26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Akuntabilitas Dunia Peradilan Indonesia Mengkhawatirkan

YOGYAKARTA – Akuntabilitas peradilan di Indonesia sangat menyedihkan dan mengkhawatirkan. Salah satu bukti terlihat dari banyaknya perkara yang diputus, hampir semua menyatakan banding ke tingkat lebih tinggi.

Bahkan, meski Peninjauan Kembali (PK) telah ditempuh, tetap saja ada pihak yang berupaya untuk mengajukan PK kembali, seperti kasus mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar, yang divonis 18 tahun penjara atas dakwaan pembunuhan.

“Kalau di Jerman dan Jepang, itu paling tinggi hanya 4 persen yang mengajukan banding. Ini karena putusan Pengadilan Negeri di sana dipercaya oleh masyarakat,” ujar Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marzuki, dalam workshop yang digelar The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP) bekerjasama dengan United States Agency International Development (USAID) di Yogyakarta, Sabtu (6/7).

Menurut Suparman, kondisi ini terjadi di antaranya akibat proses rekrutmen hakim yang masih sangat lemah. Sehingga tidak heran banyak pihak mengeluhkan kualitas, kuantitas maupun moralitas hakim yang ada. Bahkan saking sulitnya mencari hakim yang benar-benar baik, Suparman menggambarkannya seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.

“Proses rekrutmennya tidak pernah disiapkan sungguh-sungguh seperti di Jepang dan Jerman. Kalau di sana, itu sejak masih mahasiswa telah dididik 10 orang terbaik untuk disiapkan menjadi calon-calon hakim. Tapi saya belum pernah mendengar fakultas hukum di Indonesia memikirkan hal ini. Ini sudah banyak saya kemukakan, tapi belum mendapat respon positif,” ujarnya.

Permasalahan lain, volume perkara di Indoesia menurut mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Yogyakarta ini, sangat tinggi dan tidak sebanding dengan jumlah hakim yang ada. Hal ini terjadi karena semua masalah dapat masuk berperkara di pengadilan.
“Contohnya perceraian, apa perlu masuk ke pengadilan hingga ke tingkat kasasi? Belum lagi permasalahan kurangnya hakim yang ada. Seperti ada kasus berat, itu terpaksa diperiksa oleh hakim tunggal, jadi tidak bisa oleh majelis hakim. Padahal jelas tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Belum kenyataan diundang bersidang jam 9 pagi, tapi sidangnya baru mulai pukul 15.00,” ujarnya.

Menghadapi kondisi ini, Suparman menilai tanpa proses rekrutmen dan fasilitas yang memadai, maka prinsip peradilan yang jujur masih sangat sulit dapat dicapai.

Namun kenyataannya, pemerintah saat ini justru memangkas anggaran yang ada untuk mendanai pelaksanaan pemilu 2014. Kondisi ini tentu sangat disayangkan, karena paling tidak menunjukkan kekurangperhatian pemerintah yang seharusnya berupaya semaksimal mungkin menyokong keberadaan lembaga-lembaga hukum yang ada.

“Kalau untuk biaya politik, itu tidak terbatas. Tapi biaya untuk membangun hukum di negara ini masih ngadat. Dana untuk Komisi Yudisial (KY) saja dipotong untuk mendanai pemilu, ini naif,” ujarnya.

Sayangnya pria ini tidak menyebut seberapa besar pemangkasan anggaran yang dialami KY. Ia hanya memaparkan jika dalam lima tahun terakhir anggaran yang diterima KY tidak lebih dari Rp500 miliar. “Jadi setiap tahun KY hanya menerima Rp100 miliar. Itu untuk semuanya mulai dari belanja barang hingga honor staf-staf yang ada,” ujarnya.

Akibat kondisi ini, KY sampai saat ini menurutnya masih sangat sulit menjalankan tugas secara maksimal. Sebagai contoh terkait kebutuhan tim investigasi, KY baru memiliki 13 orang. Jumlah ini tidak sebanding dengan ribuan pengaduan yang diterima setiap tahunnya. (gir)

YOGYAKARTA – Akuntabilitas peradilan di Indonesia sangat menyedihkan dan mengkhawatirkan. Salah satu bukti terlihat dari banyaknya perkara yang diputus, hampir semua menyatakan banding ke tingkat lebih tinggi.

Bahkan, meski Peninjauan Kembali (PK) telah ditempuh, tetap saja ada pihak yang berupaya untuk mengajukan PK kembali, seperti kasus mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar, yang divonis 18 tahun penjara atas dakwaan pembunuhan.

“Kalau di Jerman dan Jepang, itu paling tinggi hanya 4 persen yang mengajukan banding. Ini karena putusan Pengadilan Negeri di sana dipercaya oleh masyarakat,” ujar Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marzuki, dalam workshop yang digelar The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP) bekerjasama dengan United States Agency International Development (USAID) di Yogyakarta, Sabtu (6/7).

Menurut Suparman, kondisi ini terjadi di antaranya akibat proses rekrutmen hakim yang masih sangat lemah. Sehingga tidak heran banyak pihak mengeluhkan kualitas, kuantitas maupun moralitas hakim yang ada. Bahkan saking sulitnya mencari hakim yang benar-benar baik, Suparman menggambarkannya seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.

“Proses rekrutmennya tidak pernah disiapkan sungguh-sungguh seperti di Jepang dan Jerman. Kalau di sana, itu sejak masih mahasiswa telah dididik 10 orang terbaik untuk disiapkan menjadi calon-calon hakim. Tapi saya belum pernah mendengar fakultas hukum di Indonesia memikirkan hal ini. Ini sudah banyak saya kemukakan, tapi belum mendapat respon positif,” ujarnya.

Permasalahan lain, volume perkara di Indoesia menurut mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Yogyakarta ini, sangat tinggi dan tidak sebanding dengan jumlah hakim yang ada. Hal ini terjadi karena semua masalah dapat masuk berperkara di pengadilan.
“Contohnya perceraian, apa perlu masuk ke pengadilan hingga ke tingkat kasasi? Belum lagi permasalahan kurangnya hakim yang ada. Seperti ada kasus berat, itu terpaksa diperiksa oleh hakim tunggal, jadi tidak bisa oleh majelis hakim. Padahal jelas tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Belum kenyataan diundang bersidang jam 9 pagi, tapi sidangnya baru mulai pukul 15.00,” ujarnya.

Menghadapi kondisi ini, Suparman menilai tanpa proses rekrutmen dan fasilitas yang memadai, maka prinsip peradilan yang jujur masih sangat sulit dapat dicapai.

Namun kenyataannya, pemerintah saat ini justru memangkas anggaran yang ada untuk mendanai pelaksanaan pemilu 2014. Kondisi ini tentu sangat disayangkan, karena paling tidak menunjukkan kekurangperhatian pemerintah yang seharusnya berupaya semaksimal mungkin menyokong keberadaan lembaga-lembaga hukum yang ada.

“Kalau untuk biaya politik, itu tidak terbatas. Tapi biaya untuk membangun hukum di negara ini masih ngadat. Dana untuk Komisi Yudisial (KY) saja dipotong untuk mendanai pemilu, ini naif,” ujarnya.

Sayangnya pria ini tidak menyebut seberapa besar pemangkasan anggaran yang dialami KY. Ia hanya memaparkan jika dalam lima tahun terakhir anggaran yang diterima KY tidak lebih dari Rp500 miliar. “Jadi setiap tahun KY hanya menerima Rp100 miliar. Itu untuk semuanya mulai dari belanja barang hingga honor staf-staf yang ada,” ujarnya.

Akibat kondisi ini, KY sampai saat ini menurutnya masih sangat sulit menjalankan tugas secara maksimal. Sebagai contoh terkait kebutuhan tim investigasi, KY baru memiliki 13 orang. Jumlah ini tidak sebanding dengan ribuan pengaduan yang diterima setiap tahunnya. (gir)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/