27.8 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Loper Koran Ini Sering Merugi karena Salah Beri Kembalian

Foto: Dame/Sumut Pos Beginilah gaya Safril Guci, menirukan caranya mengenali uang jual koran, saat masih menderita katarak. Ia mengaku senang ikut operasi katarak gratis yang digelar Tambang Emas Martabe di RS Tentara Padangsidimpuan, karena sekarang sudah kembali mengenali nilai uang. Foto dijepret Sabtu (10/12/2016).
Foto: Dame/Sumut Pos
Beginilah gaya Safril Guci, menirukan caranya mengenali uang jual koran, saat masih menderita katarak. Ia mengaku senang ikut operasi katarak gratis yang digelar Tambang Emas Martabe di RS Tentara Padangsidimpuan, karena sekarang sudah kembali mengenali nilai uang. Foto dijepret Sabtu (10/12/2016).

Tubuh kecil, tapi mental pejuang. Itulah Safril Guci. Ditinggal ayah sejak usia 12 tahun, ia putus sekolah dan memilih berjualan koran demi menyekolahkan adik bungsunya. Bisnisnya lumayan lancar. Tapi dua tahun terakhir, omzetnya menurun drastis, bahkan ia sering rugi besar. Penyebabnya: salah memberi uang kembalian pada pembeli. Semua gara-gara katarak.

——————————————————-
Dame Ambarita, Padangsidimpuan
——————————————————-
Postur tubuhnya kecil. Bicaranya sedikit kurang jelas karena ada bekas sumbing di bibirnya. Tetapi ia memiliki semangat. “Hanya lulus SD, karena ayah meninggal saat saya masih 12 tahun. Dulu ayah penjual es keliling,” tutur Safril Guci (43), warga Wek II, Padangsidimpuan Utara, Kota Psp, Sumut.

Tak mau jadi beban ibunya yang menjanda, Safril memilih putus sekolah demi berjualan koran untuk membantu membiayai sekolah adik perempuannya, hingga lulus SMA. Woww…

Semua media cetak dia jual, nasional maupun lokal. Kompas, Tempo, Kartini, Bobo, Nova, Bola, Waspada, Analisa, SIB, Metro Tabagsel, dll. “Yang paling laku saat ini ya Metro Tabagsel,” cetusnya dengan nada bersemangat.

Hasil berjualan koran dia pakai untuk membantu ibunya dan menyekolahkan adiknya. Pelan-pelan, ia juga mampu membeli sepeda motor untuk mengantar koran ke langganan.

Hasil berjualan koran dia tabung, hingga akhirnya ia merasa cukup mapan berumah tangga. Naas, baru beberapa tahun menikah, istrinya meninggal tanpa memberinya keturunan.

Beberapa tahun kemudian, ia kembali menikah. Entah mengapa, istri keduanya kabur tanpa pesan meninggalkan dirinya dan kedua anak mereka.

“Sekarang, saya hidup untuk anak saya saja. Nggak kepingin lagi menikah,” cetusnya tanpa merasa kepahitan.

Hanya satu beban pikirannya. Sejak 6 tahun lalu, katarak menyerang mata kirinya. Kemudian merambat ke mata kanan, hingga penglihatannya buram.

Semula dia mampu mengantar koran langganan dengan naik sepeda motor ke kantor-kantor. Sekarang hanya ke alamat yang dekat-dekat saja dengan berjalan kaki. Tentu saja, jumlah langganannya menurun. Tetapi ia tidak khawatir. Karena masih bisa disiasati dengan jual eceran ke kedai kopi, rumah-rumah, dan toko-toko.

Naas, dua tahun terakhir kataraknya semakin parah. Ia tidak mampu lagi mengenali uang.

“Harus didekatkan ke mata sekitar 10 cm. Itupun masih sering salah lihat,” kisahnya.

Akibatnya sangat menyedihkan. Ia kerap salah memberikan uang kembalian kepada pembeli koran. Jika kembaliannya kurang sih, tidak masalah. Tetapi yang sering terjadi, ia memberikan kembalian lebih besar. Dan si pembeli, banyak yang langsung mengantongi tanpa mengecek. Atau ada yang tau, tetapi diam saja dan tidak mengembalikan kelebihan.

Tak ayal, pendapatannya menurun drastis. Awalnya bisa mengantongi Rp90-100 ribu per hari, turun tajam menjadi Rp20-50 ribu.

Setoran ke agen pun tak tertutupi. Ia kerap harus pinjam uang pada kakak iparnya.

Untungnya, dengan berjualan koran ia jadi banyak membaca. Dari harian Metro Tabagsel yang dijualnya jualah, ia membaca iklan mengenai operasi katarak gratis yang digelar Tambang Emas Martabe bekerja sama dengan A New Vision dan Kodam I Bukit Barisan, di RS Tentara Padangsidimpuan. Spontan, anak keenam dari tujuh bersaudara ini mendaftarkan diri.

Foto: Dame/Sumut Pos Beginilah gaya Safril Guci, menirukan caranya mengenali uang jual koran, saat masih menderita katarak. Ia mengaku senang ikut operasi katarak gratis yang digelar Tambang Emas Martabe di RS Tentara Padangsidimpuan, karena sekarang sudah kembali mengenali nilai uang. Foto dijepret Sabtu (10/12/2016).
Foto: Dame/Sumut Pos
Beginilah gaya Safril Guci, menirukan caranya mengenali uang jual koran, saat masih menderita katarak. Ia mengaku senang ikut operasi katarak gratis yang digelar Tambang Emas Martabe di RS Tentara Padangsidimpuan, karena sekarang sudah kembali mengenali nilai uang. Foto dijepret Sabtu (10/12/2016).

Tubuh kecil, tapi mental pejuang. Itulah Safril Guci. Ditinggal ayah sejak usia 12 tahun, ia putus sekolah dan memilih berjualan koran demi menyekolahkan adik bungsunya. Bisnisnya lumayan lancar. Tapi dua tahun terakhir, omzetnya menurun drastis, bahkan ia sering rugi besar. Penyebabnya: salah memberi uang kembalian pada pembeli. Semua gara-gara katarak.

——————————————————-
Dame Ambarita, Padangsidimpuan
——————————————————-
Postur tubuhnya kecil. Bicaranya sedikit kurang jelas karena ada bekas sumbing di bibirnya. Tetapi ia memiliki semangat. “Hanya lulus SD, karena ayah meninggal saat saya masih 12 tahun. Dulu ayah penjual es keliling,” tutur Safril Guci (43), warga Wek II, Padangsidimpuan Utara, Kota Psp, Sumut.

Tak mau jadi beban ibunya yang menjanda, Safril memilih putus sekolah demi berjualan koran untuk membantu membiayai sekolah adik perempuannya, hingga lulus SMA. Woww…

Semua media cetak dia jual, nasional maupun lokal. Kompas, Tempo, Kartini, Bobo, Nova, Bola, Waspada, Analisa, SIB, Metro Tabagsel, dll. “Yang paling laku saat ini ya Metro Tabagsel,” cetusnya dengan nada bersemangat.

Hasil berjualan koran dia pakai untuk membantu ibunya dan menyekolahkan adiknya. Pelan-pelan, ia juga mampu membeli sepeda motor untuk mengantar koran ke langganan.

Hasil berjualan koran dia tabung, hingga akhirnya ia merasa cukup mapan berumah tangga. Naas, baru beberapa tahun menikah, istrinya meninggal tanpa memberinya keturunan.

Beberapa tahun kemudian, ia kembali menikah. Entah mengapa, istri keduanya kabur tanpa pesan meninggalkan dirinya dan kedua anak mereka.

“Sekarang, saya hidup untuk anak saya saja. Nggak kepingin lagi menikah,” cetusnya tanpa merasa kepahitan.

Hanya satu beban pikirannya. Sejak 6 tahun lalu, katarak menyerang mata kirinya. Kemudian merambat ke mata kanan, hingga penglihatannya buram.

Semula dia mampu mengantar koran langganan dengan naik sepeda motor ke kantor-kantor. Sekarang hanya ke alamat yang dekat-dekat saja dengan berjalan kaki. Tentu saja, jumlah langganannya menurun. Tetapi ia tidak khawatir. Karena masih bisa disiasati dengan jual eceran ke kedai kopi, rumah-rumah, dan toko-toko.

Naas, dua tahun terakhir kataraknya semakin parah. Ia tidak mampu lagi mengenali uang.

“Harus didekatkan ke mata sekitar 10 cm. Itupun masih sering salah lihat,” kisahnya.

Akibatnya sangat menyedihkan. Ia kerap salah memberikan uang kembalian kepada pembeli koran. Jika kembaliannya kurang sih, tidak masalah. Tetapi yang sering terjadi, ia memberikan kembalian lebih besar. Dan si pembeli, banyak yang langsung mengantongi tanpa mengecek. Atau ada yang tau, tetapi diam saja dan tidak mengembalikan kelebihan.

Tak ayal, pendapatannya menurun drastis. Awalnya bisa mengantongi Rp90-100 ribu per hari, turun tajam menjadi Rp20-50 ribu.

Setoran ke agen pun tak tertutupi. Ia kerap harus pinjam uang pada kakak iparnya.

Untungnya, dengan berjualan koran ia jadi banyak membaca. Dari harian Metro Tabagsel yang dijualnya jualah, ia membaca iklan mengenai operasi katarak gratis yang digelar Tambang Emas Martabe bekerja sama dengan A New Vision dan Kodam I Bukit Barisan, di RS Tentara Padangsidimpuan. Spontan, anak keenam dari tujuh bersaudara ini mendaftarkan diri.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/