25 C
Medan
Saturday, December 7, 2024
spot_img

Dokter Dirga Sakti Rambe, Vaksinolog Pertama di Indonesia, Termuda di Dunia

     Home     Nasional     Daerah     Ekonomi     Internasional     Olahraga     Entertainment     Teknologi     Lifestyle     Kriminal     Pendidikan     Ramadan     Index Home / Features / Lulus Cum Laude, Diburu Perusahaan Eropa, Pilih Pulang Kampung Rabu, 10 Juli 2013 , 00:18:00 Dokter Dirga Sakti Rambe, Vaksinolog Pertama di Indonesia, Termuda di Dunia Lulus Cum Laude, Diburu Perusahaan Eropa, Pilih Pulang Kampung dr Dirga Sakti Rambe M.Sc. VPCD (tengah) bersama dua teman peneliti dari Eropa di laboratorium vaksinologi University of Siena, Italy. Foto : Dok. Pribadi dr Dirga Sakti Rambe M.Sc. VPCD (tengah) bersama dua teman peneliti dari Eropa di laboratorium vaksinologi University of Siena, Italy. Foto : Dok. Pribadi

SANGAT sedikit ilmuwan yang tertarik menggeluti imunologi dan vaksinasi. Di antara yang sedikit itu, dr Dirga Sakti Rambe merupakan vaksinolog pertama yang dimiliki Indonesia. Bahkan, saat ini dia tercatat sebagai ahli ilmu vaksinasi termuda di dunia.

“Kalau ada 10 dokter ditanya apakah tertarik mempelajari imunologi, mungkin tidak ada yang angkat jari. Kalau toh ada, mungkin hanya satu orang,” ujar dr Dirga Sakti Rambe ketika ditemui di Hotel Ritz-Carlton pekan lalu.

Imunologi dan vaksinasi memang kurang menarik minat para tenaga medis. Menurut Dirga, dua ilmu tersebut memang rumit. Penanganannya pun tidak sama antara satu pasien dan pasien yang lain. Dokter 27 tahun itu membandingkan dengan penyakit darah tinggi yang penanganannya pada setiap pasien notabene sama.

Tidak demikian halnya dengan alergi. Setiap pasien memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga pengobatannya pun berbeda. Apalagi, tren alergi dari tahun ke tahun terus meningkat.

Dirga termasuk segelintir dokter yang menyukai imunologi (ilmu tentang sistem kekebalan tubuh). Bahkan sejak masih menempuh pendidikan dokter. “Karena itu, kemudian saya lanjut resident ilmu penyakit dalam di FKUI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia),” ujar Dirga yang saat ini berpraktik di Divisi Alergi dan Imunologi, Departemen Penyakit Dalam, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo itu.

Ketertarikan Dirga pada imunologi mengantarkan dirinya ke Siena, Italia. Pada 2011, dia memperoleh beasiswa program master vaksinologi di University of Siena. Di seluruh dunia, hanya 13 dokter yang mendapat beasiswa itu. Mereka dipilih dari ratusan pelamar dari berbagai negara.

“Fakultas kedokteran di dunia yang memiliki program master vaksinologi sangat sedikit. Karena itu, begitu ada seleksi beasiswa University of Siena, saya langsung mendaftar. Saya bersyukur bisa diterima dan menjadi wakil FKUI untuk belajar di sana,” papar dokter berkacamata tersebut.

Selama dua tahun mempelajari ilmu vaksinasi, dokter kelahiran Jakarta itu sempat menjadi tenaga medis di sebuah rumah sakit di Siena. Dia juga aktif “meracik” vaksin di laboratorium universitas.

“Di sana, alat-alat laboratoriumnya sangat canggih. Saya belajar mulai A sampai Z pembuatan vaksin. Bahkan juga praktik marketing-nya,” paparnya.

Kesempatan belajar di negeri orang benar-benar dimanfatkan Dirga dengan sebaik-baiknya. Hasilnya tidak sia-sia. Pada akhir 2012, dokter murah senyum itu dinyatakan lulus dengan predikat cum laude. Tidak hanya itu, Dirga juga dinobatkan sebagai vaksinolog termuda saat itu. Ketika diwisuda, dia masih berusia 26 tahun.

“Saya kaget, waktu pengumuman kelulusan, nama saya disebut dalam pidato rektor. Dia mengatakan, “Hari ini kita meluluskan seorang vaksinolog termuda di dunia” Saya benar-benar nggak nyangka,” kenangnya.

Dirga mengakui, di antara teman-teman kuliahnya di Siena, dirinya memang yang termuda. Mayoritas berusia lebih dari 30 tahun. Namun, tidak tebersit sedikit pun di benak Dirga bahwa dirinya merupakan vaksinolog termuda di dunia.

“Memang, yang kuliah itu sudah berusia 30″40 tahun. Kebanyakan dokter spesialis, bukan dokter yang baru lulus kayak saya. Karena itu, saya kaget mendengar sebutan tersebut (vaksinolog termuda),” ujarnya.

Setelah lulus dengan menyandang predikat cum laude pada Januari lalu, Dirga laris manis. Berbagai perusahaan vaksin di Eropa langsung menawarkan pekerjaan kepada Dirga dengan gaji tinggi. Ada pula tawaran untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

“Jadi, setelah lulus, saya punya tiga pilihan. Yaitu, tawaran kerja di perusahaan vaksin di Eropa dan Italia, tawaran sekolah di Boston (Amerika Serikat), atau pulang ke Indonesia,” ungkapnaya.

Dirga akhirnya memilih opsi ketiga. Dia ingin mengabdikan ilmunya di tanah air. Sebab, pengetahuan masyarakat akan vaksin dan imunisasi masih minim, khususnya soal imunisasi orang dewasa. Selain itu, tenaga medis yang mau mempelajari ilmu kekebalan tubuh masih sedikit.

“Saya merasa di Indonesia belum ada yang mempelajari ini (ilmu vaksinasi). Tapi, memang suasana kerja di sini berbeda. Di Italia, alat-alat di lab serbacanggih. Di sini beda banget,” ujarnya lantas tersenyum.

Dirga memaparkan, di samping teknologi pembuatan vaksin yang belum canggih, pengetahuan masyarakat tentang imunisasi sangat minim. Masih sangat sedikit orang yang tahu bahwa imunisasi untuk orang dewasa tidak kalah penting dengan imunisasi pada anak-anak.

“Selama ini, vaksinasi atau imunisasi identik dengan anak-anak. Padahal, yang perlu divaksinasi bukan hanya anak-anak, melainkan juga orang dewasa. Hal ini sering tidak disadari dan dipahami masyarakat, termasuk para tenaga kesehatan,” tegasnya.

Dia melanjutkan, tidak sedikit orang dewasa yang sama sekali belum pernah divaksinasi ketika masih kanak-kanak. Padahal, seiring bertambahnya usia, terjadi warning immunity. Yakni, kadar antibodi seseorang terhadap suatu penyakit menurun karena proses penuaan.

Karena itu, perlu dilakukan vaksinasi ulang. Misalnya, beberapa kelompok orang dewasa mengidap penyakit kronis seperti asma, diabetes, dan jantung. Mereka lebih rentan terinfeksi beberapa penyakit tertentu, sehingga pemberian vaksin menjadi sangat penting.

Ada juga orang dewasa yang perlu vaksinasi karena adanya risiko besar terhadap kesehatan yang berkaitan dengan pekerjaannya seperti dokter, bidan, dan petugas laboratorium. Infeksi pada perempuan yang sedang hamil seperti infeksi rubella juga bisa dicegah dengan vaksinasi sebelum hamil.

Tidak hanya itu, beberapa orang dewasa yang memiliki risiko tinggi seperti pengguna narkoba jarum suntik yang rentan terinfeksi hepatitis B, perokok aktif yang rentan terinfeksi pneumokokus, serta orang yang memiliki partner seks multiple yang rentan terinfeksi hepatitis B juga harus divaksinasi. Pemberian vaksin bisa mencegah penyakit pada orang-orang tersebut.

“Alasan traveling, misalnya. Saat seseorang akan bepergian ke suatu negara yang endemi penyakit tertentu, perlu divaksin sebelumnya. Jamaah haji atau umrah harus divaksin meningitis,” jelasnya.

Namun, tidak sedikit informasi yang salah beredar di internet terkait dengan imunisasi. Misalnya, informasi yang menyebutkan bahwa imunisasi memang sengaja memasukkan kuman. Atau, imunisasi dikaitkan dengan isu-isu konspirasi Yahudi. Karena itu, sejak pulang dari Siena, Dirga makin aktif di twitterland untuk meluruskan informasi yang keliru terkait dengan imunisasi, khususnya imunisasi untuk orang dewasa.

Selain media Twitter, Dirga aktif memberikan informasi seputar vaksinasi dan imunisasi di grup Facebook dengan nama Gerakan Sadar Imunisasi (GeSaMun) serta melalui website: www.imunindo.com. Di sela-sela kesibukannya sebagai dokter, dia selalu menyempatkan untuk menjawab pertanyaan yang masuk ke media sosial dan internet yang dikelolanya.

Namun, upaya menyebarkan informasi tersebut bukan tanpa kendala. Ada saja pihak yang tidak bisa menerima informasi yang diberikan Dirga. Bahkan, dia pernah terlibat “Twitwar” dengan kelompok anti-vaksin. Namun, karena memiliki dasar ilmu yang mumpuni, dia tidak gentar melayani kelompok tersebut.

“Saya merasa perlu meluruskan informasi yang salah itu. Jadi, ya dilayani saja. Seru sih, sampai akhirnya semua argumen kelompok itu berhasil saya patahkan,” urainya.

Meski begitu, upaya Dirga untuk menyosialisasikan imunisasi bagi orang dewasa sedikit demi sedikit membuahkan hasil. Setidaknya, ketertarikan masyarakat terhadap imunisasi dewasa mulai meningkat. Tidak sedikit orang yang mendatangi ruang praktik Dirga untuk menanyakan seputar vaksinasi. Ada juga orang-orang yang berencana bepergian mulai minta divaksin. “Biasanya, yang traveling itu minta vaksin influenza,” katanya.

Selain pasien perorangan, Dirga sudah melayani pasien-pasien dalam satu kelompok. Dia mencontohkan pernah mendapat permintaan vaksinasi untuk kelompok arisan lansia.

“Pernah juga kami vaksinasi kelompok arisan ibu-ibu. Biasanya vaksin pneumonia dan influenza. Jadi, pas kumpul-kumpul, mereka saya suntik,” ujarnya. (*/c5/ari)

     Home     Nasional     Daerah     Ekonomi     Internasional     Olahraga     Entertainment     Teknologi     Lifestyle     Kriminal     Pendidikan     Ramadan     Index Home / Features / Lulus Cum Laude, Diburu Perusahaan Eropa, Pilih Pulang Kampung Rabu, 10 Juli 2013 , 00:18:00 Dokter Dirga Sakti Rambe, Vaksinolog Pertama di Indonesia, Termuda di Dunia Lulus Cum Laude, Diburu Perusahaan Eropa, Pilih Pulang Kampung dr Dirga Sakti Rambe M.Sc. VPCD (tengah) bersama dua teman peneliti dari Eropa di laboratorium vaksinologi University of Siena, Italy. Foto : Dok. Pribadi dr Dirga Sakti Rambe M.Sc. VPCD (tengah) bersama dua teman peneliti dari Eropa di laboratorium vaksinologi University of Siena, Italy. Foto : Dok. Pribadi

SANGAT sedikit ilmuwan yang tertarik menggeluti imunologi dan vaksinasi. Di antara yang sedikit itu, dr Dirga Sakti Rambe merupakan vaksinolog pertama yang dimiliki Indonesia. Bahkan, saat ini dia tercatat sebagai ahli ilmu vaksinasi termuda di dunia.

“Kalau ada 10 dokter ditanya apakah tertarik mempelajari imunologi, mungkin tidak ada yang angkat jari. Kalau toh ada, mungkin hanya satu orang,” ujar dr Dirga Sakti Rambe ketika ditemui di Hotel Ritz-Carlton pekan lalu.

Imunologi dan vaksinasi memang kurang menarik minat para tenaga medis. Menurut Dirga, dua ilmu tersebut memang rumit. Penanganannya pun tidak sama antara satu pasien dan pasien yang lain. Dokter 27 tahun itu membandingkan dengan penyakit darah tinggi yang penanganannya pada setiap pasien notabene sama.

Tidak demikian halnya dengan alergi. Setiap pasien memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga pengobatannya pun berbeda. Apalagi, tren alergi dari tahun ke tahun terus meningkat.

Dirga termasuk segelintir dokter yang menyukai imunologi (ilmu tentang sistem kekebalan tubuh). Bahkan sejak masih menempuh pendidikan dokter. “Karena itu, kemudian saya lanjut resident ilmu penyakit dalam di FKUI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia),” ujar Dirga yang saat ini berpraktik di Divisi Alergi dan Imunologi, Departemen Penyakit Dalam, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo itu.

Ketertarikan Dirga pada imunologi mengantarkan dirinya ke Siena, Italia. Pada 2011, dia memperoleh beasiswa program master vaksinologi di University of Siena. Di seluruh dunia, hanya 13 dokter yang mendapat beasiswa itu. Mereka dipilih dari ratusan pelamar dari berbagai negara.

“Fakultas kedokteran di dunia yang memiliki program master vaksinologi sangat sedikit. Karena itu, begitu ada seleksi beasiswa University of Siena, saya langsung mendaftar. Saya bersyukur bisa diterima dan menjadi wakil FKUI untuk belajar di sana,” papar dokter berkacamata tersebut.

Selama dua tahun mempelajari ilmu vaksinasi, dokter kelahiran Jakarta itu sempat menjadi tenaga medis di sebuah rumah sakit di Siena. Dia juga aktif “meracik” vaksin di laboratorium universitas.

“Di sana, alat-alat laboratoriumnya sangat canggih. Saya belajar mulai A sampai Z pembuatan vaksin. Bahkan juga praktik marketing-nya,” paparnya.

Kesempatan belajar di negeri orang benar-benar dimanfatkan Dirga dengan sebaik-baiknya. Hasilnya tidak sia-sia. Pada akhir 2012, dokter murah senyum itu dinyatakan lulus dengan predikat cum laude. Tidak hanya itu, Dirga juga dinobatkan sebagai vaksinolog termuda saat itu. Ketika diwisuda, dia masih berusia 26 tahun.

“Saya kaget, waktu pengumuman kelulusan, nama saya disebut dalam pidato rektor. Dia mengatakan, “Hari ini kita meluluskan seorang vaksinolog termuda di dunia” Saya benar-benar nggak nyangka,” kenangnya.

Dirga mengakui, di antara teman-teman kuliahnya di Siena, dirinya memang yang termuda. Mayoritas berusia lebih dari 30 tahun. Namun, tidak tebersit sedikit pun di benak Dirga bahwa dirinya merupakan vaksinolog termuda di dunia.

“Memang, yang kuliah itu sudah berusia 30″40 tahun. Kebanyakan dokter spesialis, bukan dokter yang baru lulus kayak saya. Karena itu, saya kaget mendengar sebutan tersebut (vaksinolog termuda),” ujarnya.

Setelah lulus dengan menyandang predikat cum laude pada Januari lalu, Dirga laris manis. Berbagai perusahaan vaksin di Eropa langsung menawarkan pekerjaan kepada Dirga dengan gaji tinggi. Ada pula tawaran untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

“Jadi, setelah lulus, saya punya tiga pilihan. Yaitu, tawaran kerja di perusahaan vaksin di Eropa dan Italia, tawaran sekolah di Boston (Amerika Serikat), atau pulang ke Indonesia,” ungkapnaya.

Dirga akhirnya memilih opsi ketiga. Dia ingin mengabdikan ilmunya di tanah air. Sebab, pengetahuan masyarakat akan vaksin dan imunisasi masih minim, khususnya soal imunisasi orang dewasa. Selain itu, tenaga medis yang mau mempelajari ilmu kekebalan tubuh masih sedikit.

“Saya merasa di Indonesia belum ada yang mempelajari ini (ilmu vaksinasi). Tapi, memang suasana kerja di sini berbeda. Di Italia, alat-alat di lab serbacanggih. Di sini beda banget,” ujarnya lantas tersenyum.

Dirga memaparkan, di samping teknologi pembuatan vaksin yang belum canggih, pengetahuan masyarakat tentang imunisasi sangat minim. Masih sangat sedikit orang yang tahu bahwa imunisasi untuk orang dewasa tidak kalah penting dengan imunisasi pada anak-anak.

“Selama ini, vaksinasi atau imunisasi identik dengan anak-anak. Padahal, yang perlu divaksinasi bukan hanya anak-anak, melainkan juga orang dewasa. Hal ini sering tidak disadari dan dipahami masyarakat, termasuk para tenaga kesehatan,” tegasnya.

Dia melanjutkan, tidak sedikit orang dewasa yang sama sekali belum pernah divaksinasi ketika masih kanak-kanak. Padahal, seiring bertambahnya usia, terjadi warning immunity. Yakni, kadar antibodi seseorang terhadap suatu penyakit menurun karena proses penuaan.

Karena itu, perlu dilakukan vaksinasi ulang. Misalnya, beberapa kelompok orang dewasa mengidap penyakit kronis seperti asma, diabetes, dan jantung. Mereka lebih rentan terinfeksi beberapa penyakit tertentu, sehingga pemberian vaksin menjadi sangat penting.

Ada juga orang dewasa yang perlu vaksinasi karena adanya risiko besar terhadap kesehatan yang berkaitan dengan pekerjaannya seperti dokter, bidan, dan petugas laboratorium. Infeksi pada perempuan yang sedang hamil seperti infeksi rubella juga bisa dicegah dengan vaksinasi sebelum hamil.

Tidak hanya itu, beberapa orang dewasa yang memiliki risiko tinggi seperti pengguna narkoba jarum suntik yang rentan terinfeksi hepatitis B, perokok aktif yang rentan terinfeksi pneumokokus, serta orang yang memiliki partner seks multiple yang rentan terinfeksi hepatitis B juga harus divaksinasi. Pemberian vaksin bisa mencegah penyakit pada orang-orang tersebut.

“Alasan traveling, misalnya. Saat seseorang akan bepergian ke suatu negara yang endemi penyakit tertentu, perlu divaksin sebelumnya. Jamaah haji atau umrah harus divaksin meningitis,” jelasnya.

Namun, tidak sedikit informasi yang salah beredar di internet terkait dengan imunisasi. Misalnya, informasi yang menyebutkan bahwa imunisasi memang sengaja memasukkan kuman. Atau, imunisasi dikaitkan dengan isu-isu konspirasi Yahudi. Karena itu, sejak pulang dari Siena, Dirga makin aktif di twitterland untuk meluruskan informasi yang keliru terkait dengan imunisasi, khususnya imunisasi untuk orang dewasa.

Selain media Twitter, Dirga aktif memberikan informasi seputar vaksinasi dan imunisasi di grup Facebook dengan nama Gerakan Sadar Imunisasi (GeSaMun) serta melalui website: www.imunindo.com. Di sela-sela kesibukannya sebagai dokter, dia selalu menyempatkan untuk menjawab pertanyaan yang masuk ke media sosial dan internet yang dikelolanya.

Namun, upaya menyebarkan informasi tersebut bukan tanpa kendala. Ada saja pihak yang tidak bisa menerima informasi yang diberikan Dirga. Bahkan, dia pernah terlibat “Twitwar” dengan kelompok anti-vaksin. Namun, karena memiliki dasar ilmu yang mumpuni, dia tidak gentar melayani kelompok tersebut.

“Saya merasa perlu meluruskan informasi yang salah itu. Jadi, ya dilayani saja. Seru sih, sampai akhirnya semua argumen kelompok itu berhasil saya patahkan,” urainya.

Meski begitu, upaya Dirga untuk menyosialisasikan imunisasi bagi orang dewasa sedikit demi sedikit membuahkan hasil. Setidaknya, ketertarikan masyarakat terhadap imunisasi dewasa mulai meningkat. Tidak sedikit orang yang mendatangi ruang praktik Dirga untuk menanyakan seputar vaksinasi. Ada juga orang-orang yang berencana bepergian mulai minta divaksin. “Biasanya, yang traveling itu minta vaksin influenza,” katanya.

Selain pasien perorangan, Dirga sudah melayani pasien-pasien dalam satu kelompok. Dia mencontohkan pernah mendapat permintaan vaksinasi untuk kelompok arisan lansia.

“Pernah juga kami vaksinasi kelompok arisan ibu-ibu. Biasanya vaksin pneumonia dan influenza. Jadi, pas kumpul-kumpul, mereka saya suntik,” ujarnya. (*/c5/ari)

Artikel Terkait

Bubarkan Pengurus Lama

Ada Sindikat di Hutan Mangrove

Selesaikan Konflik SMPN 14

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/