Saya bukan tipe religius, tapi saya memaksakan diri saya untuk bersyukur. Semoga saya sudah bisa memberi impact untuk banyak orang.
Tanda-tandanya sih rasanya begitu.
Saya pernah antre boarding naik pesawat. Lalu, ada seorang perempuan menyapa, bertanya apakah saya ingat dia. Dulu dia peserta kompetisi jurnalis SMA yang saya selenggarakan.
Ketika saya tanya sekarang kuliah di mana, dengan cepat dia menjawab: ’’Saya sudah jadi dokter, Mas…’’
Lalu, saya pernah berada di sebuah hotel, sedang proses check in, saat hendak nonton/liputan Formula 1 di Melbourne, Australia. Eh, ada rombongan maskapai penerbangan, dan seorang pilotnya menyapa. Saya tanya kok dia kenal saya? Dia bilang dia dulu peserta kompetisi basket yang pernah –dan sampai hari ini masih– saya selenggarakan.
Baru-baru ini saya juga mengurus paspor baru. Eh, lagi-lagi bertemu orang yang dulu ikut kompetisi saya.
Senang rasanya bertemu orang yang merasakan impact dari sesuatu yang kita lakukan.
Lebih trenyuh lagi ketika ada seorang mantan peserta kompetisi juga, sembilan tahun lalu, menuliskan sebuah cerita untuk ulang tahun saya. Dia lantas menitipkan cerita itu lewat akun media sosial ipar saya.
Dia bilang, dulu waktu ikut kompetisi jurnalis SMA saya, dia beli mi instan. Waktu itu dia saya omeli, karena tidak sehat. Lalu, dia saya belikan roti dan susu, supaya dia bisa ikut lomba lebih baik.
Ternyata, dia ingat betul momen itu. Dan dia menyampaikan, bahwa waktu itu dia sedang tidak punya uang untuk beli makanan lain.
Dia menegaskan, dia menjadi dirinya yang sekarang salah satunya karena terinspirasi momen kecil tersebut.
Ketika ipar saya menyampaikan posting-an tersebut, reaksi pertama saya, jujur, adalah saya merasa semakin tua. Wkwkwk…
Tapi, ada kehangatan yang muncul. Bahwa kita tidak harus melakukan sesuatu yang besar untuk memberi impact pada seseorang. Bahwa melakukan hal kecil pun bisa menginspirasi orang lain, yang akan dia ingat seumur hidupnya.
Apa yang dia tulis itu, mungkin, adalah yang paling membuat saya bahagia di momen 40 itu.
Bukan lagi kenyataan bahwa saya memenuhi keinginan saya menanjak Passo dello Stelvio.
Pertanyaannya sekarang: What’s next?
Kalau beruntung, saya baru sepuluh tahun lagi merayakan angka lebih keramat, angka 50. Tapi, itu masih terlalu jauh.
Apa yang ingin saya capai?
Entahlah.
Dipikirin nanti-nanti aja.
Diresapi dulu tahun usia 40 ini.
Siapa tahu feeling-feeling aneh lain akan menyusul muncul. Dan siapa tahu lucu-lucu, sehingga bisa dijadikan bahan tulisan selanjutnya.
Sambil membiarkan air mengalir, saya akan terus menerapkan apa yang selalu diajarkan orang tua saya: ’’Tidak usah terlalu dipikir. Kerjakan saja yang bener. Nanti hasilnya akan datang sendiri…’’ (*)
CATATAN TAMBAHAN:
Bagi yang hendak mencapai angka 40, bersiap-siaplah. Bagi yang sudah lewat, semoga tidak tersinggung. Wkwkwkwk…