26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Takut Hate Berbalas Hate

Yang bikin kurang sreg, saya sebenarnya ingin menulis sesuatu yang benar-benar happy pada hari Wednesday ini. Buyar sudah. Susah juga menjelaskan kepada anak-anak saya — yang masih di bawah sepuluh tahun semua– tentang apa yang terjadi. “Yang nembak orang jahat ya Ayah? Kenapa ayah?”, tanya yang paling besar.

Siapa yang tidak sedih mengetahui ada kasus seperti ini. Dan saya semakin sedih karena lagi-lagi melibatkan seseorang yang mengklaim beragama Islam. Di bulan Ramadan lagi.

Mungkin karena sudah terbiasa dengan aksi teror yang dilakukan orang-orang yang mengklaim beragama Islam, dan mungkin karena pemahaman tentang Islam juga sudah jauh lebih baik di Amerika, perkembangan berita di sini terkesan sangat bijak.

Kejahatan ini lebih banyak dibicarakan sebagai “hate crime”.

Kejahatan karena kebencian. Dan itu bisa dari berbagai agama, kepercayaan, dan ras.

Waktu pertama mendapat informasi pelakunya mengklaim Islam, saya sempat khawatir dengan aksi retaliation (pembalasan).

Benar saja, Selasa pagi (Selasa Sore WIB kemarin) di televisi muncul berita sebuah Islamic Center di kawasan Orlando jadi korban vandalisme. Ada orang yang mencoretkan tulisan “Stop The Hate”.

Tentu saja, berita itu ikut mengecam aksi pembalasan ini. Sambil menjelaskan bagaimana Islamic Center tersebut sedang dalam proses membangun sebuah masjid.

Saya jadi ingat sebuah cerita yang ditampilkan di Smithsonian Museum of American History di Washington DC. Dalam ruangan yang menceritakan kisah sukses bisnis, ada satu sudut yang bercerita tentang perjuangan orang dalam meraih kehidupan lebih baik di Amerika.

Ceritanya tentang seorang imigran asal India yang selama 20 tahun lebih bekerja keras sebagai sopir taksi di New York. Setelah mengumpulkan cukup uang, dia lantas membuka sebuah SPBU, dan siap hidup lebih maju sebagai pengusaha.

Tragisnya, dia jadi korban penembakan “hate crime” hanya dalam hitungan hari setelah tragedi World Trade Center di New York tahun 2001. Dia adalah korban “hate salah sasaran”. Karena dia bukan orang Islam.

Karena hate bukan hanya bisa menimbulkan korban jiwa. Hate bisa berbalas hate, dan itu bisa tidak berbuntut.

Di Orlando saat ini, “kampanye” yang banyak disuarakan adalah bagaimana bersatu menjadikan masyarakat lebih saling mentoleransi dan lebih saling mencintai (love, lawan kata dari hate). Dan ini kekuatan masyarakat yang modern. Masyarakat yang tidak panik, amok, menghadapi tantangan kebersamaan.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip salah satu tokoh favorit saya. Seorang Jedi Master bernama Yoda. Bahwa kebencian adalah hasil dari rasa takut dan marah, dan kebencian hanya menghasilkan kesengsaraan.

“Fear is the path to the dark side. Fear leads to anger. Anger leads to hate. Hate leads to suffering”.

Semoga dunia semakin bersama dan semakin saling mencintai di Bulan Ramadan ini. Happy Wednesday! (*)

Yang bikin kurang sreg, saya sebenarnya ingin menulis sesuatu yang benar-benar happy pada hari Wednesday ini. Buyar sudah. Susah juga menjelaskan kepada anak-anak saya — yang masih di bawah sepuluh tahun semua– tentang apa yang terjadi. “Yang nembak orang jahat ya Ayah? Kenapa ayah?”, tanya yang paling besar.

Siapa yang tidak sedih mengetahui ada kasus seperti ini. Dan saya semakin sedih karena lagi-lagi melibatkan seseorang yang mengklaim beragama Islam. Di bulan Ramadan lagi.

Mungkin karena sudah terbiasa dengan aksi teror yang dilakukan orang-orang yang mengklaim beragama Islam, dan mungkin karena pemahaman tentang Islam juga sudah jauh lebih baik di Amerika, perkembangan berita di sini terkesan sangat bijak.

Kejahatan ini lebih banyak dibicarakan sebagai “hate crime”.

Kejahatan karena kebencian. Dan itu bisa dari berbagai agama, kepercayaan, dan ras.

Waktu pertama mendapat informasi pelakunya mengklaim Islam, saya sempat khawatir dengan aksi retaliation (pembalasan).

Benar saja, Selasa pagi (Selasa Sore WIB kemarin) di televisi muncul berita sebuah Islamic Center di kawasan Orlando jadi korban vandalisme. Ada orang yang mencoretkan tulisan “Stop The Hate”.

Tentu saja, berita itu ikut mengecam aksi pembalasan ini. Sambil menjelaskan bagaimana Islamic Center tersebut sedang dalam proses membangun sebuah masjid.

Saya jadi ingat sebuah cerita yang ditampilkan di Smithsonian Museum of American History di Washington DC. Dalam ruangan yang menceritakan kisah sukses bisnis, ada satu sudut yang bercerita tentang perjuangan orang dalam meraih kehidupan lebih baik di Amerika.

Ceritanya tentang seorang imigran asal India yang selama 20 tahun lebih bekerja keras sebagai sopir taksi di New York. Setelah mengumpulkan cukup uang, dia lantas membuka sebuah SPBU, dan siap hidup lebih maju sebagai pengusaha.

Tragisnya, dia jadi korban penembakan “hate crime” hanya dalam hitungan hari setelah tragedi World Trade Center di New York tahun 2001. Dia adalah korban “hate salah sasaran”. Karena dia bukan orang Islam.

Karena hate bukan hanya bisa menimbulkan korban jiwa. Hate bisa berbalas hate, dan itu bisa tidak berbuntut.

Di Orlando saat ini, “kampanye” yang banyak disuarakan adalah bagaimana bersatu menjadikan masyarakat lebih saling mentoleransi dan lebih saling mencintai (love, lawan kata dari hate). Dan ini kekuatan masyarakat yang modern. Masyarakat yang tidak panik, amok, menghadapi tantangan kebersamaan.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip salah satu tokoh favorit saya. Seorang Jedi Master bernama Yoda. Bahwa kebencian adalah hasil dari rasa takut dan marah, dan kebencian hanya menghasilkan kesengsaraan.

“Fear is the path to the dark side. Fear leads to anger. Anger leads to hate. Hate leads to suffering”.

Semoga dunia semakin bersama dan semakin saling mencintai di Bulan Ramadan ini. Happy Wednesday! (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/