Oke, kebanyakan makan makanan itu mungkin punya dampak negatif terhadap kesehatan. Tapi, kalau dipikir, makan apa saja kalau berlebihan rasanya ya negatif buat kesehatan…
Tidak percaya, coba makan bakso tiga kali sehari setiap hari selama setahun…
Kadang kita ini latah saja bilang ”junk food”. Tanpa menyadari atau memikirkan arti dan definisinya secara lebih mendalam. Dan kadang menyebutnya karena sok tahu atau sok pintar.
Ketika bersama keluarga liburan di Amerika, saya memang sering mampir ke restoran cepat saji untuk ”melepas kangen”. Orang tua kadang bertanya kenapa kok selalu makan di tempat-tempat seperti ini.
Saya bilang saja, restoran cepat saji ini punya peran ekonomi yang sama dengan warung nasi pecel atau soto di Indonesia.
Kenapa warung kaki lima menjamur di Indonesia? Karena ada demand dari masyarakat untuk makanan murah dan cepat.
Kenapa menjamur restoran cepat saji di Amerika? Karena ada demand dari masyarakat di sana untuk makanan murah dan cepat.
Sama. Persis. Tet.
Di negara mana pun di dunia ini sama, jumlah orang mampu sangatlah minoritas. Tinggal skala ekonomi dan seberapa besar dan sehat level middle class-nya.
Saya baru merasakan betapa pentingnya restoran cepat saji di Amerika itu saat saya kuliah dan krisis moneter di Indonesia. Uang saku dipangkas lebih dari separo, saya harus bekerja di restoran kampus. Gaji saya waktu itu upah minimum, USD 5,75 per jam.
Sebulan saya dapat USD 450–600, tergantung jatah jam kerjanya.
Mau makan di restoran? Sekali duduk minimal USD 10–15. Itu restoran yang biasa banget. Kelas depot kalau di Indonesia.
Mau yang lebih murah? Ya ke restoran cepat saji. Dulu, Minggu dan Rabu pernah menjadi hari menyenangkan bagi saya dan beberapa teman serumah.
Karena pada hari itu McDonald’s punya promosi khusus. Cheeseburger hanya 29 sen, beefburger hanya 19 sen. Karena satu pemesan dikasih limit 15 porsi, kami pun antre untuk membeli sebanyak-banyaknya.
Puluhan burger itu lantas kami simpan di kulkas. Lalu dipanasi pakai microwave. Selama dua hari kami hanya makan burger, tapi yang penting murah meriah.
Kenapa Whopper Jr. (dengan variasi no onion no pickle no tomato) saya sukai saat kuliah? Karena menu itu di Burger King di kampus harganya hanya USD 1. Ya, hanya satu dolar.
Andai tidak ada restoran cepat saji, akan sangat berat bagi saya melanjutkan kuliah di Amerika saat krismon dulu.
Bayangkan, berapa juta orang di Amerika yang hidupnya tertolong oleh restoran cepat saji. Ya, kualitas gizinya mungkin tidak ideal. Tapi sama saja dengan pelajar perguruan tinggi –atau buruh pabrik– di Indonesia yang uangnya pas-pasan, dan setiap hari harus makan di warteg, bukan?
Semoga pembaca mendapatkan perspektif baru dengan tulisan ini bahwa jangan asal sebut soal makanan. Jangan pernah menghina makanan, apa pun itu dan dari mana pun asalnya.
Dan saya memohon, jangan pernah menyebut makanan apa pun sebagai sampah… (*)