30 C
Medan
Thursday, May 2, 2024

Driver Online Berpeluang Lepas dari Jeratan Aturan

Angkutan online-Ilustrasi.

MEDAN, SUMUTPOSCO – Pengamat transportasi, Medis Sejahtera Surbakti menilai, kewajiban membayar Rp2 juta plus uang iuran perminggu yang dipatokkan vendor kepada driver taksi online yang ingin bergabung, sangat memberatkan. Bahkan, hal ini juga bakal memicu para sopir taksi online menjadi sopir taksi gelap.

“Semuanya ini tergantung pemerintah. Bagaimana memberlakukan azas keadilan terhadap angkutan berbasis aplikasi. Namun kalau faktanya mereka harus membayar, tentu ujung-ujungnya berpikir secara ekonomi,” kata Medis Sejahtera Surbakti kepada Sumut Pos, Kamis (3/8).

Medis menjelaskan, kemajuan zaman dan teknologi tidak bisa dihempang. Untuk itu peran pemerintah guna mengakomodir hadirnya terobosan baru di bidang transportasi ini, bisa berlandaskan keadilan untuk semua. “Saya belum bisa pastikan apa yang terjadi ke depan, tetapi peluang untuk mereka tidak mengikuti aturan itu cukup besar, apalagi harus mengeluarkan banyak uang,” katanya.

Di sisi lain, menurut Ketua Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara (USU) ini, akan ada komunitas taksi online tersendiri tanpa campur tangan pemerintah. Ia contohkan, sekarang ini sudah ada namanya Grab Share, yakni layanan berbagi perjalanan berdasar permintaan, yang memungkinkan penumpang berbagi perjalanan dan tarif dengan penumpang lain yang searah. Pesan kapan saja, tanpa pemesanan lebih awal.

“Saya rasa itu yang akan berkembang nanti. Karena itu belum diatur oleh pemerintah. Teknologi yang berkembang ini apakah bisa survive, perlu kita lihat ke depan,” katanya.

Ia menyebut, dengan adanya Grab Share ini justru bisa terlepas dari jeratan aturan pemerintah. “Tapi ya kita lihat saja nanti perkembangannya. Karena teknologi ini apapun ceritanya tidak dapat dihempang. Teknologi harus dikawani. Sebab ujung-ujungnya motifnya kan ekonomi,” katanya seraya melihat ketidakadilan bagi pelaku sopir taksi online terletak pada uji KIR. “Di sini peran pemerintah dibutuhkan. Karena yang jadi pertanyaan, apakah semua angkutan harus uji KIR. Kita melihatlah fairness dari pemerintah seperti apa,” imbuh dia.

Kenderaan berbasis aplikasi akan lebih cepat maju dibanding angkutan konvensional. Bahkan Medis memprediksi di masa mendatang taksi online ini akan berbasis telegram. Di mana tidak untuk umum lagi melainkan komunitas. “Lantas gimana lagi mau di-remote pemerintah karena sudah komunitas? Saya melihatnya ke sana nanti. Artinya dia seperti Grab atau aplikasi lain namun punya komunitas sendiri. Andai kata (angkutan) yang umum mau masuk, harus menjadi bagian dari situ. Punya wadah sendiri dan tak perlu campur tangan pemerintah. Saya melihat arahnya ke sana,” pungkasnya.

Ketua Lembaga Studi Advokasi Transportasi Sumut, Sukrinaldi, mengatakan PM 26/2017 tentang Penyelenggaran Angkutan Orang dengan Kenderaan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek, jangan diartikan sempit oleh pelaku angkutan konvensional. Sebab menurutnya, kenderaan yang sekarang pakai plat pribadi bakal wajib berbadan hukum sama seperti aturan yang berlaku.

“Di sini nantinya mereka (pelaku taksi online) menjerit karena besarnya cost. Jadi gak perlu khawatir. Sebab pemberlakuan aturan itu sudah jelas sesuai PM 26/2017 tersebut,” katanya.

Diakui dia kemajuan teknologi tidak bisa dihempang di era dewasa ini. Namun penyesuaian aturan tetap diberlakukan dengan UU diatasnya. “Akhirnya mereka akan ikut aturan, wajib  urus izin perusahaan, bayar pajak, pakai kuota semuanya bayar. Makanya saya bilang transportasi plat kuning/umum tidak perlu takut. Paling pun nanti ketika dia tidak mampu bayar kreditnya, unitnya ditarik showroom. Yang KPUM itu akan tetap hidup juga,” kata mantan PNS Dephub tersebut. (dvs/prn/adz)

Angkutan online-Ilustrasi.

MEDAN, SUMUTPOSCO – Pengamat transportasi, Medis Sejahtera Surbakti menilai, kewajiban membayar Rp2 juta plus uang iuran perminggu yang dipatokkan vendor kepada driver taksi online yang ingin bergabung, sangat memberatkan. Bahkan, hal ini juga bakal memicu para sopir taksi online menjadi sopir taksi gelap.

“Semuanya ini tergantung pemerintah. Bagaimana memberlakukan azas keadilan terhadap angkutan berbasis aplikasi. Namun kalau faktanya mereka harus membayar, tentu ujung-ujungnya berpikir secara ekonomi,” kata Medis Sejahtera Surbakti kepada Sumut Pos, Kamis (3/8).

Medis menjelaskan, kemajuan zaman dan teknologi tidak bisa dihempang. Untuk itu peran pemerintah guna mengakomodir hadirnya terobosan baru di bidang transportasi ini, bisa berlandaskan keadilan untuk semua. “Saya belum bisa pastikan apa yang terjadi ke depan, tetapi peluang untuk mereka tidak mengikuti aturan itu cukup besar, apalagi harus mengeluarkan banyak uang,” katanya.

Di sisi lain, menurut Ketua Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara (USU) ini, akan ada komunitas taksi online tersendiri tanpa campur tangan pemerintah. Ia contohkan, sekarang ini sudah ada namanya Grab Share, yakni layanan berbagi perjalanan berdasar permintaan, yang memungkinkan penumpang berbagi perjalanan dan tarif dengan penumpang lain yang searah. Pesan kapan saja, tanpa pemesanan lebih awal.

“Saya rasa itu yang akan berkembang nanti. Karena itu belum diatur oleh pemerintah. Teknologi yang berkembang ini apakah bisa survive, perlu kita lihat ke depan,” katanya.

Ia menyebut, dengan adanya Grab Share ini justru bisa terlepas dari jeratan aturan pemerintah. “Tapi ya kita lihat saja nanti perkembangannya. Karena teknologi ini apapun ceritanya tidak dapat dihempang. Teknologi harus dikawani. Sebab ujung-ujungnya motifnya kan ekonomi,” katanya seraya melihat ketidakadilan bagi pelaku sopir taksi online terletak pada uji KIR. “Di sini peran pemerintah dibutuhkan. Karena yang jadi pertanyaan, apakah semua angkutan harus uji KIR. Kita melihatlah fairness dari pemerintah seperti apa,” imbuh dia.

Kenderaan berbasis aplikasi akan lebih cepat maju dibanding angkutan konvensional. Bahkan Medis memprediksi di masa mendatang taksi online ini akan berbasis telegram. Di mana tidak untuk umum lagi melainkan komunitas. “Lantas gimana lagi mau di-remote pemerintah karena sudah komunitas? Saya melihatnya ke sana nanti. Artinya dia seperti Grab atau aplikasi lain namun punya komunitas sendiri. Andai kata (angkutan) yang umum mau masuk, harus menjadi bagian dari situ. Punya wadah sendiri dan tak perlu campur tangan pemerintah. Saya melihat arahnya ke sana,” pungkasnya.

Ketua Lembaga Studi Advokasi Transportasi Sumut, Sukrinaldi, mengatakan PM 26/2017 tentang Penyelenggaran Angkutan Orang dengan Kenderaan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek, jangan diartikan sempit oleh pelaku angkutan konvensional. Sebab menurutnya, kenderaan yang sekarang pakai plat pribadi bakal wajib berbadan hukum sama seperti aturan yang berlaku.

“Di sini nantinya mereka (pelaku taksi online) menjerit karena besarnya cost. Jadi gak perlu khawatir. Sebab pemberlakuan aturan itu sudah jelas sesuai PM 26/2017 tersebut,” katanya.

Diakui dia kemajuan teknologi tidak bisa dihempang di era dewasa ini. Namun penyesuaian aturan tetap diberlakukan dengan UU diatasnya. “Akhirnya mereka akan ikut aturan, wajib  urus izin perusahaan, bayar pajak, pakai kuota semuanya bayar. Makanya saya bilang transportasi plat kuning/umum tidak perlu takut. Paling pun nanti ketika dia tidak mampu bayar kreditnya, unitnya ditarik showroom. Yang KPUM itu akan tetap hidup juga,” kata mantan PNS Dephub tersebut. (dvs/prn/adz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/