Ajang Jakarta New Year Concert awal Januari lalu menjadi bukti bahwa Latifah Kodijat-Marzoeki belum “habis”. Perempuan 84 tahun itu tampil menawan bersama para pianis yang berusia jauh di bawahnya.
NORA SAMPURNA, Jakarta
Latifah lahir di Indragiri, Riau, 12 November 1928. Berarti, usianya kini sudah lebih dari 84 tahun. Namun, kondisi tersebut tidak menghalangi dirinya untuk terus berkarya dan bersemangat menjalani hidup.
Hal itu terlihat saat Latifah meladeni wawancara Jawa Pos di kediamannya yang asri di kawasan Kesehatan Raya, Jakarta, kemarin (4/3)n
“Ini Wolfgang, pemberian teman saya. Usianya 3 tahun. Wolfgang tidak galak kok, ia suka mendengarkan musik,” kata Latifah “memperkenalkan” anjing kesayangannya yang berbulu cokelat kehitaman itu.
Dia baru saja selesai berbincang dengan salah seorang muridnya di ruang kerja. Sebuah grand piano Yamaha hitam terletak di tengah ruangan. Grand piano itu dimiliki Latifah sejak 1980.
Dia lantas bercerita tentang awal kecintaannya pada musik klasik. Semua berawal saat Latifah berusia 7″8 tahun. Saat itulah dia mendapat pendidikan piano untuk kali pertama dari sang ibu yang asli Belanda, XXX.
Selain itu, Latifah mendapat ilmu dari Hennie Geist, guru piano berkebangsaan Belanda yang tinggal di Sukabumi, serta Tine Drop, salah seorang pendiri sekolah musik Yayasan Pendidikan Musik (YPM) di Jakarta. Hennie kebetulan merupakan pasien sang ayah, dr Marzoeki, yang berasal dari Minang, Sumatera.
Pada 1949, Latifah berangkat ke Belanda untuk meneruskan pendidikan musik piano. Dia dibimbing pamannya, Jaap Spaanderman, yang merupakan guru besar piano dan mantan dirigen A.O.V (Orkes Symphonie Arnhem). Lulus ujian degree superieur dari College Musical Belge dengan grande distinction pada 1952, Latifah akhirnya kembali ke tanah air dua tahun berselang. Dia pulang dengan bekal ijazah Konservatorium dari Muziek Lyceum Amsterdam.
Istri (almarhum) Benito Kodijat itu benar-benar tidak bisa lepas dari piano. Dia memulai karir sebagai guru privat piano, mengajar di beberapa sekolah musik, mengajar piano-pedagogi, aktif menjadi panitia ujian piano, serta menjadi juri dalam berbagai kompetisi piano di Indonesia. Piano pedagogi khusus diberikan untuk para pengajar piano.
“Sebab, belajar piano untuk diri sendiri dan untuk mengajar itu berbeda. Selama ini, orang sering menganggapnya sama, padahal tidak,” tegasnya.
Sebagai guru piano senior yang dimiliki negeri ini, Latifah turut merumuskan kurikulum pendidikan piano. Dia juga aktif menulis buku sebagai sumbangsih terhadap pendidikan musik klasik di tanah air. Antara lain, Piano Kawanku, Program Kesiapan Musik, Tangganada & Trinada, Penuntun Mengajar Piano, serta Istilah-Istilah Musik.
Dalam buku-bukunya dan ketika mengajar murid-murid, Latifah menekankan pada lima dasar belajar musik. Yaitu, not harus tepat dan berkualitas, irama yang merupakan life of music, pembagian kalimat dan artikulasi, dinamika, serta tempo.
Berbincang dengan Latifah bagaikan menyimak cerita sejarah Indonesia dan perkembangan pendidikan musik klasik di negeri ini. Selain kepeduliannya terhadap pendidikan musik, dia lancar bercerita tentang sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
“Ayah saya seorang dokter pada masa perjuangan. Ibu saya, walaupun orang Belanda, mendukung kemerdekaan Indonesia,” tutur anak ketiga di antara empat bersaudara itu.
Selain musik, Latifah hobi membaca. Terutama yang terkait dengan sejarah. Dia masih ingat peristiwa masa kecil sampai sekarang. Menekuni musik, diakui Latifah, membantu menajamkan ingatannya. “Saya rasa itu sangat membantu. Musik membuat otak terus aktif,” ungkapnya.
Karena itu, ketika usianya tidak lagi muda, Latifah masih terus berkarya. Pada 6 Januari lalu, dia tampil dalam ajang Jakarta New Year Concert yang bertema Pianississimo 3 Generations bersama Ananda Sukarlan serta para pemenang Ananda Sukarlan Award (ASA) International Piano Competition 2012. Mereka mewakili tiga generasi usia, yakni 84 tahun, 44 tahun, dan sembilan hingga belasan tahun.
Pada kesempatan tersebut, Yayasan Musik Sastra Indonesia menganugerahkan Lifetime Achievement Award atas dedikasi Latifah dalam pendidikan musik klasik. Latifah dibuat terharu oleh kejutan yang diberikan Ananda Sukarlan yang bekerja sama dengan cucunya. “Ananda meminta mereka mengumpulkan foto-foto saya, ditampilkan di slide, lalu cucu saya membacakan perjalanan hidup saya di panggung. Saya sampai mau menangis rasanya,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Latifah kembali terharu saat mengenang sang suami, Beni, yang wafat lima tahun lalu. “Saat mengenalnya, saya tahu dia sangat suka otomotif, meng-oprek-oprek mobil. Dia tahu saya cinta musik. Dua hal yang berbeda, tetapi kami bisa saling mencintai,” ucapnya.
Sepeninggal sang suami, yang membuat Latifah tetap bersemangat menjalani hidup adalah keluarga dan kecintaannya pada musik. “Anak-anak dan cucu-cucu serta murid-murid yang manis. Merekalah sumber energi yang membuat saya tetap sehat,” tegas perempuan yang suka mengawali hari dengan menikmati secangkir kopi tubruk itu.
Latifah juga rutin berenang setiap minggu. Selain itu, dia menerapkan pola makan sehat, yakni memperbanyak konsumsi sayur dan buah serta menghindari makanan yang digoreng. Tak heran bila dia masih bisa melakukan berbagai aktivitas. Jalannya juga masih lincah, meski terkadang menggunakan alat bantu. Tidak tampak bahwa sebetulnya kedua kakinya merupakan kaki bionik.
“Saya sudah empat kali operasi kaki. Mungkin karena terlalu aktif sampai-sampai saya sering jatuh,” candanya.
Pernah suatu ketika dia terjatuh di rumah. Saat dibawa asistennya ke rumah sakit, Latifah berpesan agar tidak menghubungi anak-anaknya karena tidak ingin mereka panik.
Tiga anaknya (satu putra, dua putri) dan enam cucunya tinggal di Jakarta. Meski mempunyai kesibukan sendiri-sendiri, mereka kerap meluangkan waktu untuk berkumpul dan berlibur bersama. Contohnya, ketika merayakan ulang tahun sang oma beberapa tahun lalu.
“Mereka ajak saya berlibur ke Belitung. Wah, di sana tempatnya sangat bagus. Mereka buatkan kaus dengan tulisan Kodijat. Yes, we are Kodijat”s family,” ungkapnya bangga.
Saat ini, Latifah tengah menyelesaikan buku tentang bermain piano secara duet. Buku itu dia susun bersama dua koleganya, Vivi Embut dan Marie Alamri. Hari-harinya kini diisi dengan mengajar piano di rumah serta berkumpul dengan anak-cucu ketika weekend. “Banyak yang bertanya kenapa setua ini saya masih mengajar. Saya jawab, Why not? Saya akan terus mengajar selama saya mampu,” tegasnya. (*)