25 C
Medan
Wednesday, December 4, 2024
spot_img

Bentuk Huruf Lucu, Siswa pun Senang Mempelajari

 DITERIMA: Abidin di depan sekolahnya, SMAN 6 Bau-Bau. Papan sekolah itu sebagian menggunakan aksara Hangeul untuk menyebut nama sekolah. F-Sekaring Ratri/JAWA POS

DITERIMA: Abidin di depan sekolahnya, SMAN 6 Bau-Bau. Papan sekolah itu sebagian menggunakan aksara Hangeul untuk menyebut nama sekolah. F-Sekaring Ratri/JAWA POS

KESUNGGUHAN Pemerintah Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, mengadopsi aksara Hangeul dari Korea Selatan ditunjukkan dengan dimasukkannya pelajaran penulisan huruf itu dalam kurikulum sekolah dasar. Tak heran bila Kecamatan Sorawolio, Bau-Bau, kemudian didatangi banyak peneliti dari Korsel.

———–
SEKARING RATRI A., Bau Bau
———–
Demi melestarikan bahasa Cia-Cia, Abidin, guru bahasa Inggris SMAN 6 Bau-Bau, yang dibantu dosen Seoul National University (SNU) Lee Ho Nam getol memberikan pelatihan penulisan huruf Hangeul kepada para guru. Setidaknya hingga kini sudah 20 guru SD dan SMP kota itu yang menerima pelatihan penulisan aksara Hangeul.

Tidak hanya itu, bersama Prof Lee Ho Young dan Lee Ho Nam, Abidin menyusun buku pelajaran bahasa Cia-Cia dengan format tulisan aksara Hangeul. Buku yang diberi judul Buku Cia-Cia I itu menjadi buku pegangan bagi siswa kelas 4, 5, dan 6 SD.

“Kami susun bersama-sama. Tujuannya untuk memudahkan belajar-mengajar bahasa Cia-Cia,” papar Abidin.

Salah seorang di antara 20 guru yang sudah lulus pelatihan itu adalah La Ali, guru SDN 2 Bugi, Bau-Bau. Sebagai orang Cia-Cia, Ali pun masih fasih berbahasa suku Cia-Cia. Tapi, tidak demikian halnya dengan para muridnya yang makin tidak mengenal bahasa ibu mereka. Karena itu, Ali sangat ingin para siswa di SDN 2 Bugi juga bisa berbahasa Cia-Cia dengan mengenal huruf Hangeul lebih dulu.

Jika dibandingkan dengan guru lainnya, Ali tergolong rajin serta aktif menyosialisasikan aksara kepada siswa. “Lumayan lah. Waktu kami di-ranking, saya nomor delapan,” ujar Ali lantas terbahak saat ditemui di sekolahannya, Senin (21/10). Selain di SDN 2 Bugi, Ali mengajar aksara Hangeul di SD Negeri Karya Baru.

Pada 2012 Ali kembali terpilih untuk mengikuti kursus singkat penulisan aksara Hangeul di Korsel. Dia berangkat bersama tiga guru Bau-Bau lainnya. Selama dua bulan mereka belajar bahasa Korea, aksara Hangeul, serta bahasa Cia-Cia di Hankuk University, Seoul, Korsel.

Dari kursus itu, Ali jadi tahu beberapa karakter aksara Hangeul yang dinilai tidak sesuai dengan bahasa Cia-Cia. Misalnya, dalam bahasa Korea tidak ada aksara yang berkonsonan “gh”, sedangkan dalam bahasa Cia-Cia ada. Karena itu, Ali mengusulkan adanya aksara tambahan untuk “gh” yang bentuknya mirip angka tujuh dengan titik di bagian tengah lengkungannya.

“Saya minta tambahan untuk “gh” dan mereka setuju,” ujarnya. Contoh kata yang menggunakan konsonan “gh” adalah ghabu yang berarti buat atau ghato yang berarti tiba.

Selain itu, lanjut Ali, dalam bahasa Korea tidak ada konsonan “w”. Bahasa Korea membunyikan “w” dengan cara menggabungkan huruf “o” dan huruf lain. Jadi, misalnya untuk bunyi “wa”, aksara Hangeul tidak terdiri atas huruf “w” dan “a”, melainkan “o” dan “a”.

Di Hankuk University, Ali dan kawan-kawan juga berkesempatan mengajar di salah satu SMP di Seoul. Di SMP khusus laki-laki tersebut, ternyata bahasa Cia-Cia juga diajarkan. Tidak hanya itu, mereka sempat mengikuti lomba pidato bahasa Korea. Dibantu dosen pembimbing mereka, para guru tersebut mempresentasikan penggunaan aksara Hangeul untuk bahasa Cia-Cia. “Tidak disangka, kami dapat juara kedua. Juara pertamanya guru dari Jepang. Hadiahnya lumayan,” ungkap guru 37 tahun itu.

Kembali ke tanah air, Ali kembali mengaplikasikan aksara-aksara Hangeul dalam bahasa Cia-Cia. Para murid pun bersemangat menerima pelajaran bahasa Cia-Cia. Sebab, Ali mampu mengenalkan aksara Hangeul dengan mudah kepada anak-anak itu. Bahkan, tidak sedikit siswa yang kerap mencatat pelajaran IPS dengan aksara Hangeul.

“Lebih gampang dibaca dan hurufnya lucu. Menulis dengan huruf Hangeul menyenangkan,” ujar Sumiarti, siswi kelas 5 SD Negeri 2 Bugi.

Menurut Ali, sebagai bagian dari komunitas Cia-Cia, dirinya bersyukur anak-anak suku Cia-Cia tidak sulit menyerap ilmu aksara Hangeul untuk bahasa mereka. Sebab, dibutuhkan upaya lebih untuk melestarikan bahasa Cia-Cia agar tidak punah.

Ali menuturkan, sekarang para orang tua suku Cia-Cia lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Cia-Cia saat berkomunikasi dengan anak-anak. Bahkan, dalam pertemuan di rumah adat Baruga, bahasa yang digunakan sudah gado-gado: bahasa Cia-Cia dan bahasa Indonesia. Tak heran bila kemudian banyak anak  suku Cia-Cia tidak bisa berbahasa Cia-Cia.

Jika kondisi itu dibiarkan, Ali khawatir dalam satu dasawarsa mendatang bahasa Cia-Cia punah. Karena itu, Ali juga mewajibkan para muridnya untuk mengajari orang tua mereka aksara Hangeul. Dengan demikian, orang tua juga tergerak untuk menggunakan bahasa Cia-Cia dalam berkomunikasi dengan anak-anaknya.

Penggunaan aksara Hangeul semakin luas setelah Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Bau-Bau memasukkannya dalam kurikulum muatan lokal di SD belum lama ini. “Bahkan, semester ini nilai pelajaran aksara bahasa Cia-Cia masuk nilai rapor siswa kelas IV”VI,” kata Ali dengan semringah.

Sementara itu, kerja sama pemerintah Seoul dan pemerintah Bau-Bau membawa banyak perubahan bagi penduduk Kecamatan Sorawolio yang kebanyakan bersuku Cia-Cia. Gencarnya pemerintah Korsel dan Bau-Bau dalam menyosialisasikan aksara Hangeul menarik perhatian dunia internasional. Sejumlah media cetak dan televisi baik dari dalam maupun luar negeri pun berdatangan untuk meliput “kampung Korea” di Bau-Bau.

Dampak positifnya, pemerintah Korea gampang memberikan bantuan kepada warga Kecamatan Sorawolio. Misalnya, Korea menyumbangkan 300 unit komputer untuk seluruh sekolah di kecamatan tersebut. Selain itu, ada program pertukaran pelajar, pertukaran kebudayaan, hingga pertukaran guru.

“Pada acara ulang tahun Bau-Bau 17 Oktober lalu, banyak orang Korsel yang kemari. Bahkan, mereka membawa serta boyband dan break dance boy yang berturut-turut jadi juara dance competition dunia,” papar Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Bau-Bau Masri.

Begitu pula saat ultah Kota Seoul, lanjut Masri, Bau-Bau mengirimkan para pemuda dan pemudinya untuk menampilkan kebudayaan Bau-Bau di sana. “Semua biaya ditanggung pihak Seoul,” imbuhnya.

Bukan hanya ahli bahasa, ahli pertanian Korsel juga didatangkan untuk melakukan penelitian di Bau-Bau. Si ahli pertanian kemudian membuatkan buku panduan bertani bagi para petani di Kecamatan Sorawolio. Buku tersebut diterjemahkan dalam tiga bahasa: Inggris, Indonesia, dan Cia-Cia. Khusus Cia-Cia ditulis dalam aksara Hangeul. Tiga wakil petani Bau-Bau juga dikirim ke Korsel untuk belajar di sana sekitar sebulan.

Namun, seiring bergantinya tampuk pimpinan wali kota Bau-Bau, intensitas kerja sama kedua kota tersebut mulai berkurang. Meski tidak sepenuhnya berhenti, masih ada sejumlah guru yang dikirim ke Korsel.

“Sejak wali kotanya baru (pengganti Amirul Tamim, Red), intensitas kegiatan antara Bau-Bau dan Seoul mulai berkurang,” kata Abidin.

Yayasan yang selama ini menjalankan aktivitas pengajaran aksara Hangeul juga mengalami masalah. Untung, masih ada Wonam Foundation dari Busan (Korsel) yang meneruskan program itu.

Abidin menuturkan, yayasan tersebut memberikan beasiswa kepada siswa SD, SMP, SMA, hingga mahasiswa asal Kecamatan Sorawolio untuk belajar ke Seoul.” “Kami beruntung masih ada Woman Foundation. Kami pun masih bisa berharap adanya beasiswa-beasiswa untuk para pemuda di sini,” tandasnya. (*/c5/c10/ari)

 DITERIMA: Abidin di depan sekolahnya, SMAN 6 Bau-Bau. Papan sekolah itu sebagian menggunakan aksara Hangeul untuk menyebut nama sekolah. F-Sekaring Ratri/JAWA POS

DITERIMA: Abidin di depan sekolahnya, SMAN 6 Bau-Bau. Papan sekolah itu sebagian menggunakan aksara Hangeul untuk menyebut nama sekolah. F-Sekaring Ratri/JAWA POS

KESUNGGUHAN Pemerintah Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, mengadopsi aksara Hangeul dari Korea Selatan ditunjukkan dengan dimasukkannya pelajaran penulisan huruf itu dalam kurikulum sekolah dasar. Tak heran bila Kecamatan Sorawolio, Bau-Bau, kemudian didatangi banyak peneliti dari Korsel.

———–
SEKARING RATRI A., Bau Bau
———–
Demi melestarikan bahasa Cia-Cia, Abidin, guru bahasa Inggris SMAN 6 Bau-Bau, yang dibantu dosen Seoul National University (SNU) Lee Ho Nam getol memberikan pelatihan penulisan huruf Hangeul kepada para guru. Setidaknya hingga kini sudah 20 guru SD dan SMP kota itu yang menerima pelatihan penulisan aksara Hangeul.

Tidak hanya itu, bersama Prof Lee Ho Young dan Lee Ho Nam, Abidin menyusun buku pelajaran bahasa Cia-Cia dengan format tulisan aksara Hangeul. Buku yang diberi judul Buku Cia-Cia I itu menjadi buku pegangan bagi siswa kelas 4, 5, dan 6 SD.

“Kami susun bersama-sama. Tujuannya untuk memudahkan belajar-mengajar bahasa Cia-Cia,” papar Abidin.

Salah seorang di antara 20 guru yang sudah lulus pelatihan itu adalah La Ali, guru SDN 2 Bugi, Bau-Bau. Sebagai orang Cia-Cia, Ali pun masih fasih berbahasa suku Cia-Cia. Tapi, tidak demikian halnya dengan para muridnya yang makin tidak mengenal bahasa ibu mereka. Karena itu, Ali sangat ingin para siswa di SDN 2 Bugi juga bisa berbahasa Cia-Cia dengan mengenal huruf Hangeul lebih dulu.

Jika dibandingkan dengan guru lainnya, Ali tergolong rajin serta aktif menyosialisasikan aksara kepada siswa. “Lumayan lah. Waktu kami di-ranking, saya nomor delapan,” ujar Ali lantas terbahak saat ditemui di sekolahannya, Senin (21/10). Selain di SDN 2 Bugi, Ali mengajar aksara Hangeul di SD Negeri Karya Baru.

Pada 2012 Ali kembali terpilih untuk mengikuti kursus singkat penulisan aksara Hangeul di Korsel. Dia berangkat bersama tiga guru Bau-Bau lainnya. Selama dua bulan mereka belajar bahasa Korea, aksara Hangeul, serta bahasa Cia-Cia di Hankuk University, Seoul, Korsel.

Dari kursus itu, Ali jadi tahu beberapa karakter aksara Hangeul yang dinilai tidak sesuai dengan bahasa Cia-Cia. Misalnya, dalam bahasa Korea tidak ada aksara yang berkonsonan “gh”, sedangkan dalam bahasa Cia-Cia ada. Karena itu, Ali mengusulkan adanya aksara tambahan untuk “gh” yang bentuknya mirip angka tujuh dengan titik di bagian tengah lengkungannya.

“Saya minta tambahan untuk “gh” dan mereka setuju,” ujarnya. Contoh kata yang menggunakan konsonan “gh” adalah ghabu yang berarti buat atau ghato yang berarti tiba.

Selain itu, lanjut Ali, dalam bahasa Korea tidak ada konsonan “w”. Bahasa Korea membunyikan “w” dengan cara menggabungkan huruf “o” dan huruf lain. Jadi, misalnya untuk bunyi “wa”, aksara Hangeul tidak terdiri atas huruf “w” dan “a”, melainkan “o” dan “a”.

Di Hankuk University, Ali dan kawan-kawan juga berkesempatan mengajar di salah satu SMP di Seoul. Di SMP khusus laki-laki tersebut, ternyata bahasa Cia-Cia juga diajarkan. Tidak hanya itu, mereka sempat mengikuti lomba pidato bahasa Korea. Dibantu dosen pembimbing mereka, para guru tersebut mempresentasikan penggunaan aksara Hangeul untuk bahasa Cia-Cia. “Tidak disangka, kami dapat juara kedua. Juara pertamanya guru dari Jepang. Hadiahnya lumayan,” ungkap guru 37 tahun itu.

Kembali ke tanah air, Ali kembali mengaplikasikan aksara-aksara Hangeul dalam bahasa Cia-Cia. Para murid pun bersemangat menerima pelajaran bahasa Cia-Cia. Sebab, Ali mampu mengenalkan aksara Hangeul dengan mudah kepada anak-anak itu. Bahkan, tidak sedikit siswa yang kerap mencatat pelajaran IPS dengan aksara Hangeul.

“Lebih gampang dibaca dan hurufnya lucu. Menulis dengan huruf Hangeul menyenangkan,” ujar Sumiarti, siswi kelas 5 SD Negeri 2 Bugi.

Menurut Ali, sebagai bagian dari komunitas Cia-Cia, dirinya bersyukur anak-anak suku Cia-Cia tidak sulit menyerap ilmu aksara Hangeul untuk bahasa mereka. Sebab, dibutuhkan upaya lebih untuk melestarikan bahasa Cia-Cia agar tidak punah.

Ali menuturkan, sekarang para orang tua suku Cia-Cia lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Cia-Cia saat berkomunikasi dengan anak-anak. Bahkan, dalam pertemuan di rumah adat Baruga, bahasa yang digunakan sudah gado-gado: bahasa Cia-Cia dan bahasa Indonesia. Tak heran bila kemudian banyak anak  suku Cia-Cia tidak bisa berbahasa Cia-Cia.

Jika kondisi itu dibiarkan, Ali khawatir dalam satu dasawarsa mendatang bahasa Cia-Cia punah. Karena itu, Ali juga mewajibkan para muridnya untuk mengajari orang tua mereka aksara Hangeul. Dengan demikian, orang tua juga tergerak untuk menggunakan bahasa Cia-Cia dalam berkomunikasi dengan anak-anaknya.

Penggunaan aksara Hangeul semakin luas setelah Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Bau-Bau memasukkannya dalam kurikulum muatan lokal di SD belum lama ini. “Bahkan, semester ini nilai pelajaran aksara bahasa Cia-Cia masuk nilai rapor siswa kelas IV”VI,” kata Ali dengan semringah.

Sementara itu, kerja sama pemerintah Seoul dan pemerintah Bau-Bau membawa banyak perubahan bagi penduduk Kecamatan Sorawolio yang kebanyakan bersuku Cia-Cia. Gencarnya pemerintah Korsel dan Bau-Bau dalam menyosialisasikan aksara Hangeul menarik perhatian dunia internasional. Sejumlah media cetak dan televisi baik dari dalam maupun luar negeri pun berdatangan untuk meliput “kampung Korea” di Bau-Bau.

Dampak positifnya, pemerintah Korea gampang memberikan bantuan kepada warga Kecamatan Sorawolio. Misalnya, Korea menyumbangkan 300 unit komputer untuk seluruh sekolah di kecamatan tersebut. Selain itu, ada program pertukaran pelajar, pertukaran kebudayaan, hingga pertukaran guru.

“Pada acara ulang tahun Bau-Bau 17 Oktober lalu, banyak orang Korsel yang kemari. Bahkan, mereka membawa serta boyband dan break dance boy yang berturut-turut jadi juara dance competition dunia,” papar Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Bau-Bau Masri.

Begitu pula saat ultah Kota Seoul, lanjut Masri, Bau-Bau mengirimkan para pemuda dan pemudinya untuk menampilkan kebudayaan Bau-Bau di sana. “Semua biaya ditanggung pihak Seoul,” imbuhnya.

Bukan hanya ahli bahasa, ahli pertanian Korsel juga didatangkan untuk melakukan penelitian di Bau-Bau. Si ahli pertanian kemudian membuatkan buku panduan bertani bagi para petani di Kecamatan Sorawolio. Buku tersebut diterjemahkan dalam tiga bahasa: Inggris, Indonesia, dan Cia-Cia. Khusus Cia-Cia ditulis dalam aksara Hangeul. Tiga wakil petani Bau-Bau juga dikirim ke Korsel untuk belajar di sana sekitar sebulan.

Namun, seiring bergantinya tampuk pimpinan wali kota Bau-Bau, intensitas kerja sama kedua kota tersebut mulai berkurang. Meski tidak sepenuhnya berhenti, masih ada sejumlah guru yang dikirim ke Korsel.

“Sejak wali kotanya baru (pengganti Amirul Tamim, Red), intensitas kegiatan antara Bau-Bau dan Seoul mulai berkurang,” kata Abidin.

Yayasan yang selama ini menjalankan aktivitas pengajaran aksara Hangeul juga mengalami masalah. Untung, masih ada Wonam Foundation dari Busan (Korsel) yang meneruskan program itu.

Abidin menuturkan, yayasan tersebut memberikan beasiswa kepada siswa SD, SMP, SMA, hingga mahasiswa asal Kecamatan Sorawolio untuk belajar ke Seoul.” “Kami beruntung masih ada Woman Foundation. Kami pun masih bisa berharap adanya beasiswa-beasiswa untuk para pemuda di sini,” tandasnya. (*/c5/c10/ari)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/