26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Sebelum Kisruh KPK, SBY Panggil Kapolri

JAKARTA-Banyak yang berharap agar kisruh Polri versus KPK segera diselesaikan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bahkan, banyak yang menganggap SBY kurang peduli dengan kisruh dua lembaga hukum itu. Ternyata, pihak Istana mengatakan, beberapa jam sebelum insiden penjemputan penyidik KPK, SBY telah memanggil Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo.

KPK vs Polri//ILUSTRASI:INDOPOS/Jawa Pos/JPNN
KPK vs Polri//ILUSTRASI:INDOPOS/Jawa Pos/JPNN
“Sejak awal terjadinya ketegangan ini, presiden terus mengikuti dan tidak benar kalau presiden mendiamkan atau membiarkan hal ini. Memang tidak menjadi kewajiban presiden untuk menyampaikan kepada LSM tertentu atau politikus tertentu, apa langkah-langkah yang dilakukan presiden,” ujarnya di Kantor Presiden, kemarin (7/10). Dalam keterangan kepada pers itu, turut mendampinginya Sekretaris Kabinet Dipo Alam dan juru bicara presiden Julian Aldrian Pasha.

Melihat ketegangan Polri dan KPK yang semakin eskalatif, tutur dia, maka pada Jumat, 5 Oktober, presiden sudah memanggil Kapolri. Saat itu presiden memberikan sejumlah instruksi kepada Kapolri. “Setelah instruksi-instruksi itu dijalankan keadaan sesungguhnya sudah sangat mereda,” kata Sudi.

Begitu terjadi insiden di KPK pada Jumat malam, keesokan hari, yakni 6 Oktober, presiden langsung memimpin rapat. Melalui Menko Polhukam Djoko Suyanto memerintahkan Kapolri untuk melakukan pertemuan dengan KPK pada Minggu, 7 Oktober (kemarin, red). Sayang, pertemuan itu belum dapat dilakukan.

Hari Ini KPK dan Polri Bertemu

“Pimpinan KPK sedang berada di luar kota. Mereka menjanjikan akan bertemu pada Senin, 8 Oktober (hari ini, red),” jelasnya.

Sudi menyampaikan sebagai lembaga independen, KPK tidak berada di bawah kontrol presiden. Karena itu, instruksi yang diberikan kepada Kapolri sebatas dorongan agar Polri dengan KPK dapat bekerjasama mencari solusi untuk meningkatkan atau mengefektifkan upaya pemberantasan korupsi.

“Presiden sebetulnya mendengar komentar dari kalangan mnasyarakat agar presiden mengambil alih. Tapi, sebelum presiden mengambil alih harus dikedepankan upaya yang dilakukan Polri dengan KPK sesuai undang-undang yang berlaku atau MoU yang telah diadakan atau yang selama ini telah disepakati bersama untuk menangani masalah secara langsung,” beber Sudi.

Namun, menurut Sudi, presiden akhirnya akan mengambil alih masalah ini. Ada dua hal yang menjadi pertimbangan presiden. Yakni, perkembangan situasi yang sudah tidak baik dan banyak yang memanipulasi.
“Maka, presiden akan segera mengambil alih dan menyampaikan penjelasan kepada rakyat segera setelah pertemuan KPK-Polri dilaksanakan. Penjelasan presiden bisa pada Senin malam, 8 Oktober (malam ini, red) atau selasa siang, 9 Oktober,” tegasnya.

Secara terpisah, anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari tidak “berani” memprediksi bentuk pengambilalihan yang akan dilakukan Presiden SBY. “Saya tidak mau berspekulasi. Jadi, kita tunggu saja. Semoga tidak dengan membentuk badan-badan ad hoc, misalnya satgas (satuan tugas, Red) baru,” katanya.

Sejauh ini, Eva menilai SBY bukan tipe orang yang berani pasang badan. “Presiden selalu memilih yang aman untuk pribadinya dengan mengalihkan tanggung jawab,” sindir politisi PDIP itu.

Secara terpisah, Koordinator Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane, justru melihat sangat aneh, jika Kapolri sampai tidak tahu adanya penjemputan paksa yang dilakukan anak buahnya. “Memang boleh saja tidak semua penanganan perkara itu tidak dilaporkan kepada Kapolri. Tapi Kompl Novel ini kan bukan penjahat jalanan. Tapi ditugaskan di KPK atas penunjukan dari kepolisian. Jadi kalau hendak dilakukan penangkapan paksa, itu aparat kepolisian yang melakukan harus melapor ke Kapolri terlebih dahulu. Ah, sangat aneh ini,” ungkapnya sambil tersenyum penuh arti.

Kalau cara-cara seperti ini terus dibiarkan, Neta khawatir jangan-jangan nantinya ada sekelompok oknum polisi yang menyerang ke Istana negara dan Kapolri tidak mengetahuinya. “Langkah tersebut cenderung telah mengarah pada perbuatan kriminalisasi. Apalagi kalau dilihat sejak kronologi awal sebelum penjemputan paksa dilakukan,” tegas Neta.

KPK Dianggap tak Beretika

Selain itu, dalam hal ini Neta juga melihat indikasi adanya balas dendam kepolisian. Namun, yang dikorbankan justru anak buahnya sendiri. “Ini benar-benar preseden buruk, karena saat ini ada 110 penyidik polisi di KPK yang terancam karirnya. Jadi aparat kepolisian takut kalau sampai ditugaskan ke KPK,” tambah Neta.

Di sisi lain, Neta juga mengingatkan para pimpinan KPK. Menurutnya, peristiwa ini sampai terjadi, karena juga ada indikasi sikap pimpinan KPK yang arogan. “Samad bilang, akan segera menangkap Joko Susilo. Ini kan cara-cara yang tidak sehat,” ungkapnya.

Apa yang diungkapkan Neta sejalan dengan pandangan anggota DPRD Sumut dari Fraksi Demokrat, Sopar Siburian. Bahkan, Sopar yang anggota Komisi A DPRD Sumut ini menegaskan KPK overacting. “KPK sudah overacting dan tidak beretika. Penyidik-penyidik KPK dari Polri, harusnya diminta izinnya kepada pimpinannya dalam hal ini Kapolri. Ada pernyataan KPK, kalau penyidik Polri pensiun, mereka (KPK, Red) siap menampung. Kan itu tidak etis. Harus ada dong izin dari pimpinannya. Kemudian, mengungkap apa yang terjadi di Polri, ya bermula dari kasus Simulator itu. Harusnya KPK juga menjaga marwah kepolisian. Polri ini institusi besar dan paling besar. Begitu halnya dengan kejaksaan. Harusnya bekerja sama,” tegas Sopar Siburian.

Lanjut Sopar lagi, KPK terutama dalam hal ini Ketua KPK seolah sudah membuat KPK itu sendiri layaknya sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang berteriak-teriak mencari dukungan. “Kita tahu banyak masyarakat mendukung KPK, tapi Ketua KPK, Abraham Samad, sudah seperti Ketua LSM dengan mengajak masyarakat untuk mendukung KPK,” katanya.

Berlawanan dengan Sopar, Rurita Ningrum, Sekretaris Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Sumut, mengatakan dukungannya terhadap KPK. “Dukungan penuh untuk selamatkan KPK, segera tahan Joko Susilo oleh KPK dan batalkan revisi UU yang mempreteli kewenangan KPK,” tegas Rurita.

Dukungan Terus Mengalir

Sedangkan itu, politisi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Sumut, Ibrahim Husin, menuturkan muara penyelesaian pertikaian yang terjadi adalah di tangan Presiden SBY. “Jangan sampai kedua institusi berkepanjangan dalam perseteruannya,” tegas Ibrahim.Begitupun dengan Aliansi Sumut Bersih (ASUB). Melalui Koordinatornya, Samsul Arifin Silitonga, ASUB menegaskan dukungannya pada KPK. Dari Jakarta, dukungan publik untuk KPK terus mengalir. Ratusan massa dari berbagai kalangan kemarin (7/10) menyemut di Bundaran HI, Jakarta Pusat, untuk menyuarakan dukungannya ke komisi antikorupsi tersebut. Mereka juga menuntut Presiden SBY untuk menegaskan sikapnya membela KPK.

Massa mulai datang sejak pukul 07.00. Mereka rata-rata berbaju putih dan hitam. Beberapa peserta car free day yang membawa sepeda juga ikut bergabung dengan massa. Mereka membawa poster dan selebaran berisi dukungan ke KPK dan tuntutan kepada SBY. Di antaranya, Kalo Betul Bapak Membela Rakyat, Bapak Pasti Membela KPK; Kemana Presiden Kita (KPK); dan Save KPK.

Acara semakin meriah dengan kehadiran para artis yang ikut mendukung. Di antaranya eks vokalis Dewa Elfonda Mekel atau yang lebih dikenal dengan nama Once, Glenn Friedly, gitaris Slank Abdee Negara, dan Cholil dari grup band Efek Rumah Kaca. Bahkan, Abdee dan Once sempat menyuguhkan lagu baru diiringi gitar akustik bertema mempertanyakan keberadaan SBY.

Lagu tersebut merupakan ciptaan Abdee. Gitaris gondrong itu mengatakan bahwa lagu tersebut terinspirasi kehebohan di situs microblogging Twitter yang menanyakan keberadaan SBY saat ketegangan antara KPK dan Mabes Polri memuncak pada Sabtu (6/10) dini hari lalu saat sejumlah polisi hendak menangkap penyidik KPK Novel Baswedan. “Kami ciptakan lagu ini untuk KPK dan mempertanyakan di mana Presiden saat kasus ini terjadi,” katanya.
Sejumlah aktivis juga ikut hadir.  Di antaranya aktivis antikorupsi Usman Hamid, Effendi Ghazali, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, dan Romo Benny. Aksi tersebut merupakan acara dadakan dan spontan. Aksi tersebut berawal dari beberapa orang di Twitter yang menginginkan aksi untuk mengekspresikan dukungannya ke KPK. Dari getok tular di Twitter itulah ratusan massa dari berbagai sudut kota Jakarta hadir.

Selain membikin konser kecil, para aktivis juga mengungkapkan dukungannya ke KPK dengan berorasi. Aksi berlangsung tanpa menimbulkan kemacetan. Aksi berakhir sekitar pukul 10.00. Mereka mulai membubarkan diri. Beberapa massa yang bertahan dengan sepeda kemudian melanjutkan dengan gowes keliling Thamrin-Sudirman. (pri/aga/jpnn/gir/ari)

JAKARTA-Banyak yang berharap agar kisruh Polri versus KPK segera diselesaikan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bahkan, banyak yang menganggap SBY kurang peduli dengan kisruh dua lembaga hukum itu. Ternyata, pihak Istana mengatakan, beberapa jam sebelum insiden penjemputan penyidik KPK, SBY telah memanggil Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo.

KPK vs Polri//ILUSTRASI:INDOPOS/Jawa Pos/JPNN
KPK vs Polri//ILUSTRASI:INDOPOS/Jawa Pos/JPNN
“Sejak awal terjadinya ketegangan ini, presiden terus mengikuti dan tidak benar kalau presiden mendiamkan atau membiarkan hal ini. Memang tidak menjadi kewajiban presiden untuk menyampaikan kepada LSM tertentu atau politikus tertentu, apa langkah-langkah yang dilakukan presiden,” ujarnya di Kantor Presiden, kemarin (7/10). Dalam keterangan kepada pers itu, turut mendampinginya Sekretaris Kabinet Dipo Alam dan juru bicara presiden Julian Aldrian Pasha.

Melihat ketegangan Polri dan KPK yang semakin eskalatif, tutur dia, maka pada Jumat, 5 Oktober, presiden sudah memanggil Kapolri. Saat itu presiden memberikan sejumlah instruksi kepada Kapolri. “Setelah instruksi-instruksi itu dijalankan keadaan sesungguhnya sudah sangat mereda,” kata Sudi.

Begitu terjadi insiden di KPK pada Jumat malam, keesokan hari, yakni 6 Oktober, presiden langsung memimpin rapat. Melalui Menko Polhukam Djoko Suyanto memerintahkan Kapolri untuk melakukan pertemuan dengan KPK pada Minggu, 7 Oktober (kemarin, red). Sayang, pertemuan itu belum dapat dilakukan.

Hari Ini KPK dan Polri Bertemu

“Pimpinan KPK sedang berada di luar kota. Mereka menjanjikan akan bertemu pada Senin, 8 Oktober (hari ini, red),” jelasnya.

Sudi menyampaikan sebagai lembaga independen, KPK tidak berada di bawah kontrol presiden. Karena itu, instruksi yang diberikan kepada Kapolri sebatas dorongan agar Polri dengan KPK dapat bekerjasama mencari solusi untuk meningkatkan atau mengefektifkan upaya pemberantasan korupsi.

“Presiden sebetulnya mendengar komentar dari kalangan mnasyarakat agar presiden mengambil alih. Tapi, sebelum presiden mengambil alih harus dikedepankan upaya yang dilakukan Polri dengan KPK sesuai undang-undang yang berlaku atau MoU yang telah diadakan atau yang selama ini telah disepakati bersama untuk menangani masalah secara langsung,” beber Sudi.

Namun, menurut Sudi, presiden akhirnya akan mengambil alih masalah ini. Ada dua hal yang menjadi pertimbangan presiden. Yakni, perkembangan situasi yang sudah tidak baik dan banyak yang memanipulasi.
“Maka, presiden akan segera mengambil alih dan menyampaikan penjelasan kepada rakyat segera setelah pertemuan KPK-Polri dilaksanakan. Penjelasan presiden bisa pada Senin malam, 8 Oktober (malam ini, red) atau selasa siang, 9 Oktober,” tegasnya.

Secara terpisah, anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari tidak “berani” memprediksi bentuk pengambilalihan yang akan dilakukan Presiden SBY. “Saya tidak mau berspekulasi. Jadi, kita tunggu saja. Semoga tidak dengan membentuk badan-badan ad hoc, misalnya satgas (satuan tugas, Red) baru,” katanya.

Sejauh ini, Eva menilai SBY bukan tipe orang yang berani pasang badan. “Presiden selalu memilih yang aman untuk pribadinya dengan mengalihkan tanggung jawab,” sindir politisi PDIP itu.

Secara terpisah, Koordinator Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane, justru melihat sangat aneh, jika Kapolri sampai tidak tahu adanya penjemputan paksa yang dilakukan anak buahnya. “Memang boleh saja tidak semua penanganan perkara itu tidak dilaporkan kepada Kapolri. Tapi Kompl Novel ini kan bukan penjahat jalanan. Tapi ditugaskan di KPK atas penunjukan dari kepolisian. Jadi kalau hendak dilakukan penangkapan paksa, itu aparat kepolisian yang melakukan harus melapor ke Kapolri terlebih dahulu. Ah, sangat aneh ini,” ungkapnya sambil tersenyum penuh arti.

Kalau cara-cara seperti ini terus dibiarkan, Neta khawatir jangan-jangan nantinya ada sekelompok oknum polisi yang menyerang ke Istana negara dan Kapolri tidak mengetahuinya. “Langkah tersebut cenderung telah mengarah pada perbuatan kriminalisasi. Apalagi kalau dilihat sejak kronologi awal sebelum penjemputan paksa dilakukan,” tegas Neta.

KPK Dianggap tak Beretika

Selain itu, dalam hal ini Neta juga melihat indikasi adanya balas dendam kepolisian. Namun, yang dikorbankan justru anak buahnya sendiri. “Ini benar-benar preseden buruk, karena saat ini ada 110 penyidik polisi di KPK yang terancam karirnya. Jadi aparat kepolisian takut kalau sampai ditugaskan ke KPK,” tambah Neta.

Di sisi lain, Neta juga mengingatkan para pimpinan KPK. Menurutnya, peristiwa ini sampai terjadi, karena juga ada indikasi sikap pimpinan KPK yang arogan. “Samad bilang, akan segera menangkap Joko Susilo. Ini kan cara-cara yang tidak sehat,” ungkapnya.

Apa yang diungkapkan Neta sejalan dengan pandangan anggota DPRD Sumut dari Fraksi Demokrat, Sopar Siburian. Bahkan, Sopar yang anggota Komisi A DPRD Sumut ini menegaskan KPK overacting. “KPK sudah overacting dan tidak beretika. Penyidik-penyidik KPK dari Polri, harusnya diminta izinnya kepada pimpinannya dalam hal ini Kapolri. Ada pernyataan KPK, kalau penyidik Polri pensiun, mereka (KPK, Red) siap menampung. Kan itu tidak etis. Harus ada dong izin dari pimpinannya. Kemudian, mengungkap apa yang terjadi di Polri, ya bermula dari kasus Simulator itu. Harusnya KPK juga menjaga marwah kepolisian. Polri ini institusi besar dan paling besar. Begitu halnya dengan kejaksaan. Harusnya bekerja sama,” tegas Sopar Siburian.

Lanjut Sopar lagi, KPK terutama dalam hal ini Ketua KPK seolah sudah membuat KPK itu sendiri layaknya sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang berteriak-teriak mencari dukungan. “Kita tahu banyak masyarakat mendukung KPK, tapi Ketua KPK, Abraham Samad, sudah seperti Ketua LSM dengan mengajak masyarakat untuk mendukung KPK,” katanya.

Berlawanan dengan Sopar, Rurita Ningrum, Sekretaris Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Sumut, mengatakan dukungannya terhadap KPK. “Dukungan penuh untuk selamatkan KPK, segera tahan Joko Susilo oleh KPK dan batalkan revisi UU yang mempreteli kewenangan KPK,” tegas Rurita.

Dukungan Terus Mengalir

Sedangkan itu, politisi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Sumut, Ibrahim Husin, menuturkan muara penyelesaian pertikaian yang terjadi adalah di tangan Presiden SBY. “Jangan sampai kedua institusi berkepanjangan dalam perseteruannya,” tegas Ibrahim.Begitupun dengan Aliansi Sumut Bersih (ASUB). Melalui Koordinatornya, Samsul Arifin Silitonga, ASUB menegaskan dukungannya pada KPK. Dari Jakarta, dukungan publik untuk KPK terus mengalir. Ratusan massa dari berbagai kalangan kemarin (7/10) menyemut di Bundaran HI, Jakarta Pusat, untuk menyuarakan dukungannya ke komisi antikorupsi tersebut. Mereka juga menuntut Presiden SBY untuk menegaskan sikapnya membela KPK.

Massa mulai datang sejak pukul 07.00. Mereka rata-rata berbaju putih dan hitam. Beberapa peserta car free day yang membawa sepeda juga ikut bergabung dengan massa. Mereka membawa poster dan selebaran berisi dukungan ke KPK dan tuntutan kepada SBY. Di antaranya, Kalo Betul Bapak Membela Rakyat, Bapak Pasti Membela KPK; Kemana Presiden Kita (KPK); dan Save KPK.

Acara semakin meriah dengan kehadiran para artis yang ikut mendukung. Di antaranya eks vokalis Dewa Elfonda Mekel atau yang lebih dikenal dengan nama Once, Glenn Friedly, gitaris Slank Abdee Negara, dan Cholil dari grup band Efek Rumah Kaca. Bahkan, Abdee dan Once sempat menyuguhkan lagu baru diiringi gitar akustik bertema mempertanyakan keberadaan SBY.

Lagu tersebut merupakan ciptaan Abdee. Gitaris gondrong itu mengatakan bahwa lagu tersebut terinspirasi kehebohan di situs microblogging Twitter yang menanyakan keberadaan SBY saat ketegangan antara KPK dan Mabes Polri memuncak pada Sabtu (6/10) dini hari lalu saat sejumlah polisi hendak menangkap penyidik KPK Novel Baswedan. “Kami ciptakan lagu ini untuk KPK dan mempertanyakan di mana Presiden saat kasus ini terjadi,” katanya.
Sejumlah aktivis juga ikut hadir.  Di antaranya aktivis antikorupsi Usman Hamid, Effendi Ghazali, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, dan Romo Benny. Aksi tersebut merupakan acara dadakan dan spontan. Aksi tersebut berawal dari beberapa orang di Twitter yang menginginkan aksi untuk mengekspresikan dukungannya ke KPK. Dari getok tular di Twitter itulah ratusan massa dari berbagai sudut kota Jakarta hadir.

Selain membikin konser kecil, para aktivis juga mengungkapkan dukungannya ke KPK dengan berorasi. Aksi berlangsung tanpa menimbulkan kemacetan. Aksi berakhir sekitar pukul 10.00. Mereka mulai membubarkan diri. Beberapa massa yang bertahan dengan sepeda kemudian melanjutkan dengan gowes keliling Thamrin-Sudirman. (pri/aga/jpnn/gir/ari)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/