26.7 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Delapan Gugatan Hasil Pilkada dari Sumut Kembali Rontok

Angka pembanding penduduk ternyata itu tidak dibacakan oleh hakim. Konklusinya ternyata sama dengan perkara yang lain. Kalau begini orang sudah siap-siap (pada pilkada,red) 2017 mendatang. Suaranya di atas 2 persen, kecurangan terjadi silahkan. Sudah seperti itu jadinya,” kata Ilham.

Kritikan tajam juga dikemukakan Direktur  Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Ia menilai MK tidak mampu memberi terobosan seperti yang diharapkan. MK tersandera oleh putusannya sendiri yang sebelumnya pernah diterbitkan.

“Pada putusan Nomor 51 Tahun 2015, MK menyebut persentase selisih sebagai open legal policy atau kebijakan politik hukum terbuka dari pembuat undang-undang. Jadi atas dalih itu dan wujud kepastian hukum, maka MK menganggap mereka harus konsisten. Dalil dalam Pasal 158 UU Pilkada dan PMO 5/2015 dianggap MK harus diterapkan konsisten. Sehingga seolah-olah atas nama Kepastian Hukum maka semangat keadilan pemilu bisa dikesampingkan,” ujar Titi.

Pertanyaannya kemudian kata Titi, apakah layak menerima konsekuensi putusan MK dimaksud sebagai wujud kepastian hukum. Padahal MK dalam membuat tafsir persentase selisih dalam PMK 5/2015 saja dianggap banyak pihak salah kaprah. Sebab semakin mempersulit pemohon mengajukan permohonan ke MK.

“Dalam hal ini MK menggunakan logika bahwa hasil pilkada itu tercipta sebagai buah dari sebuah proses yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Serta kemampuan pengaruh atas hasil hanya boleh dalam persentase tertentu. MK tidak berlogika sebaliknya, bahwa potensi masuk angin dan curang selalu ada kemungkinan terjadi dalam penyelenggaraan tahapan pilkada,” katanya.

Titi menilai, hukum semestinya futuristik, berdiri di atas semua kondisi dan situasi. Bukan sudah pada positioning atau menempatkan keyakinan bahwa Pilkada pasti berjalan luber demokratis.

Atas sikap MK, Titi menilai kemungkinan hanya delapan perkara yang lolos ke tahap selanjutnya, dari 147 pengaduan.

“Persentase selisih suara dari perolehan suara pemenang sangat menciderai lagika. Sebab MK sama sekali tidak memperhitungkan suara paslon yang lain. MK akhirnya terkesan tidak mau repot dan direpotkan oleh perkara perselisihan hasil pilkada. Sangat kontradiksi dengan harapan publik luas atas MK sebagai penjaga konstitusi yang mampu mewujudkan keadilan pemilu sesungguhnya,” kata Titi.(gir)

Ini 26 Perkara PHP Yang Ditolak MK

1. Ogan Ilir (Helmy Yahya-Muchendi Mahzareki)

2. Malang (Dewanti Rumpoko-Masrifah)

3. Barru (Malkan Amin-Salahuddin Rum)

Angka pembanding penduduk ternyata itu tidak dibacakan oleh hakim. Konklusinya ternyata sama dengan perkara yang lain. Kalau begini orang sudah siap-siap (pada pilkada,red) 2017 mendatang. Suaranya di atas 2 persen, kecurangan terjadi silahkan. Sudah seperti itu jadinya,” kata Ilham.

Kritikan tajam juga dikemukakan Direktur  Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Ia menilai MK tidak mampu memberi terobosan seperti yang diharapkan. MK tersandera oleh putusannya sendiri yang sebelumnya pernah diterbitkan.

“Pada putusan Nomor 51 Tahun 2015, MK menyebut persentase selisih sebagai open legal policy atau kebijakan politik hukum terbuka dari pembuat undang-undang. Jadi atas dalih itu dan wujud kepastian hukum, maka MK menganggap mereka harus konsisten. Dalil dalam Pasal 158 UU Pilkada dan PMO 5/2015 dianggap MK harus diterapkan konsisten. Sehingga seolah-olah atas nama Kepastian Hukum maka semangat keadilan pemilu bisa dikesampingkan,” ujar Titi.

Pertanyaannya kemudian kata Titi, apakah layak menerima konsekuensi putusan MK dimaksud sebagai wujud kepastian hukum. Padahal MK dalam membuat tafsir persentase selisih dalam PMK 5/2015 saja dianggap banyak pihak salah kaprah. Sebab semakin mempersulit pemohon mengajukan permohonan ke MK.

“Dalam hal ini MK menggunakan logika bahwa hasil pilkada itu tercipta sebagai buah dari sebuah proses yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Serta kemampuan pengaruh atas hasil hanya boleh dalam persentase tertentu. MK tidak berlogika sebaliknya, bahwa potensi masuk angin dan curang selalu ada kemungkinan terjadi dalam penyelenggaraan tahapan pilkada,” katanya.

Titi menilai, hukum semestinya futuristik, berdiri di atas semua kondisi dan situasi. Bukan sudah pada positioning atau menempatkan keyakinan bahwa Pilkada pasti berjalan luber demokratis.

Atas sikap MK, Titi menilai kemungkinan hanya delapan perkara yang lolos ke tahap selanjutnya, dari 147 pengaduan.

“Persentase selisih suara dari perolehan suara pemenang sangat menciderai lagika. Sebab MK sama sekali tidak memperhitungkan suara paslon yang lain. MK akhirnya terkesan tidak mau repot dan direpotkan oleh perkara perselisihan hasil pilkada. Sangat kontradiksi dengan harapan publik luas atas MK sebagai penjaga konstitusi yang mampu mewujudkan keadilan pemilu sesungguhnya,” kata Titi.(gir)

Ini 26 Perkara PHP Yang Ditolak MK

1. Ogan Ilir (Helmy Yahya-Muchendi Mahzareki)

2. Malang (Dewanti Rumpoko-Masrifah)

3. Barru (Malkan Amin-Salahuddin Rum)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/