Awal November lalu ada yang seru di pertemuan komite Asia-Pasifik di Digital Media Asia 2017, di Singapura. Akhirnya, setelah bertahun-tahun, ada anggota komite baru yang lebih muda daripada saya!
Dia CEO media besar di Hongkong. Usianya masih 34 tahun. Sempat mengenyam pengalaman di New York sebelum menjadi bos di grup media tersebut. Begitu banyak perubahan dia lakukan sehingga menjadi sumber cerita baru yang seru bagi pelaku industri yang lain.
Saat tampil di panggung kongres, ada celetukannya yang membuat saya tertawa kecil. Yaitu saat bicara soal pembaca muda.
Dia bilang, mengejar generasi milenial itu terlambat. Karena itu yang sekarang, bukan masa depan. Kalau mau yang masa depan, ya harus mengejar generasi Z.
Kenapa saya tertawa kecil? Karena cara berpikir kami mirip. Sejak dua tahun lalu, saya sudah menerapkan strategi serupa di Jawa Pos. Halaman anak muda yang sudah belasan tahun sukses, DetEksi, saya tutup. Saya gantikan dengan Zetizen untuk generasi baru, yaitu generasi Z.
Banyak orang di Jawa Pos bingung lagi dengan Zetizen, bahkan sampai sekarang. Tapi, orang sering lupa bahwa mengejar anak muda itu tidak pernah untuk sekarang. Melainkan untuk tahun-tahun ke depan. Bahkan, DetEksi dulu baru menunjukkan hasilnya setelah lima tahun eksis.
Di Digital Media Awards 2017 itu, Zetizen pun meraih penghargaan. Gelar pertama Jawa Pos Group di ajang digital.
Karena sama-sama di komite, saya bisa ngobrol lebih banyak dengan anak muda itu secara lebih privat.
Di pertemuan tersebut, dua tema utama yang dibicarakan adalah berapa penghasilan digital jika dibandingkan dengan print, plus soal konsumen muda.
Soal penghasilan digital, semua masih bilang terlalu kecil. Sangat jarang di atas 5–10 persen dari total pemasukan perusahaan. Anak muda itu mengaku lebih baik dari kebanyakan, pemasukan digitalnya mencapai 30 persen. Tapi, dengan lantang dia bilang, semua harus berjuang mengejar penghasilan digital dari subscription alias pelanggan. Jangan pernah mengharapkan penghasilan iklan digital akan menggantikan print.
Itu berarti terus memburu konsumen muda. Menyediakan bagi mereka konten atau produk yang membuat mereka mau menjadi pelanggan. Membayar untuk membaca.
Dan itu berarti harus punya tim yang muda-muda pula. ”Usia saya ini (34 tahun, Red) merupakan usia rata-rata karyawan di perusahaan saya. Tapi, saya sendiri sudah merasa tua. Untuk beberapa hal, saya sudah tidak paham dengan apa yang dilakukan anak buah saya,” paparnya.
Saya bercanda ke dia, kalau dia merasa terlalu tua, maka saya jadi merasa seperti kakek-kakek. Dan usia saya 40 tahun, jauh lebih muda daripada kebanyakan pemimpin media besar lain.
Kami pun saling sharing berdua. Kebetulan, usia karyawan di Jawa Pos tidak jauh dari perusahaan dia. Saya bilang senang bicara dengan dia. Karena makin lama makin sulit mencari teman berbicara yang sepantaran! Walau saya masih lebih tua, wkwkwkwk…
Bayangkan mereka yang lebih tua lagi. Wkwkwkwk…
Mohon maaf, bukan bermaksud menyinggung. Walau terus terang saya bermaksud menyentil. Wkwkwkwk…
Toh, saya sendiri juga tersentil. Bahwa saya sudah menjadi generasi ”sekarang”, bukan lagi generasi masa depan. Dan dalam hati, saya selalu menantikan kapan momen peralihan itu tiba. Dengan hadirnya anak muda Hongkong tersebut di komite, saya merasa bahwa momen yang lama saya tunggu itu tiba.