26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Kekerasan Seksual Pada Anak Tempati Peringkat Kedua

Kekerasan seksual-ilustrasi
Kekerasan seksual-ilustrasi

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Berdasarkan data di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Pirngadi Medan, hingga Juli 2014, terjadi sebanyak 188 kasus permintaan visum kekerasan seksual pada anak di bawah umur atau pencabulan.

Kassubag Hukum dan Humas RSUD Dr Pirngadi Medan Edison Perangin-angin menyebutkan, permintaan visum untuk bulan Januari ada 20 orang, Februari 19, Maret 33, April 30, Mei 32, Juni 32 dan Juli 22 orang. “Jumlahnya n
ada 188 permintaan visum dan semuanya visum n
kasus anak-anak perempuan di bawah usia 21 tahun,” kata Edison, Jumat (29/8) di ruangannya.

Dijelaskannya, visum adalah alat bukti surat sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara  Pidana (KUHAP) dari kepolisian. Sehingga visum itu untuk kepentingan hukum. Misalnya dalam projustisia dan bila tidak untuk projustisia, visum merupakan surat biasa, seperti orang yang meminta diperiksa saja.

Sedangkan untuk biayanya, jelas Edison, untuk visum biaya administrasinya Rp30 ribu dan ini untuk biaya pendaftaran dan pemeriksaan, di luar pelayanan. “Kalau untuk pemeriksaan, biayanya tergantung pemeriksaan apa yang dilakukan,” ujarnya seraya berkata masyarakat  selalu beranggapan biaya visum itu mahal, padahal biayanya include dengan suratnya. Jadi, kalau ada yang dilakukan diluar tindakan yang diberikan seperti adanya luka di wajah yang diberikan jahitan itu ada biaya tambahan, diluar dari biaya Rp30 ribu tadi.

Sedangkan, untuk kasus sodomi sendiri, yang diperiksa di rumah sakit milik Pemko Medan ini, hingga Juli 2014 ini ada 6 kasus.

Disisi lain, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Sumatera Utara,  Zahrin Pilliang menanggapi 188 kasus kekerasan seksual di bawah umur ini merupakan fenomena gunung es.

“Di Sumut sendiri kasus ini nomor 2 terbesar, setelah rebuatan hak asuh anak. Permintaan visum untuk kasus ini sudah 3 tahun terakhir meningkat.

Jadi, ada berbagai pihak yang turut mengakibatkan situasi seperti itu. Pertama situasi di rumah, bagaimana sebetulnya ke dua orang tua, dalam memberikan informasi atau pengamana terhadap kemungkinan terjadinya pada anak. Itu sangat penting, selama ini orang tua banyak lalai dalam hal ini. Padahal pendidikan seksualitas itu sudah bisa diajarkan kepada anak pada tahap perkembangan mereka,” terangnya.

Kedua, lanjut Zahrin masyarakat sendiri semakin permisif terhadap prilaku yang mengarah kepada seksualitas tersebut. Untuk area publik sendiri banyak menjadi area orang dewasa.

“Contohnya di taman-taman kota, di pusat perbelanjaan anak-anak melihat pemandangan yang tak sedap.  Orang dewasa memperlihatkan kasih sayang di tempat umum. Dan itu dianggap hal biasa. Ketiga, pemerintah kita tidak mampu melawan era globalisasi, khususnya Teknology Informasi lewat internet,” sebutnya.

Sementara itu, Zahrin mengungkapkan hingga pertengahan Agustus 2014 di KPAID sendiri sudah terdapat 200 lebih kasus cabul atau kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur.

“Sekitar 30% ya kasus ini hingga pertengahan Agustus. Walaupun pemerintah sendiri telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 tahun 2014 tentang gerakan nasional anti kekerasan sosilal tehadap anak. Jadi, kita berharap juga pemerintah secara bersama  meningkatkan usaha sosiailisasi lingkungan di aparatur pemerintahan samapai tingkat kelurahan. Sehingga menciptakan siatuasi kondusid dan anak-anak terhindar dari pemerkosaan itu,” bilangnya.

“Karenanya kita harap beri ruang di  lingkungan agar anak memiliki area bermain begitu juga di sekolahnya. Maka, penting sekali bagi pemerintah menciptakan kondisi yang memang layak bagi anak untuk  bermain dan berada sekolah. Kepada orang tua lebih paham terhadap anaknya, dan mengajarkan organ apa saja yang tak boleh di sentuh oleh orang lain,” pungkasnya. (nit/ije)

Kekerasan seksual-ilustrasi
Kekerasan seksual-ilustrasi

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Berdasarkan data di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Pirngadi Medan, hingga Juli 2014, terjadi sebanyak 188 kasus permintaan visum kekerasan seksual pada anak di bawah umur atau pencabulan.

Kassubag Hukum dan Humas RSUD Dr Pirngadi Medan Edison Perangin-angin menyebutkan, permintaan visum untuk bulan Januari ada 20 orang, Februari 19, Maret 33, April 30, Mei 32, Juni 32 dan Juli 22 orang. “Jumlahnya n
ada 188 permintaan visum dan semuanya visum n
kasus anak-anak perempuan di bawah usia 21 tahun,” kata Edison, Jumat (29/8) di ruangannya.

Dijelaskannya, visum adalah alat bukti surat sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara  Pidana (KUHAP) dari kepolisian. Sehingga visum itu untuk kepentingan hukum. Misalnya dalam projustisia dan bila tidak untuk projustisia, visum merupakan surat biasa, seperti orang yang meminta diperiksa saja.

Sedangkan untuk biayanya, jelas Edison, untuk visum biaya administrasinya Rp30 ribu dan ini untuk biaya pendaftaran dan pemeriksaan, di luar pelayanan. “Kalau untuk pemeriksaan, biayanya tergantung pemeriksaan apa yang dilakukan,” ujarnya seraya berkata masyarakat  selalu beranggapan biaya visum itu mahal, padahal biayanya include dengan suratnya. Jadi, kalau ada yang dilakukan diluar tindakan yang diberikan seperti adanya luka di wajah yang diberikan jahitan itu ada biaya tambahan, diluar dari biaya Rp30 ribu tadi.

Sedangkan, untuk kasus sodomi sendiri, yang diperiksa di rumah sakit milik Pemko Medan ini, hingga Juli 2014 ini ada 6 kasus.

Disisi lain, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Sumatera Utara,  Zahrin Pilliang menanggapi 188 kasus kekerasan seksual di bawah umur ini merupakan fenomena gunung es.

“Di Sumut sendiri kasus ini nomor 2 terbesar, setelah rebuatan hak asuh anak. Permintaan visum untuk kasus ini sudah 3 tahun terakhir meningkat.

Jadi, ada berbagai pihak yang turut mengakibatkan situasi seperti itu. Pertama situasi di rumah, bagaimana sebetulnya ke dua orang tua, dalam memberikan informasi atau pengamana terhadap kemungkinan terjadinya pada anak. Itu sangat penting, selama ini orang tua banyak lalai dalam hal ini. Padahal pendidikan seksualitas itu sudah bisa diajarkan kepada anak pada tahap perkembangan mereka,” terangnya.

Kedua, lanjut Zahrin masyarakat sendiri semakin permisif terhadap prilaku yang mengarah kepada seksualitas tersebut. Untuk area publik sendiri banyak menjadi area orang dewasa.

“Contohnya di taman-taman kota, di pusat perbelanjaan anak-anak melihat pemandangan yang tak sedap.  Orang dewasa memperlihatkan kasih sayang di tempat umum. Dan itu dianggap hal biasa. Ketiga, pemerintah kita tidak mampu melawan era globalisasi, khususnya Teknology Informasi lewat internet,” sebutnya.

Sementara itu, Zahrin mengungkapkan hingga pertengahan Agustus 2014 di KPAID sendiri sudah terdapat 200 lebih kasus cabul atau kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur.

“Sekitar 30% ya kasus ini hingga pertengahan Agustus. Walaupun pemerintah sendiri telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 tahun 2014 tentang gerakan nasional anti kekerasan sosilal tehadap anak. Jadi, kita berharap juga pemerintah secara bersama  meningkatkan usaha sosiailisasi lingkungan di aparatur pemerintahan samapai tingkat kelurahan. Sehingga menciptakan siatuasi kondusid dan anak-anak terhindar dari pemerkosaan itu,” bilangnya.

“Karenanya kita harap beri ruang di  lingkungan agar anak memiliki area bermain begitu juga di sekolahnya. Maka, penting sekali bagi pemerintah menciptakan kondisi yang memang layak bagi anak untuk  bermain dan berada sekolah. Kepada orang tua lebih paham terhadap anaknya, dan mengajarkan organ apa saja yang tak boleh di sentuh oleh orang lain,” pungkasnya. (nit/ije)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/