***
Beberapa hari ini saya kerap melewati sebuah billboard bertulisan ”Buku Adalah Jendela Dunia”. Dalam hati saya berpikir apakah ungkapan itu masih relevan.
Ayah saya kutu buku, saya kutu buku, dan –alhamdulillah– anak saya ternyata juga kutu buku.
Tapi, anak saya juga kutu iPad dan iPhone.
Semula saya berpikir itu ungkapan yang sudah waktunya di-update. Hanya saja, setelah berpikir lebih lanjut, saya bisa merasakan bahwa ungkapan itu masih relevan, bahkan bisa jadi lebih berarti di zaman sekarang ini.
Alasannya simple economics.
Untuk mencetak buku, atau produk print lain, diperlukan biaya dan komitmen. Kalau kontennya tidak relevan dan tidak bermutu, buku itu akan menumpuk tidak laku. Dan zaman sekarang, semakin sulit berjualan buku karena investasi cetak tadi.
Sebelum bikin buku, harus benar-benar yakin atas kualitas kontennya. Dan kalau buku itu dibaca dan laku, tandanya buku itu benar-benar dianggap baik serta bermanfaat bagi pembeli dan pembacanya. Berarti buku itu benar-benar bisa jadi jendela bagi pembacanya.
Cerita-cerita yang beredar di dunia maya tidak butuh investasi banyak untuk dibuat dan disebarkan. Dan kalau tidak dibaca, dengan mudah bisa di-delete atau diganti isinya. Begitu saja. Apalagi kalau misinya hanya untuk menyampaikan judul yang menyesatkan.
Kalau sudah begitu, jendelanya mengarah ke mana?
Minimal, kalau buku itu fiksi, ia sudah langsung diletakkan di rak bertulisan ”Fiksi”…
Sebuah artikel di USA Today memikat perhatian saya. Bahwa semakin lama, berita-berita fake itu akan menjadi semakin common atau umum. Lama-kelamaan orang tidak akan menanggapi semua berita di dunia yang banyak fake-nya. Kurang lebih menyampaikan bahwa ironisnya, obatnya justru jalur-jalur ”tradisional” yang sudah teruji selama puluhan tahun itu.
Seperti media cetak, seperti buku… (*)