat ibadah, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah. Sedangkan, dalam bagian Penjelasan beleid itu terdapat kelonggaran terkait larangan tersebut.

“Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan,” demikian bunyi bagian Penjelasan itu.

MK dalam amar putusannya menyatakan, bagian Penjelasan itu tidak berkekuatan hukum mengikat karena menciptakan ambiguitas. Kendati demikian, MK memasukkan bunyi bagian Penjelasan itu ke dalam norma pokok Pasal 280 ayat 1 huruf h, kecuali frasa ‘tempat ibadah’. (map/gus/adz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/