29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Tret-tet-tet Kelas IV SD

Kalau Anda jadi orang tua, berani tidak mengirimkan anak kelas IV SD sendirian naik bus ke luar kota yang jauh untuk nonton sepak bola?

***

 Pertanyaan di atas absurd? Mungkin iya. Tapi, saya mengalaminya waktu kelas IV SD dulu, sekitar tahun 1988.

Waktu itu, Surabaya sedang demam sepak bola. Saya termasuk. Di kompleks saya dulu, pertandingan sepak bola terus digelar antar-RT, di lapangan di sebelah masjid.

Saya dan teman-teman, waktu SD itu, termasuk yang kreatif. Kami punya tim yang terbentuk dari ”anak-anak satu kompleks, dari berbagai RT”.

Kaus putih kami ”customize” dengan nama dan nomor di belakang, menggunakan cat semprot.

Gawang kami buat dan potong dari bahan kayu yang diambil teman dari ”tumpukan” di lotengnya. Kayu tersebut ternyata kayu jati dan teman kami disemprot habis-habisan oleh ortunya karena itu sebenarnya ranjang yang masih akan dipakai.

Tukang becak setempat kami hire sebagai official vehicle, mengangkut gawang itu ke lokasi kami akan bertanding. Itu kalau pertandingannya away dan di lapangan lawan tidak ada gawang.

Sebelum punya gawang itu, biasanya gawang disiasati menggunakan dua sepeda. Tapi, terlalu banyak gol kontroversial berkaitan dengan tingginya bola di atas jangkauan kiper. Solusinya: bikin gawang portabel.

Pembagian tugas pun ada. Salah satu bertugas khusus menyiapkan berbagai logistik. Misalnya minuman.

Waktu itu, saya ingat betul betapa hebohnya sepak bola di Surabaya. Semua ribut beli kaus yang sama, dengan paket topi dan syalnya. Tidak ada yang pakai barang non-official alias tidak asli alias palsu.

Semua heboh ingin menonton ke stadion.

Saya termasuk beruntung, orang tua saya pengurus tim. Jadi bisa nonton semua pertandingan di Surabaya. Pulang sekolah, naik bemo sendirian ke stadion, masuk masih pakai seragam, lalu nonton di kawasan bench pemain atau kadang-kadang duduk di pinggir gawang.

Atau kalau terburu-buru dan bemo kelamaan, saya naik angguna.

Saya ingat betul, guru-guru saya di SD, tetangga-tetangga, terus heboh minta dicarikan tiket. Tidak harus gratis. Bayar pun mereka bersedia asal dapat tiket. Laki-laki, perempuan, keluarga, segala usia.

Kalau Anda jadi orang tua, berani tidak mengirimkan anak kelas IV SD sendirian naik bus ke luar kota yang jauh untuk nonton sepak bola?

***

 Pertanyaan di atas absurd? Mungkin iya. Tapi, saya mengalaminya waktu kelas IV SD dulu, sekitar tahun 1988.

Waktu itu, Surabaya sedang demam sepak bola. Saya termasuk. Di kompleks saya dulu, pertandingan sepak bola terus digelar antar-RT, di lapangan di sebelah masjid.

Saya dan teman-teman, waktu SD itu, termasuk yang kreatif. Kami punya tim yang terbentuk dari ”anak-anak satu kompleks, dari berbagai RT”.

Kaus putih kami ”customize” dengan nama dan nomor di belakang, menggunakan cat semprot.

Gawang kami buat dan potong dari bahan kayu yang diambil teman dari ”tumpukan” di lotengnya. Kayu tersebut ternyata kayu jati dan teman kami disemprot habis-habisan oleh ortunya karena itu sebenarnya ranjang yang masih akan dipakai.

Tukang becak setempat kami hire sebagai official vehicle, mengangkut gawang itu ke lokasi kami akan bertanding. Itu kalau pertandingannya away dan di lapangan lawan tidak ada gawang.

Sebelum punya gawang itu, biasanya gawang disiasati menggunakan dua sepeda. Tapi, terlalu banyak gol kontroversial berkaitan dengan tingginya bola di atas jangkauan kiper. Solusinya: bikin gawang portabel.

Pembagian tugas pun ada. Salah satu bertugas khusus menyiapkan berbagai logistik. Misalnya minuman.

Waktu itu, saya ingat betul betapa hebohnya sepak bola di Surabaya. Semua ribut beli kaus yang sama, dengan paket topi dan syalnya. Tidak ada yang pakai barang non-official alias tidak asli alias palsu.

Semua heboh ingin menonton ke stadion.

Saya termasuk beruntung, orang tua saya pengurus tim. Jadi bisa nonton semua pertandingan di Surabaya. Pulang sekolah, naik bemo sendirian ke stadion, masuk masih pakai seragam, lalu nonton di kawasan bench pemain atau kadang-kadang duduk di pinggir gawang.

Atau kalau terburu-buru dan bemo kelamaan, saya naik angguna.

Saya ingat betul, guru-guru saya di SD, tetangga-tetangga, terus heboh minta dicarikan tiket. Tidak harus gratis. Bayar pun mereka bersedia asal dapat tiket. Laki-laki, perempuan, keluarga, segala usia.

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/