Operasi katarak gratis yang disponsori Tambang Emas Martabe tekniknya tergolong cepat. Memang antri giliran agak lama. Tetapi operasinya sendiri relatif hanya 10 menit per pasien. Pascaoperasi, para pasien pun senyum-senyum karena operasi tak sesakit dan serumit yang disangka semula. Tetapi oh tetapi… ternyata mata harus ditutup dop minimal 2 minggu. Selama itu pula, pasien disarankan tidak bekerja. Seorang pasien kontan mendesah: jadi ayam-ayamku?
———————-
Dame Ambarita, Sumut Pos
———————-
Namanya manusia, tingkah polah pasti berbeda-beda. Ada yang suka bersyukur, ada yang suka mengeluh, ada yang ceriwis, ada yang pendiam, dan sebagainya… dan sebagainya.
Tingkah polah para pasien operasi katarak gratis “Buka Mata Lihat Indahnya Dunia” yang digelar Tambang Emas Martabe di Rumah Sakit Tentara Pematangsiantar, 19-21 Januari 2016, pun berbeda-beda. Ada yang senyum-senyum usai operasi, ada yang diam saja, ada yang sibuk mengeluh: ‘udah bisa pulang belum?’, ada juga yang sibuk mencari tahu mengapa temannya sudah bisa langsung melihat, sementara dia penglihatannya masih kabur.
Muhammad Suheri, termasuk pasien pendiam tapi mampu bersyukur. Pemuda 28 tahun yang tinggal di Desa Langga Payung, Kecamatan Sungai Kanan, Labusel ini sangat sadar jika keluarganya tidak mampu membiayai operasi katarak yang dideritanya.
Maklum, keluarganya hanya buruh perkebunan karet. Saudaranya ada lima orang. Ia menderita katarak sejak tiga tahun lalu. “Tiba-tiba saja suatu hari saat bercermin, saya melihat bulatan putih di mata,” kata pemuda yang hanya tamatan SMP ini.
Karena kondisi ekonomi, ia tak berani meminta agar dibawa berobat kepada orangtuanya. Padahal makin lama, ia tidak bisa lagi mengenali wajah orang lain meski dari jarak 50 cm. Warna baju pun hanya bisa dikenalinya jika berwarna cerah.
Meski tidak terlalu mengganggu pekerjaannya sebagai penderes getah pohon karet, ia tetap berharap bisa melihat lebih jelas.
Maka ia sangat berterimakasih kepada pihak sponsor yang mendanai seluruh operasi katarak gratis ini. “Mungkin tanpa mereka, mataku ini takkan pernah diobati. Jika biaya sendiri, tak ada peluang operasi,” katanya, dan ia menoleh ke samping untuk menyembunyikan wajahnya yang berkerut menahan tangis.
Suheri tergolong pasien yang sulit diajak ngobrol. Ia sangat pendiam, dan kadang-kadang tidak menjawab pertanyaan sama sekali. Mimiknya kerap terlihat sedih setiap kali pertanyaan terkait dengan kondisi ekonomi. Dan obrolan pun terpaksa diputus.
Selain Suheri, Aryati pun tergolong pendiam. Ibu rumah tangga berusia 42 tahun ini bukan pasien katarak. Ia menderita Pterygium, yakni penyakit mata yang disebabkan HPV (human papiloma virus), yakni pertumbuhan jaringan di lapisan luar bagian putih mata. Warga Beringin Indah Simalungun ini menderita bintik putih di kedua bola matanya sejak dirinya masih gadis.
“Setiap kali haid, pandangan kabur dan mata gatal,” katanya pelan.
Ia tak banyak berbicara, karena takut matanya yang baru operasi, terganggu jika banyak menggerakkan mulut.
Jika Suheri dan Aryati pendiam, Selmina boru Damanik (79), justru suka bercanda. Pensiunan perawat di RS Bethesda Saribudolok, Simalungun ini menderita katarak sejak dua tahun terakhir. Kata dokter, karena faktor usia. Ia sempat diperiksa tahun 2014 lalu. “Tapi kata dokter kataraknya masih tipis, belum bisa dioperasi,” lanjutnya.
Begitu mendapat informasi mengenai operasi katarak gratis dari anaknya yang bekerja sebagai karyawan di Kodim, ia sangat senang. Apalagi RS Tentara dekat dengan rumahnya. Jadi ada yang menjaga dirinya selama operasi.
Uniknya, meski mantan perawat, ia malah ketakutan saat disuntik. “Iya… biasanya kan nyuntik. Ini malah disuntik. Takut saya,” kata nenek 16 cucu yang sehari-hari berladang sambil memelihara ayam ini.
Sebagai mantan perawat, nampaknya ia terjangkit penyakit umum paramedis, yakni takut ditangani paramedis lain. “Gimana kalau nanti orang lain berhasil operasi, tetapi aku nggak?” katanya jujur.