Setelah menjalani persidangan selama tujuh pekan pasca uang diserahkan, Nasib Samsir divonis selama 5 tahun enam bulan penjara atau 2 tahun lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut Nasib Samsir Halomoan Sibuea dengan pidana 7 tahun dan enam bulan penjara pada 26 Mei 2015 lalu. Meski lebih ringan dari tuntutan jaksa, tapi vonis itu berbeda dengan janji yang diucapkan oknum jaksa itu, yakni 4 tahun penjara.
Kecewa, Risma dan keluarganya mendatangi oknum jaksa tersebut di PN Lubukpakam, Kamis (30/6). Saat bertemu dengan oknum jaksa J SH di ruang panitera lantai II PN Lubukpakam, oknum jaksa J SH hanya terdiam. Namun Polo boru Pangaribuan, bibinya berteriak-teriak agar oknum jaksa mengembalikan uang mereka.
“Sampai jual rumah agar ada uang, tapi janjimu mau menuntut 4 tahun penjara hanya bual saja. Kami tidak akan minggat (pergi, Red) dari PN Lubukpakam kalau uang kami tidak kau kembalikan,” tegas Polo.
Mendengar teriakan Polo boru Pangaribuan, Humas PN Lubukpakam Halida Rahardhini SH dan Panitera Kepala Billiater Sitepu SH menjumpai keluarga Risma. Di saat itulah oknum jaksa J SH langsung kabur dan tidak kelihatan lagi entah ke mana. Begitu juga dengan Ketua majelis hakim SS SH juga tidak kelihatan.
“Ketua PN, DR Henry Tarigan SH, mau menerima keluarga Risma. Tapi karena ketua majelisnya tidak ada, keluarga diarahkan untuk bersabar. Kita belum tahu pasti soal masalah ini,” sebut Halida Rahardhini SH.
Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai, Afrizal SH ketika dikonfirmasi menyatakan, anggotanya sudah menyerahkan uang Rp1 juta kepada dua oknum wartawan harian terbitan Medan agar permasalahan tersebut tidak dipublikasikan dan tidak menyebar luas.
PELANGGARAN BERAT
Menyikapi kejadian ini, Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi merangkap juru bicara Komisi Yudisial Republik Indonesia, Farid Wajdi mengatakan, jika menyangkut jaksa itu di luar ranah kewenangan KY. Farid meminta keluarga korban membuat laporan kepada Komisi Yudisial via penghubung KY Sumut dengan dugaan adanya dugaan pelanggaran kode etik hakim.
“Laporan diharapkan disertai dengan bukti (kwitansi, rekaman atau surat pendukung) dan saksi adanya uang,” jelas Farid saat dihubungi Sumut Pos, tadi malam.
Dikatakan Farid, dari sisi etika kasus ini tergolong pelanggaran berat. Meski demikian, saat disinggung lebih jauh mengenai sanksi yang akan diperoleh oknum hakim atas perbuatannya, dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) itu belum bisa berkomentar. “Lebih jauh sebelum ada laporan KY tidak dapat berkomentar,” kata Farid.
Menurut dia, mekanisme di KY untuk proses laporan masyarakat cukup panjang. Apalagi belum ada laporan sulit membuat asumsi sanksinya. “Tapi sekadar gambaran, KY-MA (Mahmakah Agung) pada 13 April 2016 melalui Majelis Kehormatan Hakim, telah memberhentikan Hakim F karena terbukti meminta uang sebesar Rp15 juta kepada keluarga terdakwa,” ungkap Farid. (btr/prn)