Bandara Internasional Juanda Surabaya di Sidoarjo (duh panjangnya), tidak lama lalu.
Ketika hendak boarding pesawat, ada seorang cewek menyapa dari belakang. โMas Azruuuulโฆโ
Lalu dia bilang: โMasih ingat saya Mas? Dulu pernah juara kompetisi jurnalis DetEksiโ.
Saya lalu bertanya balik: โKuliah di mana sekarang?โ.
Jawabannya: โLho, saya sudah jadi dokter sekarang maaasโฆโ
Glodaaaakkkk!!!!
Bunyi alarm di kepala berbunyi nyaring. Sama rasanya seperti waktu kali pertama dipanggil โOomโ, walau tidak semenyakitkan dipanggil โOomโ.
Mungkin, detik itulah muncul keputusan DetEksi harus ditutup. Masalahnya, kalau DetEksi ditutup, lalu gantinya apa?
Walau generasinya sudah banyak berubah, pembaca/pengikutnya sekarang sudah tidak tahu/kenal sejarahnya zaman dahulu kala (tahun 2000), DetEksi tetap punya pembaca/pengikut yang cukup fanatis.
Buktinya, pada 26 Februari 2016 lalu, begitu banyak yang mengontak kantor mengeluh kenapa halaman DetEksi sudah tidak ada. Malah ada penelepon (anak SMA) yang marah-marah dan ngambek, memaksa-maksa DetEksi tidak boleh diganti oleh Zetizen.
โKembalikan DetEksi-ku!โ teriaknya ke kru kami hari itu.
Apalagi di Jawa Pos tanggal 26 Februari lalu memang cukup โkejamโ. Tidak ada pengumuman apa-apa. Tiba-tiba ganti jadi Zetizen. Bukan hanya itu. Mulai Senin, 7 Maret kemarin, puluhan koran lain di Jawa Pos Groupโdari Aceh sampai Papuaโ juga punya halaman Zetizen.
Kenapa begitu? Ya kenapa tidak!
Penjelasannya baca besok yaโฆWkwkwkwkwkโฆ (bersambung)